Shutdown AS Bikin Investor Alihkan Portofolio ke Asia
Pekerja berada di depan layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Selasa (9/9/2025). Indeks Harga Saham Gabungan melanjutkan pelemahan seusai pengumuman reshuffle kabinet, yang salah satunya menyangkut Menteri Keuangan Sri Mulyani. FOTO: SALMAN TOYIBI/JAWA POS
16:54
5 Oktober 2025

Shutdown AS Bikin Investor Alihkan Portofolio ke Asia

 

 - Penutupan (shutdown) pemerintahan Amerika Serikat (AS) sudah diantisipasi dan tidak langsung mengguncang pasar keuangan global. Meski begitu, kondisi ini tetap meningkatkan ketidakpastian yang membayangi pelaku pasar.

"Penutupan pemerintah AS tidak mengejutkan, tapi meningkatkan ketidakpastian. Ada risiko terjadi gelombang PHK (pemutusan hubungan kerja) dan beberapa data penting seperti laporan tenaga kerja non-farm payrolls (NFP) tertunda," kata analis pasar modal Hans Kwee kepada Jawa Pos, Minggu (5/10).

Data tenaga kerja yang melemah ditambah shutdown pemerintah dengan penutupan pemerintahan, meningkatkan kemungkinan The Federal Reserve (The Fed) melakukan pemangkasan suku bunga. Bahkan lebih cepat dari perkiraan sebelumnya. "Probabilitas pemotongan Oktober sangat tinggi dan probabilitas Desember juga meningkat," ujarnya.

Valuasi Saham Asia Lebih Menarik, Dana Asing Mulai Masuk

Hans menyoroti arus modal yang mulai kembali mengarah ke pasar Asia. Menurut dia, pasar saham Asia dinilai memiliki valuasi yang lebih murah. Serta prospek pertumbuhan laba yang relatif lebih baik dibandingkan saham AS.

"Hal ini mendorong dana kembali masuk ke pasar Asia," terang dosen magister Fakultas Ekonomi Bisnis Unika Atma Jaya itu.

Di sisi lain, harga minyak dunia saat ini mengalami tekanan. Utamanya, akibat kelebihan pasokan dan lemahnya permintaan global yang lebih dominan. Ketimbang potensi gangguan pasokan dari konflik geopolitik dan sanksi AS maupun NATO terhadap Rusia. Sehingga, harga minyak diperkirakan bergerak cenderung melemah.

Pasar Tunggu Dampak Stimulus RI

Hans mengungkapkan, Bank Indonesia (BI) menghadapi tantangan independensi ditengah kebijakan fiskal yang lebih agresif dari pemerintah. Khususnya dalam menjaga nilai tukar rupiah. Meski demikian, kerja bank sentral mendapat angin segar dari potensi pelonggaran moneter global.

Kini, pelaku pasar menantikan dampak konkret dari stimulus fiskal pemerintah. Beberapa indikator ekonomi akan menjadi perhatian meliputi data cadangan devisa, penjualan motor dan mobil, kepercayaan konsumen, dan penjualan ritel Indonesia.

"IHSG berpeluang menguat terbatas dengan support di level 8.050 sampai 7.983 dan resistance di 8.169 hingga 8.200," ungkap Hans.

Sementara itu, Chief Economist Permata Bank Josua Pardede menilai, injeksi likuiditas pemerintah sebesar Rp 200 triliun ke Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) telah meningkatkan suplai rupiah di pasar. Menurut dia, tambahan likuiditas ini berpotensi mendorong penurunan suku bunga pasar uang dan memperlancar penyaluran kredit. Namun untuk nilai tukar rupiah, dampaknya bersifat dua sisi.

"Likuiditas yang longgar cenderung menekan imbal hasil rupiah sehingga carry ke investor asing sedikit berkurang. Bila kredit dan impor bahan baku mulai bangkit, permintaan valas akan naik," jelasnya.

Josua menegaskan bahwa faktor eksternal seperti arah pergerakan dolar AS (USD), harga komoditas, serta posisi neraca transaksi berjalan tetap menjadi penentu utama nilai tukar rupiah. Dia memproyeksi nilai tukar rupiah akan bergerak di kisaran Rp 16.200-Rp 16.400 per USD pada akhir tahun. Dengan asumsi defisit transaksi berjalan yang melebar namun masih dalam batas terkelola.

Ditambah, dukungan dari cadangan devisa yang memadai dan bauran kebijakan BI yang akomodatif namun tetap menjaga stabilitas. Dengan kata lain, tambahan likuiditas domestik tidak otomatis melemahkan rupiah. "Efeknya sangat ditentukan oleh kecepatan penyaluran kredit, arus portofolio, dan dinamika USD global," beber Josua. 

Editor: Estu Suryowati

Tag:  #shutdown #bikin #investor #alihkan #portofolio #asia

KOMENTAR