



Alarm SLIK Menyala: Pinjol dan Paylater Menyabotase Mimpi Rumah Pertama
FENOMENA gagal mendapatkan rumah pertama bukan lagi soal tak adanya pengembang atau minimnya stok rumah bersubsidi, tapi justru akibat catatan kelam dalam sistem informasi kredit, yang dikenal sebagai SLIK (Sistem Layanan Informasi Keuangan) OJK.
Di tengah semangat pemerintah merealisasikan program penyediaan 3 juta rumah, nyatanya sekitar 70 persen calon debitur Kredit Pemilikan Rumah (KPR) ditolak karena memiliki status “daftar merah” di SLIK.
Ironisnya, penyebab utama bukan kredit besar seperti kartu kredit atau kredit multiguna, melainkan tunggakan dari pinjaman mikro seperti pinjol (pinjaman online) dan paylater.
Pinjol dan paylater, dua instrumen keuangan yang awalnya menjanjikan inklusi, kini justru menciptakan ilusi likuiditas instan.
Berdasarkan data OJK, hingga Januari 2025, nilai outstanding pinjaman pinjol mencapai Rp 78,5 triliun dengan kenaikan 29 persen secara tahunan (yoy), sedangkan paylater tumbuh 48 persen menjadi Rp 20,5 triliun.
Sebagian besar pengguna adalah usia produktif 21–35 tahun, segmen yang juga menjadi target utama KPR.
Masalahnya, keterlambatan atau ketidakmampuan membayar tagihan pinjol dan paylater sekecil apapun, bahkan hanya Rp 100.000, secara otomatis tercatat sebagai kredit bermasalah (kolektibilitas 3 atau lebih) dalam sistem SLIK.
Sekali nama tercatat merah, bank tidak akan meloloskan pengajuan KPR, sekalipun penghasilan saat ini mencukupi dan utangnya telah lunas.
Praktik ini menyebabkan distorsi besar dalam akses pembiayaan. Banyak pekerja muda dengan penghasilan tetap tersandera masa lalu digital mereka yang tercatat tanpa konteks: apakah keterlambatan karena kecerobohan, force majeure, atau sekadar korban jebakan bunga majemuk dari platform pinjol yang tidak transparan.
Dalam situasi ini, sistem kredit formal menjadi terlalu kaku, gagal membedakan antara risiko aktual dan jejak digital yang tidak relevan dengan kemampuan bayar masa kini.
Maka, tidak mengherankan jika backlog perumahan tak kunjung surut, karena bukan rumahnya yang tidak ada, melainkan pintunya yang tertutup rapat oleh algoritma skor kredit konvensional.
Inovative Credit Scoring: Harapan di tengah riwayat digital kelam
Di tengah gelombang kegagalan akses KPR akibat SLIK yang merah menyala, secercah cahaya datang dari regulasi baru OJK: POJK 29 Tahun 2024 tentang Pemeringkat Kredit Alternatif atau dikenal sebagai Alternative Credit Scoring (ACS) atau Pemeringkat Kredit Alternatif (PKA).
Kebijakan ini menjadi terobosan besar dalam menghadirkan keadilan dalam penilaian kelayakan kredit, khususnya bagi generasi muda yang pernah “terpeleset” di masa lalu akibat pinjol dan paylater.
Melalui ACS, OJK memberikan ruang bagi penyedia skor kredit non-konvensional yang dapat menilai kelayakan finansial seseorang berdasarkan perilaku keuangan aktual dan konteks sosial, bukan sekadar rekam jejak formal yang kaku.
ACS membuka jalan bagi pendekatan yang lebih inklusif, dengan memanfaatkan data alternatif seperti histori transaksi e-commerce, pembayaran tagihan telepon dan listrik, pola pengeluaran harian melalui dompet digital, bahkan data geospasial.
Dengan kata lain, seseorang yang memiliki catatan buruk di SLIK akibat tunggakan paylater Rp 300.000 di masa pandemi, tetapi kini disiplin membayar langganan listrik dan iuran BPJS secara rutin, tetap bisa dinilai sebagai debitur yang layak KPR melalui lensa yang lebih adil dan kontekstual.
Tak hanya sebagai alat bantu evaluasi risiko, ACS juga menjadi mekanisme penertiban ekosistem pinjol dan paylater.
Ketika perilaku kredit mikro juga dianalisis oleh pemeringkat alternatif, pelaku industri digital lending tak lagi bisa semena-mena menyalurkan pinjaman tanpa analisis daya bayar.
Dengan ACS, pinjol dan paylater “dipaksa” kembali ke jalan yang lurus: tidak hanya menjual kemudahan transaksi, tetapi juga bertanggung jawab terhadap dampaknya dalam jangka panjang terhadap kelayakan kredit pengguna.
Negara lain telah lebih dahulu menerapkan konsep serupa. Di Amerika Serikat, Experian Boost memungkinkan individu menambah skor kredit dengan data pembayaran tagihan rutin.
Di Inggris, Credit Kudos menggunakan open banking untuk menilai risiko berdasarkan transaksi harian, bukan hanya utang formal.
Di India, CRIF High Mark bahkan memasukkan data keanggotaan koperasi dan arisan digital sebagai indikator keandalan bayar.
Dengan ACS, Indonesia tak hanya mengejar ketertinggalan, tapi juga memberi kesempatan kedua bagi mereka yang pernah gagal bukan karena tak mampu, melainkan karena sistem yang tak memberi ruang bagi dinamika hidup. Kini, harapan untuk memiliki rumah pertama tak lagi harus mati di tangan algoritma masa lalu—karena sistem penilaian baru memberi tempat bagi mereka yang belajar dari kesalahan dan kini siap membuktikan diri.
Rent-to-own (RTO): Sewa hari ini, hak milik esok
Dalam skema rent-to-own (RTO), penyewa menapaki dua lintasan sekaligus: menikmati fungsi hunian hari ini dan menabung hak milik untuk esok.
Praktiknya mirip akad Ijarah Muntahiyah bi Tamlik (IMBT) di perbankan syariah, fatwa DSN-MUI No. 27/2002 menegaskan bahwa bank menyewakan aset kepada nasabah selama tenor tertentu, lalu menyerahkan kepemilikan penuh di akhir masa sewa melalui hibah atau pembayaran opsional terakhir.
Selama periode sewa, tanggung jawab perawatan mayor–minor dibagi jelas: bank selaku pemilik menanggung kerusakan struktural, sedangkan penyewa menanggung biaya utilitas dan pemeliharaan ringan, mencerminkan prinsip keadilan risk-sharing ala syariah.
Di Indonesia, beberapa bank syariah telah memakai format IMBT untuk pembiayaan properti, misalnya “BSI Griya Hasanah iB” yang mematok akad sewa 15–20 tahun dengan opsi hibah rumah setelah pelunasan sewa pokok.
Skema ini meniadakan bunga mengambang; margin sewa disepakati di awal sehingga cicilan tetap, memberi kepastian bagi keluarga MBR yang kerap gamang menghadapi fluktuasi suku bunga konvensional.
RTO-IMBT juga terbukti efektif di Malaysia. Program PR1MA Smart Sewa–Rent-to-Own menyediakan ribuan unit bagi pembeli pertama berpenghasilan RM 2.500–15.000 per bulan.
Penyewa membayar tarif sedikit di atas harga pasar; 30 persennya dialokasikan sebagai equity credit. Setelah lima tahun, mereka berhak atau diwajibkan mengeksekusi opsi beli pada harga terkunci, mengurangi tekanan kenaikan harga rumah tahunan.
Ke depan, pemerintah dapat menjadikan RTO-IMBT sebagai komplementer KPR bersubsidi: rumah dibangun oleh pengembang BUMN, dibiayai bank syariah melalui akad IMBT, lalu ditawarkan kepada MBR dengan sewa terjangkau.
Bila digabung dengan ACS/PKA, bank dapat menilai riwayat pembayaran sewa bulanan sebagai live data kapasitas bayar, sekaligus “merehabilitasi” skor debitur yang sempat tercoreng pinjol dan paylater.
Hasilnya, rumah pertama tak lagi menunggu catatan SLIK pulih sepenuhnya; ia bisa dihuni sekarang, sementara kepemilikan sahih tinggal menunggu waktu.
Pemutihan berkeadilan
Di balik laju pembangunan 3 juta rumah, jutaan keluarga terpasung daftar merah SLIK karena tunggakan mikro, sering tak lebih dari harga sepasang Sepatu, yang membengkak lewat bunga pinjol dan paylater.
Pemerintah mesti menempuh “pemutihan berkeadilan”: penghapusan atau restrukturisasi utang konsumtif bernilai kecil agar debitur bisa “lahir kembali” di sistem kredit formal tanpa mencederai prinsip kehati-hatian.
Contoh paling vokal datang dari Brasil. Program Desenrola Brasil otomatis menghapus utang hingga Rp320 000 dan memfasilitasi negosiasi daring bagi 70 juta warga yang masuk daftar hitam; insentif regulasi mendorong bank memberi diskon rata-rata 83 persen dan menekan biaya fiskal karena piutang itu sudah diklasifikasi write-off sejak lama.
Hasilnya, pada tahap pertama lebih dari 11 juta orang kembali layak pinjam dan konsumsi rumah tangga naik 0,3 poin PDB pada kuartal berikutnya.
Filipina memakai pendekatan serupa lewat program amnesti kartu kredit: bank mengkonsolidasikan tagihan di bawah Rp70 juta, memotong bunga dan memberi tenor hingga lima tahun; sertifikat lunas otomatis memperbarui skor di Credit Information Corporation.
Di Inggris, skema Breathing Space memberi “tahan tembak” 60 hari bunga dibekukan, penagihan dihentikan, agar warga merancang rencana pembayaran bersama penasihat utang; lebih dari separuh peserta pulih ke jalur kredit sehat.
Indonesia dapat memadukan inspirasi tersebut dengan ACS/PKA. Pertama, tetapkan ambang “utang putih”, misal
Tag: #alarm #slik #menyala #pinjol #paylater #menyabotase #mimpi #rumah #pertama