



Mendag Tolak Pengenaan BMAD Benang Filamen Sintetik Asal China, HIPMI: Rugikan Industri Hulu RI
- Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP HIPMI) menilai langkah Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang menolak usulan pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) bagi produk benang filamen sintetik tertentu asal China bisa merugikan industri hulu Tanah Air.
Sekretaris Jenderal BPP HIPMI Anggawira mengatakan, penolakan tersebut membuat impor benang filamen sintetik tertentu membanjiri pasar dalam negeri. Hal ini berpotensi menciptakan persaingan yang tidak seimbang.
“Ini sangat merugikan industri dalam negeri, terutama segmen hulu yang padat modal dan padat karya,” ujar Anggawira melalui keterangan pers yang diterima Kompas.com, Kamis (19/6/2025).
Menurutnya, industri hulu memainkan peran sentral sebagai pemasok bahan baku utama bagi sektor hilir, sehingga tekanan terhadap sektor ini dapat mengakibatkan penurunan tingkat utilisasi mesin pabrik, PHK massal, hingga fenomena deindustrialisasi.
“Kalau hulu tekstil mati, hilir akan mandek. Jika pabrik-pabrik hulu tutup, ribuan pekerja akan kehilangan mata pencaharian,” paparnya.
Ia menekankan bahwa dampak penolakan memperbesar ketergantungan Indonesia pada bahan baku impor, mengikis daya saing industri nasional, serta mengganggu rantai nilai tekstil yang selama ini menjadi salah satu prioritas program hilirisasi dan substitusi impor pemerintah.
Sebelumnya, Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) mengusulkan kenaikan tarif minimal 20 persen dengan mempertimbangkan keseimbangan sektor hulu-hilir.
“Sayangnya, dengan ditolaknya usulan ini, tampak bahwa kepentingan sektor hilir lebih diakomodasi, sementara sektor hulu dibiarkan bersaing secara tidak adil dengan produk luar negeri yang seringkali mendapat subsidi dan fasilitas fiskal dari negara asal,” beber Anggawira.
Pihaknya pun mendesak pemerintah untuk meninjau ulang penolakan tersebut dengan mengedepankan prinsip industrial equilibrium.
"Tanpa intervensi tarif protektif yang adil, kita berisiko menghadapi kematian industri hulu, karena tidak bisa bersaing di harga. Tergerusnya utilisasi pabrik nasional, naiknya angka PHK dan migrasi industri ke luar negeri, serta terganggunya keberlanjutan pasokan ke sektor hilir itu sendiri," lanjutnya.
Untuk diketahui, Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso mengatakan, penolakan pengenaan produk benang filamen sintetik tertentu asal China didasarkan pada usulan sejumlah Menteri.
Para Menteri diantaranya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Rachmat Pambudy.
Dalam surat balasan Mendag yang ditujukan kepada Ketua Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) per 13 Juni 2025, dijelaskan bahwa telah dilakukan pembahasan pada rapat pleno Tim Pertimbangan Kepentingan Nasional (PKN) yang digelar pada 29 April, 21 Mei 2024. Forum ini dihadiri pihak KPPU, API, APSYFI, dan APINDO. Lalu, pertemuan lanjutan di tanggal 23 Mei 2025 yang dilaksanakan di Kementerian Perdagangan.
Dari masukan para Menteri dan usulan terkait, Mendag menyimpulkan pengenaan Bea Masuk Anti Dumping harus memperhatikan situasi terhadap industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) secara keseluruhan di Indonesia.
Di mana, pasokan benang filamen sintetik tertentu ke pasar domestik sangat terbatas dikarenakan kapasitas produksi nasional saat ini belum mampu memenuhi kebutuhan industri pengguna. Sebagian besar produsen benang filamen sintetik tertentu memproduksi untuk dipakai sendiri, dan produsen utama berada di Kawasan Berikat.
Saat ini di sektor hulu industri TPT telah dikenakan kebijakan trade remedies yaitu, BMTP Benang (PMK No.46 Tahun 2023) dan BMAD Polyester Staple Fiber dari India, RRT, dan Taiwan (PMK No.176 Tahun 2022), sehingga pengenaan BMAD terhadap benang filamen sintetik tertentu, yang merupakan bahan baku utama, akan meningkatkan biaya produksi dan menurunkan daya saing industri hilir.
Mendag juga mencatat, saat ini sektor industri TPT baik hulu maupun hilir sedang menghadapi tekanan akibat dinamika geo ekonomi-politik global, pengenaan tarif resiprokal Amerika Serikat, dan penutupan beberapa industri.
Terlebih, kontribusi sektor industri TPT mulai menurun terhadap PDB terutama setelah pandemi Covid-19, dari sebesar 1,3 persen di 2019 menjadi 1,1 persen pada 2024.
Tag: #mendag #tolak #pengenaan #bmad #benang #filamen #sintetik #asal #china #hipmi #rugikan #industri #hulu