



Perpanjangan Usia Pensiun ASN dan Perang Talenta di Birokrasi
BAHKAN dengan menyertakan naskah akademik atau kajian teknokratik yang mendalam, usulan kebijakan perpanjangan masa pensiun pejabat ASN tetap akan menimbulkan perdebatan di ruang publik.
Surat Dewan Pengurus Nasional Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) Nomor: B-122/KU/V/2025 membawa agenda penguatan ASN.
Usulan itu seharusnya menyertakan bukti dan data yang memadai sehingga tidak menimbulkan kesenjangan pemahaman.
Dalam surat tersebut, nyatanya argumentasi yang dibangun hanya sebatas peningkatan angka harapan hidup.
Sebagai organisasi profesi satu-satunya yang mewadahi aspirasi ASN secara formal, Korpri terkesan bergerak tanpa perencanaan dan identifikasi masalah yang matang.
Badan Kepegawaian Negara (BKN), melalui unggahan media sosial Instagram resminya (10/6/25) menguatkan usulan perpanjangan pensiun dengan membagikan konten perbandingan usia pensiun ASN di Indonesia dan di negara-negara lain seperti Jepang dan Singapura, yang batas usia pensiunnya lebih lama dibanding di negara kita.
Sayangnya, narasi tersebut cenderung menyederhanakan persoalan. Wacana perpanjangan usia pensiun semestinya ditopang oleh data analisis yang menyeluruh seperti laporan hasil kinerja ASN kategori usia pra-pensiun, komposisi pejabat struktural dan fungsional yang terdampak.
Selain itu, analisis biaya dan manfaat terutama terkait beban fiskal negara, serta tingkat literasi digital ASN generasi X di tengah percepatan transformasi birokrasi digital.
Tanpa kerangka berpikir yang utuh, wacana ini justru menciptakan kegaduhan yang menguras energi non-produktif bagi banyak pihak.
Di tengah upaya modernisasi sumber daya manusia di berbagai sektor kerja, usulan ini justru berisiko menghambat mobilitas karier generasi muda serta melemahkan daya tarik bekerja sebagai aparatur pemerintah di mata talenta potensial.
Jika tidak ada intervensi lebih lanjut, maka sektor privat tetap akan menjadi primadona bagi para talenta unggul lulusan kampus-kampus terbaik.
Dalam kerangka manajemen talenta di sektor publik, siklus pengelolaan SDM meliputi empat tahapan: akuisisi, pengembangan, retensi dan penempatan talenta.
Kebijakan penambahan usia pensiun bagi ASN perlu kajian mendalam serta melibatkan partisipasi bermakna dari pihak terkait.
Tanpa agenda setting yang komprehensif, implementasi kebijakan ini berpotensi mengganggu siklus manajamen talenta, terutama tahap rekrutmen dan retensi talenta.
Birokrasi, sebagai mesin penggerak kinerja pemerintah harus diisi oleh talenta terbaik. Untuk memikat talenta terbaik di pasar kerja serta menjaga ASN berkinerja tinggi terus berkarier di pemerintah, sistem manajemen SDM dalam birokrasi harus dijalankan dengan prinsip meritokrasi yang kuat.
Tidak cukup di situ, dengan melihat perkembangan global khususnya mengenai demokratisasi informasi, pembentukan citra profesi ASN merupakan faktor penting dalam tahapan akuisi maupun retensi talenta.
Pemetaan potensi dan kompetensi yang dilakukan oleh BKN (2017) terhadap 695 pejabat pimpinan tinggi kian memperkuat skeptisisme terhadap kualitas manajerial birokrasi.
Hasil pemetaa tersebut menunjukkan di level pejabat administrator (Ess. III) hanya 7,04 persen yang memiliki potensi dan kompetensi tinggi,
Sementara di level jabatan pimpinan tinggi pratama (Ess. II) lebih memprihatinkan di mana hanya 4,17 persen yang memiliki potensi dan kompetensi tinggi.
Temuan tersebut dapat dijadikan rujukan sekaligus proyeksi awal terhadap kapasitas dan kompetensi para pejabat pimpinan tinggi di sektor publik saat ini.
Dalam rentang waktu delapan tahun sejak pemetaan dilakukan, secara kepangkatan dan jenjang karier, sebagian besar dari mereka semestinya telah naik ke posisi yang lebih tinggi dan strategis.
Jika diasumsikan tidak ada upaya signifikan dalam pengembangan kapasitas selama kurun waktu tersebut, maka para pejabat yang menjadi subjek pemetaan itulah yang kini berada di puncak birokrasi, dengan pengaruh lebih besar dalam pengambilan keputusan.
Artinya, kita tengah menghadapi situasi di mana potensi inkompetensi justru bertahan dan mengakar di lapisan pimpinan birokrasi.
Pertanyaannya: apakah justru pejabat pimpinan tinggi yang tidak memiliki potensi dan kompetensi tinggi ini yang akan diperpanjang masa kerjanya?
Alih-alih mempertahankan status quo melalui perpanjangan usia pensiun, temuan ini semestinya menjadi peringatan dini bahwa sistem manajemen talenta birokrasi kita membutuhkan regenerasi menyeluruh dan pembenahan mendasar.
Reaksi publik secara gamblang menunjukkan bahwa wacana usulan perpanjangan pensiun bagi ASN menimbulkan polemik yang cenderung menciptakan persepsi negatif terhadap peta karier profesi ASN.
Membaca kondisi ini, penambahan masa pensiun ASN bukan hanya memicu kemandekan regenerasi kepemimpinan, tapi juga berpotensi menghambat tumbuhnya lingkungan kerja yang adaptif terhadap perubahan serta membatasi kesempatan pengembangan kompetensi pegawai.
Padahal, berdasarkan Deloitte Global Gen Z and Millennial Survey 2025, generasi muda menempatkan pengembangan diri sebagai salah satu prioritas utama dalam memilih tempat bekerja—bersama dengan keseimbangan kerja-hidup (work/life balance) dan kesempatan untuk tumbuh dalam karier.
Tujuh dari sepuluh Gen Z menyatakan secara aktif mengembangkan keterampilan untuk kemajuan karier mereka setidaknya sekali dalam seminggu.
Sayangnya, banyak dari mereka merasa bahwa organisasi dan atasan mereka gagal memenuhi ekspektasi tersebut.
Dalam konteks perebutan talenta terbaik, jika pengelolaan sumber daya birokrasi tidak dibarengi dengan strategi regenerasi dan pengembangan talenta yang progresif, maka sektor publik akan kehilangan daya saing dalam memikat dan mempertahankan sumber daya manusia unggul.
Ed Michaels, dalam bukunya The War for Talent (2001) mengidentifikasi lima langkah yang harus dilakukan perusahaan maupun organisasi untuk memenangkan perang talenta.
Pertama, menciptakan proposisi nilai karyawan (employee value proposition) yang unggul, sehingga perusahaan menjadi tempat kerja yang unik dan menarik bagi talenta terbaik.
Kedua, membangun strategi perekrutan jangka panjang.
Ketiga, menggunakan pengalaman kerja, pelatihan langsung (coaching), dan pendampingan (mentoring) untuk mengembangkan potensi para manajer.
Keempat, salah satu yang paling krusial, yaitu memperkuat kumpulan talenta (talent pool) dengan cara berinvestasi pada karyawan berkinerja tinggi (A players), mengembangkan karyawan potensial (B players), dan mengambil tindakan tegas terhadap karyawan yang tidak memenuhi standar (C players).
Terakhir, menanamkan pola pikir menyeluruh di seluruh organisasi, yaitu keyakinan mendalam yang dimiliki bersama oleh para pemimpin bahwa keunggulan kompetitif perusahaan berasal dari kualitas talenta di semua tingkatan.
Mengacu pada istilah yang dikemukakan oleh Michaels, agar birokrasi kita diisi oleh lebih banyak ASN kategori "A players", maka diperlukan keberanian besar dari pemerintah.
Keberanian untuk mempensiunkan lebih awal ASN yang masuk kategori deadwood—mereka yang memiliki kompetensi dan motivasi rendah.
Keberanian pula untuk memberikan jalur percepatan karier (fast track) bagi talenta muda ASN yang unggul dan terbukti berkinerja tinggi.
Usulan penambahan usia pensiun sejatinya sah-sah saja dilakukan, sepanjang disertai dengan bukti peningkatan kualitas kinerja, kualifikasi dan kompetensi ASN, khususnya bagi mereka yang berada pada fase pra-pensiun.
Kebijakan yang kompleks dan berdampak luas semacam ini harus dibangun di atas kajian data yang komprehensif agar dapat menjadi landasan pengambilan keputusan yang rasional dan akuntabel.
Namun, apabila kebijakan ini hanya menjadi cara mempertahankan status quo atau lebih buruknya menjadi agenda politik terselubung, maka ia berisiko menjadi pemborosan anggaran, apalagi di tengah kebijakan efisiensi pemerintah.
Uang negara yang seharusnya dapat dialihkan untuk kebutuhan masyarakat justru terserap untuk membiayai aparatur pemerintah yang tidak lagi produktif.
Tag: #perpanjangan #usia #pensiun #perang #talenta #birokrasi