



Ketidakpastian Global Bayangi Pasar Domestik, Indonesia Perlu Waspadai Dampak Eksternal
Bursa saham Asia mengakhiri perdagangan dengan kinerja positif. Seiring meningkatnya harapan atas kelanjutan negosiasi dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok.
Indeks Hang Seng naik 1,5 persen ke level 23.512 dan indeks Shanghai menguat 0,4 persen ke 3.362 pada perdagangan Selasa (3/6). Namun, sentimen pasar tetap dibayangi ketegangan geopolitik dan data ekonomi yang menunjukkan perlambatan aktivitas manufaktur Tiongkok.
"Sentimen ini muncul setelah Presiden (AS Donald) Trump menuduh Tiongkok telah melanggar perjanjian dagang Jenewa, yang memicu kenaikan tarif terhadap baja dan aluminium," ucap Chief Economist Bank Mandiri Andry Asmoro kepada Jawa Pos, Rabu (4/6).
Pemerintah AS juga mendesak negara-negara mitra dagangnya seperti Uni Eropa, Jepang, Vietnam, dan India untuk mengajukan penawaran terbaik mereka dalam negosiasi dagang. Dalam rangka upaya mempercepat pembahasan sebelum tenggat waktu 8 Juli 2025.
Di sisi lain, pelemahan fundamental mulai terlihat dari data ekonomi Tiongkok. Indeks PMI Manufaktur Caixin jatuh ke level 48,3 pada Mei 2025. Turun dari 50,4 pada April 2025 yang menandai kontraksi pertama sejak September tahun lalu.
"Penurunan ini mencerminkan tekanan yang semakin besar akibat lemahnya permintaan global, terutama karena pesanan ekspor turun ke level terendah sejak Juli 2023. Perkembangan ini meningkatkan kekhawatiran terhadap prospek ekonomi Tiongkok di tengah ketidakpastian global yang meningkat dan pemulihan domestik yang rapuh," jelas Asmo.
Kondisi ini tecermin dari kinerja indeks harga saham gabungan (IHSG) yang ditutup melemah 0,3 persen ke 7.044 pada perdagangan Selasa (3/6). Didorong oleh pelemahan beberapa saham berkapitalisasi besar.
"Investor juga terus mencerna sinyal pelemahan kinerja ekspor Indonesia, yang tertekan oleh menurunnya permintaan dari mitra dagang utama seperti AS dan Tiongkok," imbuhnya.
Saham-saham unggulan seperti DCI Indonesia (DCII) yang terkoreksi 3,2 persen ke 151.325, lalu Chandra Asri Pacific (TPIA) turun 1,9 persen ke 9.125, dan Astra International (ASII) mengalami koreksi 1,7 persen ke 4.700. Untuk saham Bank Mandiri (BMRI) juga melemah 0,5 persen ke 5.050.
Saham yang memimpin penguatan adalah Sumber Alfaria Trijaya (AMRT) naik 3,6 persen ke 2.620, kemudian Barito Pacific (BRPT) tumbuh 3,2 persen ke 1.290, dan Telkom Indonesia (TLKM) yang menguat tipis 0,7 persen ke 2.800.
Meski pasar obligasi menunjukkan penguatan terbatas, imbal hasil obligasi pemerintah RI 10 tahun turun ke 6,84 persen. Arus masuk asing tetap positif. Asmo menekankan bahwa investor akan tetap selektif.
Kepemilikan asing pada obligasi pemerintah per 28 Mei 2025 tercatat sebesar Rp 926,3 triliun atau 14,6 persen dari total outstanding. Dengan arus masuk bersih Rp 26,6 triliun secara month-to-date (MtD). Sementara secara tahun kalender, arus masuk bersih mencapai Rp 49,6 triliun year-to-date (YtD).
Sementara itu, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah 0,26 persen menjadi Rp 16.290 per USD. Masih terdepresiasi 1,17 persen secara YtD. Tekanan terhadap rupiah masih akan berlangsung dalam jangka pendek, terutama di tengah penguatan dolar dan ketidakpastian eksternal.
Tag: #ketidakpastian #global #bayangi #pasar #domestik #indonesia #perlu #waspadai #dampak #eksternal