



Jual Beli Uang Rupiah, Bolehkah?
MENJELANG berakhirnya kegiatan penukaran SERAMBI yang diinisiasi oleh Bank Indonesia bulan lalu, masyarakat sempat dihebohkan dengan unggahan video oleh salah seorang warga melalui aplikasi TikTok.
Isinya cukup kontroversial. Bagaimana tidak, penggunggah menawarkan jasa penukaran uang baru. Sudah pasti penukaran tersebut tidak gratis. Terdapat biaya yang dikenakan per transaksinya.
Namun, jasa penukaran ini tidak dibatasi seperti yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Hal ini pun menimbulkan gelombang protes di masyarakat.
Selain itu, masyarakat juga mempertanyakan keabsahan jasa penukaran tersebut mengingat jumlah nominal uang yang disediakan tidaklah sedikit, ditambah penukaran saat ini hanya dilakukan melalui aplikasi PINTAR.
Seharusnya, kemungkinan masyarakat bisa mendapatkan uang baru dalam jumlah besar sangatlah kecil.
Untuk meredam kehebohan tersebut, Bank Indonesia dengan cepat memberikan klarifikasinya. Bank Indonesia menekankan bahwa kegiatan penukaran dalam rangka SERAMBI sudah dilakukan secara transparan melalui aplikasi PINTAR.
Bank Indonesia tidak memberikan ataupun membuka layanan khusus bagi penjual uang Rupiah ataupun pihak tertentu lainnya.
Selain itu, Bank Indonesia kembali menegaskan pentingnya awareness masyarakat dan mengajak masyarakat untuk melakukan penukaran di layanan resmi Bank Indonesia atau perbankan.
Masyarakat akan sangat rentan terpapar risiko seperti pemalsuan uang Rupiah dan penipuan apabila penukaran dilakukan melalui jasa penukaran tidak resmi.
Yang kemudian menjadi menarik dari klarifikasi Bank Indonesia tersebut adalah himbauan untuk menggunakan uang Rupiah sebagai alat transaksi pembayaran dan bukan sebagai komoditas yang diperjualbelikan.
Fenomena jual beli uang Rupiah bukanlah hal baru. Fenomena ini kerap muncul terutama menjelang Idul Fitri.
Istilah “inang-inang” sering disematkan kepada orang yang melakukan perdagangan ini. Biasanya mereka akan mematok harga jasa untuk setiap transaksinya.
Bank Indonesia pun bukan sekali ini saja memberikan himbauan kepada masyarakat terkait jasa penukaran uang tersebut.
Sebenarnya, bagaimana hukumnya kegiatan jual beli uang Rupiah? Mengapa uang Rupiah harus diberlakukan hanya sebagai alat pembayaran?
Rupiah sebagai alat pembayaran
Untuk menjawab dan memahami hal ini, perlu untuk melihat kembali ke dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (UU Mata Uang). UU Mata Uang dapat dikatakan sebagai “kitab suci” uang Rupiah.
Filosofis diterbitkannya UU Mata Uang menjadi salah satu alasan mengapa uang Rupiah harus diberlakukan sebagai alat pembayaran dan bukan sebagai komoditas yang diperjualbelikan.
Secara umum, landasan filosofis merupakan dasar pembentukan peraturan yang harus sejalan dengan cita-cita dan pandangan hidup masyarakat.
Adapun cita-cita yang ingin dicapai dari penerbitan UU Mata Uang adalah terciptanya masyarakat yang adil dan makmur melalui kegiatan perekonomian nasional. Landasan ini cukup jelas terlihat di dalam penjelasan UU Mata Uang.
Lalu, bagaimana korelasinya dengan uang Rupiah?
Uang Rupiah merupakan instrumen pembayaran yang digunakan dalam transaksi ekonomi. Sederhananya, tanpa Rupiah, maka kegiatan perekonomian akan terganggu.
Terganggunya perekonomian ini akan berdampak kepada cita-cita mulia yang ingin dicapai dari UU Mata Uang.
Lebih lanjut, fungsi uang Rupiah ini dapat dilihat di dalam salah satu konsideran dan pasal-pasal UU Mata Uang yang menegaskan bahwa uang, yang dalam hal ini adalah Rupiah merupakan alat pembayaran yang sah.
Selain itu, masih dari aspek filosofis, penekanan uang Rupiah sebagai alat pembayaran juga dapat dilihat dari kedudukan uang Rupiah sebagai simbol kedaulatan negara.
Rupiah disebut sebagai simbol kedaulatan negara bukanlah tanpa alasan. Indonesia merupakan negara merdeka dan berdaulat.
Mengacu kepada konsep monetary sovereignty, mata uang dapat dikatakan sebagai salah satu bukti eksistensi dari suatu negara.
Konsep ini juga sejalan dengan teori penguasaan efektif suatu negara di mana kedaulatan ditandai dengan adanya transaksi menggunakan mata uang tertentu.
Rupiah pun demikan. Sebagai simbol kedaulatan negara, maka kita sebagai warga negara perlu menghormati dan menghargai uang Rupiah, salah satunya dengan menggunakan Rupiah sebagai alat pembayaran di seluruh wilayah NKRI.
Memperhatikan penjelasan tersebut maka dapat kita tafsirkan bahwa secara filosofis, UU Mata Uang pun menghendaki kita sebagai warga negara memperlakukan uang Rupiah sebagai alat pembayaran yang sah.
Selebihnya, di dalam UU Mata Uang kita akan melihat bagaimana seluruh pengaturannya mendukung fungsi uang Rupiah sebagai alat pembayaran.
Uang sebagai fiat money
Selanjutnya, apabila dilihat dari sejarah uang, maka kita juga akan menemukan bahwa uang sebagai komoditas sudah tidak digunakan lagi di era modern saat ini.
Uang sebagai komoditas sempat diperkenalkan pada masa gold standard. Saat itu, uang dapat dikonversi ke emas sesuai dengan nilai emas yang berlaku.
Era ini kemudian berhenti dengan diperkenalkannya konsep fiat money. Secara umum, fiat money dapat diartikan sebagai uang yang berlaku sebagai legal tender adalah uang dikeluarkan oleh bank sentral.
Fiat money tidak serta merta dapat dikonversikan ke dalam bentuk apapun, termasuk emas. Mengutip apa yang disampaikan oleh European Central Bank, konsep ini menekankan bahwa meskipun nilai untuk membuat 1 (lembar) uang mungkin dapat dinilai, namun dikarenakan fungsi dan peran uang yang sangat luas bagi perekonomian, maka uang tidak bisa dinilai begitu saja layaknya barang komoditas.
Pemahaman ini seharusnya berlaku bagi praktik jual beli uang Rupiah. Masih sejalan dengan fungsi uang Rupiah di dalam UU Mata Uang sebagaimana yang telah dijelaskan tadi, maka seharusnya uang Rupiah tidak bisa dijadikan barang jual beli dengan nilai tertentu karena perannya yang sangat siginifikan bagi perekonomian nasional.
Apakah perlu diatur eksplisit?
Mungkin yang saat ini menjadi isu adalah kurang eksplisitnya pemaknaan Rupiah sebagai alat pembayaran sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, terutama di dalam UU Mata Uang, termasuk implikasi hukumnya.
Terkadang, hal ini menjadi celah yang kemudian dimanfaatkan oleh segelintir orang.
Apa yang dilakukan oleh Bank Indonesia sudah tepat. Selain karena lingkup peran Bank Indonesia memang untuk memastikan tersedianya uang Rupiah layak edar di seluruh wilayah NKRI, Bank Indonesia bukanlah lembaga penegak hukum yang dapat menafsirkan implikasi hukum dan memberikan sanksi hukum, meskipun misalnya terdapat sanksi yang mengatur hal tersebut.
Namun, pertanyaan selanjutnya adalah apakah hal tersebut perlu untuk diatur secara eksplisit?
Menurut saya pribadi, hal ini harus dipertimbangkan secara matang. Perlu untuk diingat bahwa hukum harus dapat memberikan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hukum yang merata bagi semua pihak.
Apabila pada akhirnya diatur secara eksplisit, maka hal ini akan menjadi bagian dari upaya penegakan hukum yang represif.
Padahal di sisi lain, tanpa upaya represif pun, apabila kita memiliki pemahaman akan makna Rupiah, seharusnya akan berkontribusi dalam memurnikan peran Rupiah sebagai alat pembayaran.