



Menambang Raja Ampat, Menghapus Jejak Keanekaragaman Bahari
JUDUL headline Harian Kompas pada Minggu (8/6) berbunyi “Pertambangan Berpotensi Gusur Pariwisata Raja Ampat”, sebuah penegasan bahwa pariwisata, dalam batas-batas tertentu, adalah opsi yang jauh lebih baik untuk lingkungan alam dan manusia Raja Ampat dibanding eksploitasi nikel yang dikandungnya.
Tentu alasan utamanya adalah bahwa pengerukan nikel–istilah yang kini diganti dengan “hilirisasi nikel”--dinilai akan lebih destruktif pada lingkungan alami Raja Ampat dibandingkan dampak yang ditimbulkan pariwisata.
Kegelisahan publik akan nasib keanekaragaman hayati Raja Ampat tampaknya juga disuarakan di berbagai kanal media sosial.
Tambang nikel di salah satu pulau di gugus kepulauan Raja Ampat dilakukan di pulau kecil seluas kurang lebih 6000 hektare, yang menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Bahlil Lahadalia, tak menimbulkan masalah apa pun.
Namun faktanya, pertambangan nikel di pulau kecil dapat merusak lingkungan alami pulau dan perairan di sekitarnya, yang dikhawatirkan berdampak sistemik pada keseluruhan wilayah.
Pertambangan di kawasan wisata bahari
Praktik penambangan mineral bumi di kawasan wisata memang tidak selaras dengan prinsip-prinsip pembangunan kepariwisataan, bahkan wisata massal sekali pun.
Terlebih jika praktik penambangan itu dilakukan di sebagian kawasan yang masuk ke dalam kawasan wisata alam, dalam hal ini wisata bahari.
Praktik wisata bahari setidaknya harus memperhatikan keberlanjutan lingkungan (environmental sustainability), praktik wisata yang bertanggung jawab (responsible travel), penghargaan dan proteksi budaya dan warisan budaya setempat (culture and heritage protection), dan daya dukung lingkungan bahari yang rapuh (fragile).
Kawasan Raja Ampat adalah kawasan konservasi dengan peruntukan kegiatan pariwisata terbatas. Sektor kepariwisataan, meski menjadi salah satu alat (tools) untuk pemanfaatan kawasan Raja Ampat, haruslah secara hati-hati diterapkan di kawasan konservasi yang kini menjadi salah satu hotspot keanekaragaman bahari di dunia ini.
Proteksi terhadap sebagian bentang alam Raja Ampat sudah dilakukan melalui penetapan empat pulau utama sebagai Taman Bumi Dunia UNESCO (UNESCO Global Geopark).
Di samping itu, praktik-praktik kepariwisataan bahari di kawasan Raja Ampat memerlukan dukungan dari semua pemangku kepentingan, termasuk pemerintah pusat.
Praktik “hilirisasi nikel” di kawasan konservasi jelas menyalahi prinsip-prinsip kepariwisataan bahari yang lestari (sustainable marine tourism).
Praktik “hilirisasi nikel” di kawasan–atau setidaknya di dekat kawasan–konservasi bertentangan dan mengancam kelestarian lingkungan dan ekosistem bahari, yang menjadi inti dari prinsip-prinsip pengembangan wisata bahari.
Prinsip-prinsip wisata bahari yang secara langsung bertolak belakang dengan praktik pertambangan di kawasan alam seperti Raja Ampat pertama-tama menyalahi prinsip pengarusutamaan konservasi (conservation first), yang menegaskan bahwa dalam pengembangan wisata bahari, mengutamakan konservasi di atas kepentingan ekonomi–termasuk melalui pariwisata–harus didahulukan.
Prinsip lainnya yang bertentangan dengan praktik pertambangan yang kini terjadi di Raja Ampat adalah pendekatan tindakan pencegahan (precautionary approach), yang meniscayakan adanya kewaspadaan dan kehati-hatian atas setiap praktik yang tidak berkaitan dengan konservasi.
Jika aktivitas di kawasan wisata bahari tidak dapat diprediksi dampaknya, maka aktivitas atau kegiatan tersebut harus dihentikan. Praktik pertambangan sangatlah jelas berpotensi merusak ekosistem alam bahari (Pradipta Pandu Mustika dalam laman Kompas.id; headline Harian Kompas edisi Minggu, 9 Juni 2025).
Opsi pengembangan pariwisata bahari yang selaras dengan pembangunan berkelanjutan dan pariwisata regeneratif haruslah memperhatikan lingkungan alam sekaligus sosial-budaya masyarakat di sekitar kawasan.
Terlebih kini kawasan Raja Ampat ditetapkan sebagai Taman Bumi Dunia UNESCO (UNESCO Global Geopark).
Pelibatan masyarakat Raja Ampat dalam pengelolaan dan praktik-praktik wisata bahari adalah bagian dari upaya penerapan prinsip-prinsip kelestarian dalam konteks wisata bahari.
Karena kepariwisataan bahari menerapkan asas kelestarian, maka pelibatan masyarakat Papua dalam pariwisata adalah keniscayaan.
Dampaknya adalah mampu menjadikan penduduk Papua di kawasan Raja Ampat turut merasa memiliki kawasan dan mengambil manfaat darinya seraya berpartisipasi melindungi kawasan dari degradasi lingkungan.
Namun, sekali lagi, ini pun hanya bisa dilakukan jika pendekatan kepariwisataan yang diterapkan adalah pendekatan sustainability. Kita bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika kawasan Raja Ampat dijadikan kawasan pertambangan.
Kepariwisataan memang dapat menjadi alat dalam pembangunan masyarakat. Pengusahaan kepariwisataan alam meniscayakan keterlibatan penduduk sekitar sebagai pemangku kepentingan paling utama di kawasan.
Melalui pariwisata, upaya pembangunan masyarakat Raja Ampat diharapkan dapat tercapai tanpa perlu merusak keanekaragaman hayati laut.
Dalam format ini, masyarakat ditempatkan sebagai motor, pelaku, sekaligus pengendali pariwisata di kawasan alam.
Tentu saja keterlibatan pemerintah sangat diperlukan sebagai regulator yang turut mengendalikan sejauh mana pariwisata dapat diusahakan tanpa merusak lingkungan.
Sekarang bayangkan jika justru pemerintah sendiri yang mengusahakan terbitnya Izin Usaha Pertambangan (IUP) di kawasan sekelas Raja Ampat.
Di negeri ini, nampaknya, dunia kepariwisataan bukanlah isu penting yang menyangkut kesejahteraan dan perlindungan lingkungan alam dan keanekaragaman hayati.
Di negeri ini, sektor ekstraktif seperti pertambangan masih dilihat sebagai peluang ekonomi yang mampu mendatangkan uang dengan lebih cepat, tak peduli apakah lingkungan rusak atau tidak.
Tag: #menambang #raja #ampat #menghapus #jejak #keanekaragaman #bahari