Elegi Influencer Bola Spesialis A1
WARTAWAN ternama Amerika Bill Keller pernah berkata, "kutukan menjadi jurnalis adalah selalu punya pertanyaan yang lebih banyak ketimbang jawaban".
Begitulah prinsip wartawan sejati yang tidak cepat puas pada jawaban. Ibarat membuka boneka Matryoshka, maka akan muncul boneka demi boneka lain.
Satu jawaban akan melahirkan sedikitnya lima tipe pertanyaan baru, yakni what, who, where, when, why, dan how? Itulah 5W1H yang selalu jadi prinsip wartawan di mana pun berada.
Semakin banyak pertanyaan di kepala wartawan, maka akan semakin banyak detail laporan yang bisa disajikan.
Karena lebih banyak bertanya ketimbang berkesimpulan, dua wartawan muda Washington Post, Bob Woodward dan Carl Bernstein, bisa melahirkan mahakarya monumental dalam dunia jurnalistik.
Berangkat dari pertanyaan sederhana soal bagaimana lima perampok bisa membobol kantor Demokrat di saat momen politik penting di Amerika.
Jawaban yang mereka dapat dari narasumber rahasia dengan sandi Deep Throat justru semakin memancing pertanyaan demi pertanyaan lain.
Deretan pertanyaan itu semua mengarah pada kegiatan politik kotor dari pejabat tinggi di pemerintahan Richard Nixon.
Karena "kutukan" wartawan yang lebih banyak bertanya dibanding cepat berkesimpulan itulah salah satu karya jurnalistik terbesar dalam sejarah itu bisa menumbangkan seorang presiden Amerika.
Waktu kini berganti jauh melintasi era wartawan macam Bob Woodward dan Carl Bernstein. Era teknologi pintar seperti saat ini banyak membantu atau menjebak wartawan.
Tingkah polah wartawan bergeser. Banyak yang kemudian memilih jalan pintas. Ketimbang berpeluh dengan narasumber atau data langsung di lapangan, mereka memilih jalan pintas via teknologi.
Artificial intelligence, "mbah google", atau ponsel jadi senjata utama wartawan era kini dalam mencari informasi.
Pergeseran cara itu hal biasa. Yang penting prinsip kerjanya, kode etik, maupun semangatnya tetap sama.
Jangan kemudahan mencari informasi via teknologi malah menjebak wartawan, tidak lagi banyak bertanya, tapi banyak berkesimpulan. Inilah yang membedakan wartawan dengan konten kreator pada umumnya.
Meski wartawan itu menjadikan kanal media sosial sebagai piranti utama dalam menyebarkan informasi, tapi prinsip jurnalistik akan tetap menjadi warna utama.
Sebaliknya, seorang konten kreator lebih mengedepankan teknis dan statistik konten. Yang penting viewer, hook, engagement, dan ujung-ujungnya soal monetisasi.
Padahal, sisi jurnalistik sangat bisa dikawinkan dengan sisi konten itu sendiri. Sehingga memonetisasi dengan berpegang pada prinsip jurnalistik tak haram hukumnya.
Saya ingin mengambil wartawan sepak bola yang kini bergeser jadi konten kreator di media sosial. Saya mengenal beberapa di antara wartawan yang kini jadi influencer atau konten kreator di media sosial punya rekam jejak jurnalistik yang baik di lapangan.
Mereka tak asal membicarakan sepak bola hanya dengan modal translate atau pengamatan layar kaca. Namun, melakukan observasi dari level akar rumput hingga elite federasi.
Sehingga wartawan yang memiliki basis kuat di lapangan ini punya perspektif dan jejaring lebih komprehensif.
Saat membedah isu perspektifnya jauh lebih kaya, mendetail, hingga narasi yang disajikannya pun bermutu. Tak peduli di mana positioning-nya, tapi saat semua disajikan lewat proses yang baik, maka output-nya pun akan berkualitas pula.
Sebaliknya, ada pula wartawan merangkap influencer yang kualitasnya lebih menyerupai ahli gosip. Hanya berlandaskan narasi, retorika, hingga embel-embel A1 semata.
Rekam jejak jurnalistik di lapangannya tidak jelas. Bahkan, sejak awal lebih berkecimpung sebagai wartawan layar kaca atau spesialis translate berita.
Jangankan terjun di lapangan, networking pun terbatas, hingga pada akhirnya saat produksi konten sepak bola pun menggunakan interpretasi lagu untuk mengulas sebuah isu.
Di kalangan wartawan sepak bola yang berkecimpung di lapangan, sosok ini jadi bahan tertawaan. Ini bukan soal suka atau tidak dengan positioning si wartawan atau influencer.
Sebab di dunia jurnalistik beda sudut pandang adalah hal biasa. Mau Anda bersuara keras dalam mendukung atau mengkritisi isu sepak bola, selama ditunjang dengan kualitas jurnalistik, maka hasil karyanya tetap akan bermutu.
Namun, jika mendukung atau mengkritik dengan kualitas gosip berkedok info A1 semata, maka output-nya tak ubahnya narasi buzzer. Sehingga bukan informasi yang disampaikan, melainkan miss, bahkan disinformasi semata.
Pada akhirnya wartawan yang baik akan berangkat dari deretan pertanyaan. Bukan berangkat dari sentimen, perasaan, atau kesimpulan.
Seperti dokter, dia akan mendiagnosis persoalan, memberi resep, hingga memberi obat yang mengobati penyakit.
Sebaliknya influencer dengan kualitas jurnalistik yang buruk akan mendiagnosis masalah dengan salah, memberi resep yang salah, akhirnya sakit pun semakin parah. Sehingga mengulas sepak bola pun hanya bisa lewat cocokologi sebuah lagu.
"The man who asks a question is a fool for a minute, the man who does not ask is a fool for life". (Konfusius).
Tag: #elegi #influencer #bola #spesialis