Pelajaran Maruarar untuk PDIP, Gibran, Bobby, dan Jokowi
Unggahan Maruarar Sirait yang menggambarkan pertemuannya dengan Presiden Joko Widodo. Unggahan tertanggal Senin (15/1/2024) itu disertai penjelasan soal pengunduran diri Maruarar di PDI Perjuangan.(Tangkapan layar Instagram @maruararsirait)
06:00
17 Januari 2024

Pelajaran Maruarar untuk PDIP, Gibran, Bobby, dan Jokowi

SETELAH malang-melintang, bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sejak 1999, Maruarar Sirait resmi mundur.

Mundurnya Maruarar ditandai dengan pengembalian Kartu Tanda Anggota (KTA), yang diserahkan langsung oleh Maruarar ke Utut Adianto, Wakil Sekjen DPP PDIP, pada Senin, 15 Januari 2024.

Dengan demikian, Maruarar yang pernah menjadi anggota DPR RI dari PDIP periode 2004-2009, 2009-2014 dan 2014-2019 resmi bukan lagi bagian dari partai banteng moncong putih.

Saat berpamitan, Maruarar yang juga pendiri dan mantan Ketua Taruna Merah Putih, organisasi sayap PDIP, turut mengucapkan terima kasih kepada Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri hingga Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto.

Sekalipun keputusan politiknya itu menjelang atau mendekati hari pemilu, Maruarar tak menjelaskan secara gamblang apakah memilih mundur ada kaitannya dengan dukungan terhadap pasangan calon presiden dan calon wakil presiden tertentu.

Maruarar beralasan kalau mundurnya dari PDIP karena memilih ikut Jokowi. Sesuai hati nurani dan kerena merasa masyarakat masih percaya Jokowi.

"Saya memilih untuk mengikuti langkah Pak Jokowi karena saya percaya Pak Jokowi adalah pemimpin yang sangat didukung oleh rakyat Indonesia," tuturnya (Kompas.com, 16 Januari 2024).

Maruarar juga sempat bertemu dengan Jokowi sebelum mengambil langkah mundur. Memunculkan spekulasi bahwa keputusannya itu ada dalam koordinasi, setidaknya komunikasi dengan Jokowi.

Walau sebenarnya mundurnya Maruarar bukan hal yang mengejutkan, karena selepas tidak lagi terpilih sebagai anggota DPR RI periode 2019-2024, Maruarar juga tak memegang posisi penting di struktur PDIP.

Ia lebih dekat dengan circle Jokowi, antara lain dengan ditunjuk sebagai Ketua Satuan Tugas (Satgas) Anti-Mafia Sepak Bola oleh Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) Erick Thohir.

Sebelum Maruarar, Budiman Sudjatmiko juga mengalihkan dukungan ke Prabowo Subianto - Gibran Rakabuming, meninggalkan Megawati dan PDIP. Migrasinya sejumlah politisi yang juga telah menjadi ikon PDIP ini, menjadi catatan kritis dan pelajaran bagi partai itu.

Sekalipun belum tentu berdampak pada elektabilitas partai, tapi tetap saja ini merupakan pukulan telak bagi PDIP dan Megawati yang terus ditinggalkan kader potensialnya. Juga mempertegas bahwa Jokowi dan PDIP atau Megawati tak lagi sehaluan orientasi politik.

Pukulan jelang pemilu, mengingat Maruarar adalah kader PDIP tulen. Sebagai putra dari Sabam Sirait, tokoh yang sepanjang hidupnya dikenal dekat dengan Megawati, tentu saja kadar militansi Maruarar ke PDIP bukan kaleng-kaleng, tak perlu diragukan.

Sabam Sirait adalah salah satu tokoh yang ikut mendirikan PDIP tahun 1973, yang waktu itu masih bernama PDI. Bahkan Megawati pun masuk ke gelanggang politik karena dorongan Sabam Sirait.

Hal itu diakui sendiri oleh Megawati dalam sejumlah kesempatan. Megawati kerap bercerita bahwa Sabam Sirait orang pertama yang membujuknya, hingga akhirnya mau terjun ke politik.

Sekalipun mundurnya Maruarar dan sejumlah kader lain yang membelot dengan alasan mengikuti Jokowi, namun fenomena ini mestinya turut memantik evaluasi di internal PDIP. Tentu ada yang mesti dibenahi.

Pengelolaan partai yang terlalu tersentralistik pada sosok Megawati sebagai ketua umum partai, dirasa kental nuansa feodal-nya. Sesuatu yang tentu saja bertolak belakang atau meminggirkan proses kaderisasi dan sirkulasi elite di internal PDIP.

Partai yang dikelola secara feodal tentu akan mendistorsi demokrasi internal, mobilisasi akan lebih menonjol, mengemuka, ketimbang partisipasi anggota dan basis massa, hingga muncul nepotisme politik.

Sistem feodal cenderung menciptakan hierarki yang kuat di antara elite partai, yang dapat menghambat perkembangan ide dan inovasi dalam tubuh partai.

Selain itu, keputusan yang sentralistik dan cenderung otoriter dapat menyebabkan ketidakpuasan di kalangan anggota partai, serta berujung pada representasi atau komposisi pengurus yang kurang seimbang. Keputusan partai menjadi kurang objektif.

Inilah yang harus segera atau menjadi pekerjaan rumah bagi PDIP. Eksistensi partai ini di masa depan, apalagi di era disrupsi demokrasi-politik sangat bergantung perubahan dan adaptasi yang dilakukan.

Untuk Gibran, Bobby dan Jokowi

Terlepas dari dinamika dan alasan hingga mundur dari PDIP, satu hal yang bisa dipelajari dari peristiwa politik ini adalah bagaimana sikap politik santun penuh dengan etika yang ditunjukan oleh Maruarar.

Sebagai politisi matang, jelang pemilu, Maruarar tidak main kucing-kucingan, petak-umpet, apalagi politik dua kaki. Ia gentleman pamit dan mengembalikan KTA, juga memberikan pernyataan melalui media.

Menunjukkan Maruarar adalah politisi otentik, berkarakter, punya sikap dan prinsip. Bukan politisi karbitan yang berproses di politik secara instan dan tidak melalui proses internal partai yang berjenjang.

Hal ini tentu menjadi pembeda, sekaligus contoh bagi generasi muda yang akan masuk atau terjun di politik. Politik bukan soal kekuasaan semata, tapi juga bicara soal etika dan bagaimana cara mendapatkan serta mengelola kekuasan itu.

Cara dan sikap Maruarar juga bisa menjadi pembelajaran kepada para politisi muda yang saat ini sedang mengorbit dalam perpolitikan nasional.

Dalam konteks ini, Gibran dan Bobby Nasution, anak-menantu Jokowi tersebut, mestinya bisa belajar dari Maruarar. Sesuatu yang penting dilakukan mengingat mereka tengah menjadi perhatian di panggung nasional.

Gibran dan Bobby sebelumnya baru menjadi politisi dan masuk PDIP karena mau ikut berkontestasi sebagai wali kota. Mereka masing-masing akhirnya terpilih, Gibran di Solo dan Bobby di Medan.

Namun melihat bagaimana sikap dan langkah politik mereka dalam mengakhiri relasi politik dengan PDIP, sungguh berbeda dengan cara yang ditunjukan oleh Maruarar. Gibran dan Bobby membelot ke rival PDIP tanpa permisi, tanpa basa-basi, tanpa kulonuwun.

Mungkin karena merasa anggota keluarga presiden, sehingga PDIP, partai yang telah membesarkan mereka itu seperti tak dianggap. Menunjukan kalau mereka minim kapasitas, pengalaman dan etika politik.

Realitas politik semacam inilah yang kerap berdampak buruk bagi konsolidasi dan penguatan partai. Menjadikan partai sekadar batu loncatan untuk meraih kekuasaan dan ambisi pribadi.

Situasi yang membuat politisi kutu-loncat terus tumbuh bak cendawan di musim hujan. Bisa berpindah partai kapan saja sesuai kepentingan diri atau kelompok.

Berpartai tidak dijadikan sebagai wahana untuk merealisasikan visi dan nilai kepartaian. Berpartai tidak untuk menjadi jembatan mengagregasi atau memperjuangkan kepentingan publik yang lebih luas.

Sikap politik Maruarar juga bisa diikuti atau menjadi pelajaran bagi Jokowi, yang sampai saat ini belum bersikap, sekalipun telah merestui putranya Gibran maju sebagai cawapres berpasangan dengan Prabowo, menantang calon yang diusung PDIP.

Ini tentu situasi yang secara etika politik sulit untuk diterima, apalagi dibenarkan. Bagaimana mungkin Jokowi dapat bersikap adil terhadap PDIP dalam Pilpres 2024 ini, sementara putranya sendiri ikut berkontestasi dari koalisi yang berbeda.

Secara fatsun politik pun mestinya Jokowi harus mengikuti pilihan dan keputusan politik dari partainya. Semua kader partai diharapkan mengikuti keputusan partainya, penting dalam menciptakan kohesi internal.

Kesatuan tentu saja diperlukan dalam memperkuat posisi partai terutama jelang proses politik seperti perhelatan pemilu, termasuk untuk memudahkan implementasi kebijakan yang diambil bersama.

Selain itu, kader partai yang mendukung keputusan partai menunjukkan solidaritas dan komitmen terhadap visi dan misi partai, yang dapat meningkatkan kepercayaan publik, ujungnya adalah eksistensi partai.

Sementara bila seorang kader partai membelot, hal tersebut dapat menciptakan ketidakstabilan di internal dan berpotensi merugikan citra partai. Setiap partai tentu memiliki mekanisme internal untuk menangani situasi, termasuk sanksi dikeluarkan dari partai.

Di titik ini, Jokowi mestinya segera mengambil sikap politik, mengikuti langkah Maruarar, atau sebaliknya PDIP segera mengambil keputusan, menyatakan dengan tegas bahwa keanggotaan Jokowi di partai itu telah berakhir. Mungkinkah? Kita nantikan.

Tag:  #pelajaran #maruarar #untuk #pdip #gibran #bobby #jokowi

KOMENTAR