Menunggu Sesi Debat Capres Bertema Anak
Capres nomor urut satu Anies Baswedan (kanan), Capres nomor urut dua Prabowo Subianto (tengah), Capres nomor urut tiga Ganjar Pranowo (kiri) beradu gagasan dalam debat perdana Capres dan Cawapres 2024 di Gedung KPU, Jakarta, Selasa (12/12/2023). Debat perdana tersebut mengangkat topik yang diangkat adalah masalah pemerintahan, hukum, hak asasi manusia, pemberantasan korupsi, penguatan demokrasi, serta peningkatan layanan publik dan kerukunan warga.
05:48
17 Januari 2024

Menunggu Sesi Debat Capres Bertema Anak

RASANYA tak sabar saya menanti sesi debat calon presiden yang mengangkat tema tentang perlindungan anak.

Pada awalnya, sempat saya tergetar saat diingatkan oleh salah seorang sahabat pegiat media tentang anak-anak yang menjadi korban penembakan pada aksi demonstrasi besar-besaran pascapemilihan presiden 2019.

Terbayang bahwa lembaga-lembaga terkait, seperti Polri serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, akan bergegas menyingsingkan lengan baju guna menginvestigasi kembali peristiwa menyedihkan itu.

Namun tampaknya belum ada berita yang jelas mengenai kelanjutan pengusutan peristiwa kelam tersebut.

Senada dengan itu adalah jatuhnya anak-anak sebagai korban alat peraga kampanye (APK). Media mewartakan, sejumlah APK tumbang dan menimpa anak-anak berikut keluarga mereka.

Sayangnya, dari pemberitaan yang saya ikuti, kejadian nahas itu selesai begitu saja lewat konsekuensi administratif.

“Penyelesaian” masalah model ini tentu diselenggarakan dengan tidak sungguh-sungguh menempatkan kepentingan terbaik anak sebagai sesuatu yang sejatinya mutlak harus dikedepankan.

Hari-hari belakangan ini pun lebih kelam lagi. Sebagian kalangan dengan mudahnya melontarkan kosakata kasar dari atas panggung kampanye.

Saya sama sekali tidak tertarik memperbincangkan hal ini dengan sorotan pro kontra politik. Puluhan tahun saya bergiat di lapangan perlindungan anak, tidak pernah sekali pun saya menunjukkan sikap partisan.

Namun ketika berlangsung peristiwa yang saya nilai merugikan anak-anak, betapa pun itu ada di kancah politik praktis, saya akan bersuara dengan landasan keberpihakan pada anak.

Penggunaan diksi rendahan, apalagi jauh dari kesantunan, semestinya dapat dihindari. Termasuk, misalnya, saat acara debat presiden yang disiarkan secara luas dan cukup banyak ditonton anak-anak, dan kemudian juga banyak diviralkan.

Bukannya menunjukkan suasana persahabatan antarsesama calon pemimpin bangsa, namun lebih mempertontonkan suasana saling sindir, serang atau saling menjatuhkan dengan sorak sorai massa yang sarat akan kemarahan dan permusuhan.

Setiap kali berbicara tentang pentingnya regulasi emosi ke para orangtua, saya selalu tekankan bahwa amarah adalah wajar. Amarah merupakan respons alamiah manusia ketika berhadapan dengan situasi yang bertentangan dengan kehendaknya.

Mengingkari amarah justru tidak sehat. Matang tidaknya orangtua tidak ditentukan oleh ada atau tidak adanya amarah.

Pokok penentunya adalah bagaimana orangtua mengekspresikan amarahnya. Dan, tentu, amarah yang ditampilkan lewat sumpah serapah justru merupakan penanda tidak sehatnya kualitas emosi orangtua.

Penggunaan kata-kata kasar dan suasana permusuhan juga bersifat menular. Bukan penularan melalui virus atau sejenisnya, namun melalui proses belajar sosial (social learning) yang keliru. Yakni, orang-orang, termasuk anak-anak, akan meniru perbuatan serupa.

Semakin tidak elok ketika orang-orang yang mengucapkan umpatan atau suasana penuh permusuhan —siapa pun dia— justru disambut dengan sorak-sorai dan kemudian diviralkan.

Betapa sedih; susah payah para guru dan ayah bunda mengajarkan persahabatan, akhlak mulia dan sopan santun kepada anak-anak. Budi pekerti tercermin, antara lain, pada tutur kata dan perilaku.

Namun berkat kedahsyatan media sosial, ajaran-ajaran kebaikan itu dalam waktu singkat dapat langsung “terevisi” oleh tayangan-tayangan tentang aksi teatrikal penutur yang jauh dari keteladanan. Ini amat-sangat disesalkan.

Empat isu

Kembali ke kalimat awal tulisan ini. Tak sabar saya menunggu datangnya sesi terakhir debat calon presiden. Pasalnya, pada sesi itulah—perkiraan saya—tema-tema perlindungan anak akan memperoleh panggungnya.

Tinggal lagi bagaimana calon-calon pemimpin nasional kita mengolah gagasan dan narasi dengan seindah mungkin, sehingga dapat menjadi alat tagih masyarakat saat satu dari ketiga calon yang ada terpilih nantinya.

Terutama pada segmen tanya jawab, saya sungguh-sungguh berharap ada pertukaran pendapat tentang beberapa hal yang saya anggap kritis dewasa ini. Semuanya terkait pada aktivitas perlindungan anak.

Pertama, perlindungan anak-anak dari bahaya rokok. Rokok memang saya berikan garis tebal, karena publik sering abai bahwa rokok merupakan salah satu ragam zat adiktif.

Dan zat adiktif adalah satu dari tiga zat kimia berbahaya. Bahkan, rokok—saya percaya—sebagai zat berbahaya yang penyebarannya paling masif, mengalahkan narkotika dan psikotropika.

Kedua, kampanye orientasi dan perilaku seksual menyimpang. Masalah gawat ini tidak bisa disorot sebagai problem individu per individu semata.

Orientasi dan perilaku seksual menyimpang sudah menjadi ideologi yang banyak dikampanyekan secara global.

Kini, bahaya serius ini dikemas dengan cerdik lewat semantik yang menyesatkan. Misalnya, edukasi kesetaraan jender, hak privat, kesehatan reproduksi, bahkan pengasuhan keluarga alternatif.

Ketiga, mendakinya angka perceraian di Tanah Air. Kegelisahan akibat maraknya perceraian sesungguhnya sangat beralasan.

Karena kasus-kasus yang masuk ke LPAI (Lembaga Perlindungan Anak Indonesia) memperlihatkan bagaimana fenomena perceraian unilateral berlanjut dengan keterpisahan anak dari orangtua mereka.

Ini merupakan bukti bahwa perceraian, yang semula diharapkan menjadi upaya mitigasi terhadap konflik suami istri, justru menjadi awal mula bagi anak-anak untuk “kehilangan” ayah atau bunda mereka.

Keempat, paparan media sosial yang berpengaruh terhadap mekanisme kerja otak anak-anak. Impulsivitas, rentang perhatian pendek, dan lemahnya semangat juang, adalah beberapa contoh dampak yang saya jumpai pada banyak anak-anak akibat kecanduan mereka pada media sosial dan aplikasi berbasis daring lainnya.

Anak-anak yang hari ini dikondisikan untuk menjadi impulsif, gampang letih, dan sulit menunda keinginan, saya khawatirkan nantinya akan tumbuh sebagai individu yang bukan membangun harapan, melainkan terbuai dalam sejuta angan-angan. Banyak keinginan, namun lemah ikhtiar.

Dengan tantangan dunia yang semakin berat, anak-anak yang mengalami pemanjaan berlebihan akan sulit beradaptasi. Ini menciptakan prakondisi ideal bagi korupsi, kolusi dan nepotisme.

Komisi Pemberantasan Korupsi dikabarkan akan menyelenggarakan sesi debat terpisah. Alangkah baiknya apabila KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) juga mengambil prakarsa serupa.

Para capres perlu disediakan forum khusus agar masyarakat dapat mengeksplorasi kekayaan gagasan, ketulusan hati, dan kesungguhan tekad mereka dalam memosisikan isu perlindungan anak pada prioritas kerja nantinya.

Dan terakhir, pada ketiga pemimpin hebat yang akan berkontestasi pada 14 Februari 2024 nanti, perlu diuji dengan satu pertanyaan pamungkas, “Andai Anda kalah, apa yang akan Anda lakukan dalam rangka merealisasikan janji-janji yang sudah terlanjur Anda ucapkan itu?"

Tag:  #menunggu #sesi #debat #capres #bertema #anak

KOMENTAR