Hasil Studi UI: Biaya Sosial Dampak Penggunaan Sachet dan Pouch Capai Rp 1,78 Triliun per Tahun
Peluncuran hasil studi berjudul Laporan Evaluasi Dampak Lingkungan dan Sosial dari Pemanfaatan Sachet dan Pouch Serta Ekspansi Solusi Guna Ulang di Jabodetabek, hasil kerjasama organisasi lingkungan Dietplastik Indonesia dan Daya Makara Universitas Indonesia (UI), di Jakarta, Kamis (28/3/2024). / istimewa 
23:55
28 Maret 2024

Hasil Studi UI: Biaya Sosial Dampak Penggunaan Sachet dan Pouch Capai Rp 1,78 Triliun per Tahun

- Konsumsi masyarakat Indonesia sangat familar dengan pemakaian produk dalam kemasan, seperti sachet dan pouch. 

Namun sayangnya, produk kemasan ini berkontribusi pada meningkatkan jumlah sampah plastik sekali pakai di Indonesia, dan bahkan diperkirakan di tahun 2030 bisa mencapai lebih dari 1,1 juta ton.

Merespons polemik ini, organisasi lingkungan hidup, Dietplastik Indonesia bekerja sama dengan Daya Makara Universitas Indonesia (UI), meluncurkan hasil studi berjudul 'Laporan Evaluasi Dampak Lingkungan dan Sosial dari Pemanfaatan Sachet dan Pouch Serta Ekspansi Solusi Guna Ulang di Jabodetabek', di Jakarta, Kamis (28/3/2024).

Dari hasil studi ini, kata Head of Sustainable Development Research Cluster Daya Makara Universitas Indonesia, Bisuk Abraham Sisungkonon, didapatkan estimasi tim penulis yang menunjukkan, nilai moneter dari biaya sosial plastik sachet dan pouch di Indonesia yang tidak terkelola dan mencemari lingkungan hidup berada di dalam rentang Rp1,19 - Rp 1,78 Triliun setiap tahunnya.

Mayoritas dari biaya sosial tersebut, lanjut dia, berupa gangguan kesehatan, baik gangguan saluran pernafasan maupun kardiovaskular, yang diidap oleh masyarakat luas akibat keterpaparan mereka terhadap polutan hasil pembakaran sampah sachet dan pouch. Belum lagi nilai moneter dari dampak negatif yang berpengaruh dengan isu perubahan iklim.

"Laporan studi ini menunjukkan angka kerugian yang luar biasa akibat penggunaan kemasan sachet dan pouch. Walaupun masih ada beberapa keterbatasan dari studi ini, namun dapat menjadi jalan pembuka bagaimana melihat dampak dari kemasan sachet dan pouch yang selama ini dianggap 'ramah di kantong', tapi ternyata tak ramah untuk lingkungan dan kesehatan," ujar dia.

Sebab itu, masih kata Bisuk, melalui peluncuran laporan ini, diharap para pihak yang berwenang dalam menyusun kebijakan bisa memanfaatkannya untuk menyusun kebijakan yang tepat terhadap alternatif pengganti plastik sekali pakai terutama sachet dan pouch. 

Apalagi, sachet dan pouch merupakan dua jenis kemasan berbahan dasar plastik yang cukup luas digunakan di Indonesia khususnya untuk barang-barang konsumen yang bergerak cepat (Fast-moving consumer goods).

"Penggunaan sachet dan pouch dalam jumlah besar ini, hampir mustahil untuk dikumpulkan dan didaur ulang, sehingga mengakibatkan pencemaran plastik yang sangat besar, dan mengakibatkan pencemaran plastik dan mempercepat laju krisis iklim," ujarnya.

Diperkirakan sebesar 38 persen sampah plastik di Indonesia tidak ditangani dengan baik, yang mencakup pembakaran di ruang terbuka sebesar 47 persen, 6 persen dikubur, serta sebanyak 5 persen sampah plastik dibuang ke badan air. 

Hal tersebut menunjukan bahwa sampah sachet yang melewati proses pembuangan ke tempat penampungan akhir serta didaur ulang hanya sebesar 36 persen, sedangkan untuk sampah pouch sekali pakai hanya sebesar 6 persen.

Untuk menjawab permasalahan sampah sachet dan pouch, Bisuk mengatakan, dalam laporan ini dijabarkan terkait solusi guna ulang untuk diaplikasikan terhadap sampah sachet dan pouch sekali pakai. 

Hal ini juga didukung dengan hasil bahwa 60 persen warga Jabodetabek juga menginginkan agar dapat dipermudah mendapatkan kembali produk yang mereka pakai dengan sistem guna ulang sehingga ikut berkontribusi menjaga lingkungan.

"Selain itu, solusi guna ulang dapat berpotensi memberikan kontribusi nilai ekonomi bersih sampai dengan Rp1,5 Triliun pada tahun 2030 dengan syarat sistem guna ulang bisa memiliki standard dan infrastruktur yang memadai dengan dukungan kebijakan pemerintah," ucapnya.


Peta Jalan Guna Ulang

Kesempatan sama, Rahyang Nusantara, selaku Deputy Director Dietplastik Indonesia mengatakan, untuk menindaklanjuti studi ini, pihaknya sedang menyusun peta jalan atau road maps sistem guna ulang bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), yang mendukung implementasi Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen.

Selain itu, harapannya studi ini dapat semakin meyakinkan bahwa sistem guna ulang bisa menjadi industri baru yang dapat berkontribusi pada kebangkitan ekonomi. 

Apalagi setelah melihat fakta sampah sachet dan pouch dalam laporan ini, Dietplastik Indonesia semakin yakin bahwa dalam ekonomi sirkuler, sistem guna ulang lebih tepat untuk diprioritaskan.

Menurut Rahyang, solusi guna ulang ini dapat bertumbuh dengan munculnya berbagai pelaku usaha guna ulang yang juga menghadapi tantangan dengan murahnya harga sachet. Meski diakui, menjalankan bisnis guna ulang memang penuh tantangan, bersaing dengan sachet saat ini dijual sangat murah.

Senada dengan Kahyang, Founder & CEO Hepi Circle, Kumala Susanto menyebut biaya extended producer responsibility (EPR) atau biaya pertanggungan jawaban produsen atas sampah barang yang diproduksi perlu dimasukkan per kemasan supaya menaikkan harga sachet. Sachet perlu dibuat mahal dan langka, sehingga guna ulang bisa bersaing.

"Guna ulang harusnya menjadi sistem yang normal atau umum di masyarakat," ujar Kumala Sutanto.

Editor: Hasiolan Eko P Gultom

Tag:  #hasil #studi #biaya #sosial #dampak #penggunaan #sachet #pouch #capai #triliun #tahun

KOMENTAR