Diplomasi Pasifik dalam Pertaruhan
JIKA kawasan Asia Tenggara kerap disebut sebagai halaman depan Indonesia, maka kawasan Pasifik adalah halaman belakang Indonesia.
Meskipun memiliki jarak yang dekat dengan Indonesia, namun Indonesia telah lama mengabaikan negara-negara di kawasan Pasifik.
Namun, hal tersebut berubah di periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi. Politik luar negeri Pasifik menjadi salah satu legacy dari periode terakhir Jokowi.
Di penghujung masa akhir presidensi, maka muncul pertanyaan bagi periode berikutnya yang akan dijalankan oleh presiden yang baru: Akankah kebijakan politik di Pasifik progresif atau kembali mengalami stagnansi? Diplomasi Pasifik yang sempat mengalami mati suri, kembali berada di ujung tanduk.
Napas segar kebijakan Indonesia di Pasifik
Sepak terjang politik luar negeri Indonesia di Pasifik dapat dilacak kembali pertama kali di era 1970-an, ketika Indonesia mengakui kedaulatan Papua Nugini dan menjalin hubungan diplomatik.
Namun setelahnya, tidak ada perkembangan signifikan secara diplomatik dengan negara-negara di kawasan. Inisiatif progresif diplomatik baru muncul kembali pada 2019, ketika Indonesia meluncurkan strategi “Pacific Elevation” oleh Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi.
Sebelum meluncurkan inisiatif tersebut, beberapa pondasi kerja sama dan jejak diplomasi telah dirajut oleh pemerintahan pada masa-masa sebelumnya.
Pada 2015, Indonesia telah mengamankan posisi Associate Membership di Forum Melanesian Spearhead Group (MSG). MSG merupakan forum sub regional terkuat di Pasifik dengan keanggotaan yang mewakili dua-per-tiga jumlah populasi dan wilayah Pasifik.
Bahkan, dua negara anggota MSG, Papua Nugini dan Fiji, menyumbangkan 80 persen dari Gross Domestic Product (GDP) dari Pasifik. Ras Melanesia juga memiliki kekerabatan yang terdekat dengan Indonesia, dibandingkan dengan ras Polinesia dan Mikronesia.
Sebagai langkah aktualisasi dari Strategi Pacific Elevation, Indonesia membentuk lembaga Indonesian AID yang setiap tahunnya mengalokasikan 212 juta dollar AS dari dana abadi untuk dana bantuan Internasional, termasuk kepada negara-negara pasifik.
Fiji, Papua Nugini, Kepulauan Solomon, dan MSG merupakan beberapa entitas yang menerima bantuan tersebut. Dana bantuan tersebut merupakan salah satu faktor esensial bagi diplomasi Indonesia di Pasifik.
Kementerian Luar Negeri juga melakukan penguatan institusi untuk melakukan diplomasi di Pasifik. Direktorat baru diresmikan pada 2021, yaitu Direktorat Pasifik dan Oseania.
Pada 2020, Indonesia juga membuat jabatan baru, Duta Besar Keliling untuk Pasifik. Penunjukkan Duta Besar Fientje Maritje Suebu sebagai Duta Besar Indonesia untuk Selandia Baru, Samoa, Kerajaan Tonga, Kepulauan Cook, dan Niue dirasa cukup tepat karena dapat merepresentasikan Indonesia sebagai bagian dari kultur budaya Pasifik.
Indonesia juga piawai dalam memanfaatkan posisinya dalam organisasi internasional lainnya seperti ASEAN, G20, dan PBB dengan mengundang negara-negara Pasifik sebagai pengamat dalam forum tersebut.
Indonesia juga menginisiasi kerja sama baru dengan negara di kawasan Pasifik. Sebut saja ASEAN-PIF pada 2023, pembentukan Archipelagic and Island States (AIS) yang merupakan forum negara-negara pulau dan kepulauan yang melibatkan 51 negara terlepas dari ukuran, kawasan, dan tingkat kemajuan negara, guna menjawab isu-isu pembangunan yang berkelanjutan, dan penyelenggaraan Pacific Exposition, yaitu eksebisi dua tahunan untuk meningkatkan perdagangan, investasi, dan turisme negara-negara Pasifik.
Signifikansi Pasifik
Meskipun lama terabaikan, tidak dapat diabaikan bahwa Pasifik merupakan kawasan vital bagi Indonesia.
Pertama, Indonesia berbagi perbatasan darat langsung dengan Papua Nugini. Pasifik yang aman dan damai merupakan syarat mutlak yang memungkinkan perekonomian Indonesia untuk bertumbuh dan fokus kepada permasalahan internal.
Sebaliknya, halaman belakang yang penuh konflik dan permusuhan memungkinkan terjadinya spillover ke Indonesia yang mampu mengganggu stabilitas negara.
Kedua, tumbuhnya pengaruh negara-negara besar di Pasifik. Amerika Serikat (AS) dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) merupakan dua negara super power yang berkompetisi mendapatkan dukungan dari kawasan Pasifik.
RRT belum lama ini memainkan kartu ekonominya untuk mendapatkan dukungan dari Kepulauan Solomon dan Kiribati.
Ditambah lagi, RRT dan Kepulauan Solomon menjalin pakta keamanan dalam rangka menjaga stabilitas domestik.
Sebagai respons, AS meningkatkan diplomasinya dengan membuka kedutaan besar di Kepulauan Solomon dan menjalin pakta pertahanan dengan Papua Nugini.
AS juga mengakui kemerdekaan Kepulauan Cook dan Niue. Hal ini mendorong Indonesia agar tidak terlupakan dari kawasan yang menjadi halaman belakangnya.
Ketiga, negara Pasifik memiliki pengaruh signifikan dalam isu Papua. Anggota MSG merupakan satu-satunya suara sumbang terkait isu Papua dalam forum internasional, khusunya Majelis Umum PBB.
Sepanjang 2016 hingga 2021, Vanuatu dan negara Pasifik lainnya selalu mengangkat isu tersebut. Mereka berdalih aksi tersebut sebagai bentuk solidaritas terhadap ras Melanesia.
Tentu isu tersebut mengganggu dan berpotensi menjadi penghalang Indonesia untuk mengejar agenda internasional lainnya di forum PBB.
Oleh karena itu, penggalangan terhadap negara di kawasan Pasifik menjadi sangat penting dalam proses penyelesaian isu Papua dan kehormatan Indonesia di dunia internasional.
Tantangan ke depan
Terlepas dari kesuksesan politik Pasifik, tantangan di masa depan tampak semakin nyata. Skeptisme tentang keberlanjutan politik Pasifik bukanlah tanpa dasar.
Pertama, masih rendahnya pengetahuan tentang Pasifik di kalangan masyarakat. Literasi Pasifik terasa hilang di berbagai tingkatan pendidikan, baik dari pendidikan dasar hingga tinggi.
Tanpa adanya kesadaran tentang pengetahuan kawasan, maka kebijakan cenderung berasal dari atas tanpa adanya dukungan dari kekuatan akar rumput.
Jika suatu saat pemerintah merasa bahwa Pasifik sudah tidak signifikan dan relevan, maka politik Pasifik sangat mungkin kembali meredup.
Kedua, kawasan Pasifik tidak pernah menjadi prioritas utama Indonesia. Asia Tenggara selalu berada di lingkaran pusat konsentrik kebijakan luar negeri Indonesia.
Asia Timur dan Samudera Hindia juga tengah mengalami dinamika yang cukup signifikan. Keberadaan entitas internasional juga lebih banyak di kawasan tersebut.
Hal ini memungkinkan teralihkannya alokasi sumber daya Indonesia dari Pasifik menuju kawasan yang menjadi hotspot internasional.
Ketiga, siklus politik dalam negeri lima tahunan memungkinkan terjadinya perubahan fokus program pemerintah.
Pasifik yang selama dua periode terakhir cukup menjadi perhatian pemerintah tidak menutup kemungkinan akan kembali terabaikan.
Dengan terbatasnya sumber daya pemerintah dan banyaknya agenda yang dikerjakan, realokasi sumber daya dapat memengaruhi jalannya diplomasi Pasifik.
Terlebih, diplomasi Pasifik bukanlah hal yang murah dan membutuhkan pendanaan yang besar melalui program-program bantuan Internasional yang dilakukan Indonesia.
Dengan demikian, patut dicermati kebijakan pemerintahan ke depan terkait Pasifik. Akankah Pasifik sekali lagi menjadi bagian integral dari politik luar negeri pemerintah atau Pasifik kembali menjadi halaman belakang yang terlupakan, jawabannya berada di pundak pemerintahan periode mendatang.