Bencana, Bahasa, dan Relasi Kuasa
Warga Kota Lintang Atas, Aceh Tamiang berjalan di jalan permukiman yang masih diselimuti lumpur dan genangan, Kamis (18/12/2025).(KOMPAS.com/Tria Sutrisna)
14:26
19 Desember 2025

Bencana, Bahasa, dan Relasi Kuasa

INDONESIA menutup akhir tahun 2025 dalam duka. Pada penghujung November 2025 kita dikejutkan oleh bencana yang terjadi di tiga provinsi terbarat Indonesia, Sumatra Barat, Sumatra Utara, dan Aceh. Sudah hampir empat pekan sejak banjir bandang menghantam barat Sumatra. Bencana besar ini telah menelan korban jiwa lebih dari 1.000 orang dan 200 orang yang belum ditemukan. Kebutuhan untuk membangun kembali daerah terdampak diestimasi lebih dari 50 triliun rupiah. Sebuah kehilangan.

Di tengah kondisi duka ini, peran dan kehadiran pemerintah menjadi semakin dibutuhkan oleh masyarakat. Namun di tengah peran yang harus dioptimalkan, seringkali kepekaan tidak tercermin dalam bahasa yang dilontarkan. Kita dipertontonkan dengan gaya komunikasi yang birokratis, politis, dan kurang sensitif. Padahal justru di momen yang mengguncang ini, kata-kata yang menenangkan justru sangat dinantikan.

Sejak bencana banjir yang meluluh lantakkan tiga provinsi di Indonesia, kita disajikan dengan beragam pernyataan yang jauh dari kata menenangkan. Bencana diubah menjadi panggung politik dan persaingan dalam perebutan popularitas. Hal ini dipertontokan oleh para pemangku di beragam lini, pemimpin daerah, legislatif, dan eksekutif.

Di hari-hari awal kejadian bencana, Kepala BNPB sempat mengeluarkan pernyataan bahwa bencana yang mencekam ini “hanya” di media sosial. Tak sampai di situ, Menteri Sosial RI juga sempat menuai kontroversi ketika dimintai tanggapan mengenai penggalangan dana dan bantuan oleh para public figure dan lembaga. Jawaban yang diberikan justru birokratis dan menekankan masyarakat untuk berada pada posisi yang lebih aktif.

Hal ini sangat disayangkan, mengingat dua institusi tersebut memiliki peran yang sangat sentral dalam penanganan bencana. Pernyataan-pernyataan ini justru memantik kontroversi dan reaksi negatif dari masyarakat, hal yang justru sepatutnya kita hindari di momen krisis seperti saat ini.

Pesan tidak sekadar pilihan leksikal, namun ketersampaian yang mendukung tujuan. Dalam Studi Wacana Kritis, sebuah wacana akan terbentuk maknanya oleh konteks. Sederhananya, bagaimana sebuah wacana bermakna dapat dilihat dari tiga aspek: apa yang disampaikan, siapa yang menyampaikan, dan bagaimana kondisi yang melingkupi.

Pada kejadian ini saya ingin menyorot pernyataan dari dua lembaga utama dalam penanganan bencana Sumatra, yaitu BNPB dan Kementerian Sosial. Dari tinjauan Linguistik, dua pernyataan yang telah menimbulkan kontroversi tersebut disampaikan dengan pilihan leksikal yang menunjukkan posisi sikap.

Pernyataan kepala BNPB ketika menyatakan kondisi mencekam akibat bencana “hanya berseliweran di media sosial” menunjukkan posisi sikap yang kurang empatis. Kata “hanya” secara leksikal bermakna “cuma” dan “tidak lebih dari”, sehingga secara literal pesan yang dapat diterima bahwa di lapangan dampak bencana sejatinya tidak mencekam. Sayangnya, pernyataan ini tidak didukung oleh data yang kuat, sehingga berimplikasi pada permintaan maaf yang diberikan setelah tinjauan lapangan.

Seakan belum selesai, Kementerian Sosial justru mendapat sorotan negatif dari masyarakat ketika menyatakan bahwa kegiatan penggalangan dana oleh masyarakat dan lembaga perlu mendapat izin dari pemerintah. Bahkan dalam pernyataan sepanjang 3 menit, kata “izin” telah diucapkan hingga 5 kali.

Secara makna, kata izin menuntut adanya dua peran “yang memberi izin” dan “yang meminta izin”. Tentunya dalam situasi yang extraordinary seperti saat ini, kita membutuhkan bahasa yang tidak sekadar komunikatif, namun tepat secara sosial. Sehingga wajar kemudian jika pernyataan ini memberikan pesan bahwa pemerintah hadir dalam peran sebagai birokrat, sesuatu yang tidak diharapkan oleh masyarakat.

Pernyataan-pernyataan kontroversial pemerintah, dalam bingkai krisis yang sedang terjadi saat ini justru memberikan pesan simbolik kepada masyarakat tentang jauhnya jarak antara pemerintah dan masyarakat. Dalam situasi krisis seperti saat ini, kata-kata adalah senjata yang kuat. Sesuatu yang bisa memberi rasa aman, namun bisa memupus rasa harap.

Bagi masyarakat, pemerintah tidak sekadar pemegang kuasa, namun mereka memegang peran sosial yang sangat vital. Pemerintah juga dituntut untuk membuat masyarakat yakin dan percaya. Namun, apa yang telah terjadi selama beberapa pekan ini justru menunjukkan sesuatu yang jauh api dari panggang.

Pemerintah adalah mereka yang diberikan rasa percaya untuk memimpin dan mengelola harkat hidup bangsa Indonesia. Kekuasaan mereka dibangun atas rasa percaya komunal oleh masyarakat, sehingga relasi kuasa pun harusnya dibangun dalam bentuk relasi kepeduliaan, empati, dan kehadiran yang nyata. Bukan dibangun di atas jarak otoritatif dan birokratis semata. Diperlukan kemampuan untuk melihat realitas dan mendengar suara menggema dengan lebih baik.

Bencana yang terjadi di Sumatra tidak bisa dilihat sebagai angka. Bencana kali ini adalah krisis yang telah menelan banyak nyawa. Maka sangat tidak patut, jika kita juga harus kehilangan rasa percaya. Jika kata dan cara berbahasa bisa memupuk rasa percaya, maka seyogyanya pemerintah perlu memperhatikan apa yang akan mereka sampaikan.

Tag:  #bencana #bahasa #relasi #kuasa

KOMENTAR