Kecanduan Kelapa Sawit: Berlomba Merusak Bumi?
WARNA cover bukunya merah. Lumayan menyala. Di atasnya terpahat kata yang lengket dengan Sukarno di masa Orde Lama: Revolusi.
Kata itu digabungkan dengan urusan yang di dunia kiwari diakui bakal menentukan masa depan bangsa: Energi.
Sang penulis, Arifin Panigoro, adalah pengusaha minyak sekaligus politikus PDI Perjuangan--partai yang tersambung dengan Bung Karno.
Ia mengampanyekan "Revolusi Energi" ketika produksi minyak harian Indonesia nyungsep ke level 794.000 barel per hari di tahun 2014.
Padahal di tahun terakhir Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono itu konsumsi minyak dan bahan bakar minyak (BBM) telah terkerek menjadi 1,66 juta barel per hari.
Walhasil, impor minyak mentah dan BBM sebesar 850.000 per hari tak terbendung. Sesuatu yang menguras kantong pemerintah.
Revolusi energi dipercaya dapat mengubah saldo energi Indonesia yang minus karena cadangan minyak dan produksi minyak yang terus turun.
Logis, sebab negeri kita kaya dengan sumber daya nabati. Jadi, mengembangkan bahan bakar nabati (BBN) masuk akal. Salah satunya kelapa sawit.
Arifin Panigoro menyebut Indonesia adalah "Arab Saudinya" kelapa sawit dunia. Ketika buku itu terbit, tahun 2015 silam, produk CPO (minyak sawit mentah) Indonesia menguasai lebih dari 47 persen pangsa pasar global.
“Tapi, hati saya masygul saat mengetahui pasokan CPO (crude palm oil) dari Indonesia itu tidak hanya dijadikan produk turunan makanan oleh negara-negara tujuan, tapi juga BIODIESEL. Lalu mengapa kita berdiam diri. Mengapa Indonesia hanya menjadi penonton ketika negara-negara lain getol mengonsumsi biodiesel untuk keluar dari krisis energi,” ujar pentolan Medco Energy ini dalam buku itu.
Gong pembuka penggunaan biodiesel pada minyak solar mulai berlaku pada 2006. Ini seiring terbitnya Keputusan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Nomor 3675 K/24/DJM/2006 tentang Standar dan Mutu (Spesifikasi) Bahan Bakar Minyak Jenis Minyak Solar yang Dipasarkan di Dalam Negeri.
Beleid ini menyebutkan, untuk spesifikasi BBM minyak solar, kandungan biodiesel (FAME) diizinkan maksimal 10 persen.
Kebijakan ini lalu ditindaklanjuti oleh Pertamina dengan menjual minyak solar dengan kandungan biodiesel sebesar 5 persen di tiga dispenser ("Biodiesel, Jejak Panjang Sebuah Perjuangan", Kementerian ESDM, 2021).
Di masa Joko Widodo, kebijakan menoleh pada biodiesel berlangsung deras. Tentu saja tak sepenuhnya bertumpu pada CPO, melainkan mencampur energi nabati dengan energi fosil atau mix energy.
Dari program biodiesel (B20) pada September 2018, lalu naik menjadi B30 mulai 1 Januari 2020. Tiga tahun berselang, campuran biodiesel pada solar telah mencapai 35 persen pada 1 Februari 2023.
Sejak Prabowo Subianto memerintah, program biodiesel meloncat jadi 40 persen atau B40 di tahun 2025.
Sampai September lalu, pemerintah mengklaim menghemat devisa 9,3 miliar dollar AS atau Rp 147,5 triliun. Belum lagi nilai tambah luar negeri sekitar Rp 20,98 triliun serta menciptakan 2 jutaan lapangan kerja.
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyatakan negeri kita tak akan impor solar lagi di tahun 2026 mendatang. Ini kabar baik sebab Refinery Development Master Plan (RDMP) Balikpapan, Kalimantan Timur diperkirakan menambah kapasitas pengolahan minyak mentah sebesar 100.000 barel per hari. Artinya produksi menutup konsumsi solar dalam negeri.
Namun, Presiden Prabowo juga bicara soal kelapa sawit untuk Papua. "Dan juga nanti kita berharap di daerah Papua pun harus ditanam kelapa sawit supaya bisa menghasilkan juga BBM dari kelapa sawit," ujar Prabowo (Kompas.com, 16/12/2025).
Alasannya, kata Presiden, untuk mewujudkan swasembada energi, paling tidak untuk pulau itu.
Apakah ini isyarat ekspansi lahan untuk kelapa sawit bakal makin merambah Papua? Mungkinkah program B50 digeber mulai tahun 2026?
Kian besar biodiesel yang dicampurkan pada solar, itu berarti membutuhkan ketersediaan fatty acid methyl ester (FAME) dalam jumlah yang lebih besar.
FAME adalah asam yang terbentuk selama transesterifikasi minyak nabati dan lemak hewan yang menghasilkan biodiesel.
Tak lain istilah kimia umum untuk biodiesel yang berasal dari sumber terbarukan. Artinya makin besar kebutuhan atas CPO serta pembukaan lahan sawit. Di atas segalanya berarti tambahan investasi baru.
Sebelum ini, lahan untuk kelapa sawit telah merambah Papua. Yayasan Pusaka Bentala Rakyat menaksir ada 1,3 juta hektare lahan kelapa sawit di bumi Papua (Tempo.co, 17/12/2025).
Indonesia memang "Arab Saudinya" kelapa sawit dunia. Foreign Agricultural Service United States Department of Agriculture (USDA) per 2024-2025 mencatat, Indonesia adalah negara dengan penghasil kelapa sawit terbesar di dunia.
Produksi Indonesia menembus 46 juta ton per tahun, alias dua kali lipat dari volume produksi di Malaysia.
Produksi Indonesia bukan lagi loncatan katak, tapi loncatan singa. Selama 2013-2019, produksi minyak sawit kita meningkat, dari 28 juta metrik ton naik menjadi 47 juta metrik ton. Produksi itu bisa dipertahan di level 45 juta metrik ton dalam beberapa tahun terakhir (Kompas.com, 5/12/2025).
Perkebunan kelapa sawit terkonsentrasi di Sumatera, yakni mencapai 8,78 juta hektare. Sebanyak 1,36 juta hektare berada di Sumatera Utara, lalu 470.000 hektare di Aceh serta 449.000 hektare di Sumatera Barat.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyatakan 5.208 hektare kawasan hutan dialihkan menjadi perkebunan kelapa sawit oleh 14 perusahaan di Provinsi Aceh. Ini telah merusak 954 Daerah Aliran Sungai (DAS) di tujuh kabupaten, yakni Aceh Barat, Nagan Raya, Pidie, Aceh Jaya, Aceh Tengah, Aceh Selatan, dan Aceh Besar (Tempo.co, 10/12/2025).
Laju deforestasi secara global amat mengerikan dan data ini tak sedang ingin menakut-nakuti. Bayangkan 10 juta hektare hutan tandas per tahun selama 2015-2020.
Berbagai studi memaparkan, mayoritas kebun kelapa sawit di dunia ini berdiri di atas lahan hasil konversi tadi.
Di periode mengerikan itu, di negeri kita tercinta ini deforestasi telah menggasak areal seluas 496.000 dan 630.000 hektare di tahun 2015-2016 dan 2016-2017.
Dekade-dekade sebelumnya jauh lebih mengerikan. Deforestasi oleh berbagai sebab telah melenyapkan hutan seluas 2 juta hektare (1980-1990).
Saat abad berganti, deforestasi masih merampas 1,5 juta hektare antara 2000-2009. Setelah itu, deforestasi memakan areal seluas 1,1 juta hektare antara 2009-2013 (Forest Watch Indonesia).
Dengan berbagai sebab, deforestasi di tahun 2024 masih 51.000 hektare. Ini hampir seperdelapan luas provinsi Jakarta.
Dan tak perlu kaget, jika deforestasi hutan tropis diibaratkan seperti negara, ia akan menduduki peringkat ketiga dalam emisi setara karbon dioksida. Cuma kalah buruk dari emisi karbon yang ditumpahkan oleh China dan Amerika Serikat (wri-indonesia.org).
Pada 19 September 2018 hingga tiga tahun kemudian (2021), Jokowi melakukan moratorium kelapa sawit. Kebijakan ini tak berlanjut. Sebaliknya mulai 1 Januari 2022, program biodiesel makin digeber dengan menaikkan campuran biodiesel sebesar 20 persen.
Studi LPEM Universitas Indonesia menunjukkan program biodiesel membutuhkan ekspansi lahan baru untuk kelapa sawit.
Skenario B20 butuh tambahan 338.000 hektare lahan baru. Ketika dinaikkan jadi B30, kebutuhan atas lahan meroket jadi 5,2 juta hektare.
Kerakusan lahan bertambah eksponensial mana kala program biodiesel dinaikkan jadi 50 persen. Sebab butuh 9,2 juta hektare lahan baru.
Nyatanya program biodiesel menjadi insentif pembukaan lahan baru untuk kelapa sawit. Pada saat begitu, alih fungsi lahan secara legal dan ilegal mencuat. Ini simalakama yang tak terputus.
Perkebunan kelapa sawit jelas bukan hutan. Ini tanaman monokultur. Saat hutan dengan mega-biodiversitas atau keragaman hayati yang berlimpah dialihfungsikan, negeri kita sesungguhnya sedang berlomba merusak bumi, mengundang bencana yang disebut gubernur Aceh, Muzakir Manaf, bak tsunami kedua.
Akar pohon-pohonan yang tak seragam (multikultur) di hutan juga mencengkeram tanam lebih dalam dibandingkan akar sawit yang berbentuk serabut.
Sebagai monokultur, sawit sendirian dalam sebuah luasan lahan tertentu. "Temannya" cuma sesama tanaman sawit yang tak mampu meredam atau menahan dan menyerap air hujan yang jatuh dari langit, terlebih jika curah hujannya ekstrem.
Pokok kata kelapa sawit tak memilki ketahanan ekologis serupa pohon-pohon di hutan yang berusia belasan, puluhan atau bahkan ratusan tahun.
Dalam terminologi konservasi, mengorbankan hutan alam demi perkebunan kelapa sawit hanya mengundang bencana datang.
Banjir dan longsor di Sumatera yang menghantam tiga provinsi adalah alarm paling keras yang mengingatkan negeri kita untuk menoleh kepada hutan dan ekosistem.
Homo sapiens itu hidup berdampingan dengan tumbuhan, hewan dan makhluk tak hidup. Oikos atau rumah tempat di mana organisme hidup, wajib dijaga. Manusia dan lingkungan tak bisa hidup dalam hubungan yang saling menjegal, tapi harmonis.
Jika pemerintah terus teperdaya oleh manisnya kelapa sawit--menghasilkan devisa, menggantikan peran energi fosil dan melupakan mudharatnya terhadap lingkungan--saya bertanya dalam hati: Kita kecanduan atau sedang kerasukan?