Perpol 10/2025 dan Batas Kewenangan Penugasan Polri
PERATURAN Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2025 (Perpol 10/2025) hadir setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan kembali larangan rangkap jabatan bagi anggota Polri aktif.
Karena itu, peraturan ini tidak dapat dibaca sekadar sebagai pengaturan teknis internal, melainkan harus ditempatkan dalam kerangka kewenangan yang dibatasi oleh undang-undang dan putusan pengadilan konstitusi.
Dalam negara hukum, setiap peraturan di bawah undang-undang harus diuji bukan hanya dari niat pembentuknya, tetapi dari kesesuaiannya dengan norma yang lebih tinggi.
Perpol, sebagai peraturan delegatif, tidak boleh memperluas makna undang-undang, apalagi meniadakan batas yang telah ditegaskan MK.
Karena itu, perdebatan mengenai Perpol 10/2025 sejatinya adalah perdebatan tentang batas kewenangan, bukan sekadar soal kebutuhan administratif.
Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025 tidak membatalkan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal tersebut sejak awal menyatakan bahwa anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
Yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh MK adalah frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3).
MK menilai frasa tersebut membuka ruang tafsir yang menyimpang dari norma batang tubuh, karena menjadikan “penugasan” sebagai dasar pembenar bagi rangkap jabatan.
Dengan demikian, pesan konstitusional MK bersifat spesifik dan tegas: jabatan di luar kepolisian tidak boleh diduduki oleh anggota Polri aktif dengan dalih penugasan.
Putusan ini menutup pintu penyamaran jabatan sebagai penugasan administratif.
Namun, penting ditegaskan, MK tidak secara eksplisit menciptakan rezim baru tentang penugasan fungsional; setiap pembacaan mengenai ruang penugasan yang masih mungkin harus ditafsirkan secara ketat dan terbatas, semata-mata sepanjang tidak melahirkan jabatan dan kewenangan administratif.
Dalam perspektif Hukum Tata Negara, kewenangan Kapolri untuk mengatur penugasan anggota Polri bersumber dari Undang-Undang Kepolisian. Kewenangan tersebut bersifat delegatif dan karenanya tunduk pada asas legalitas.
Kapolri tidak diberi kewenangan untuk menciptakan norma baru yang mengubah makna larangan rangkap jabatan dalam Pasal 28 ayat (3).
Dari sudut pandang Hukum Administrasi Negara, kewenangan selalu dibatasi oleh tujuan pemberiannya.
Setiap penggunaan kewenangan yang menyimpang dari tujuan tersebut dapat dikualifikasikan sebagai penyalahgunaan wewenang atau detournement de pouvoir.
Karena itu, Perpol 10/2025 hanya sah sejauh ia mengatur penugasan yang benar-benar bersifat internal dan fungsional, bukan pengisian jabatan publik di luar Polri.
Ukuran konstitusionalitas Perpol 10/2025 bukan terletak pada redaksi normanya semata, melainkan pada akibat hukum yang ditimbulkannya.
Jika penugasan mengakibatkan anggota Polri aktif menjalankan kewenangan tata usaha negara, memimpin struktur birokrasi sipil, atau menjadi bagian dari hierarki jabatan di luar Polri, maka Perpol tersebut telah melampaui kewenangan delegatif yang diberikan undang-undang.
Batas
Batas antara tugas dan jabatan merupakan konsep kunci dalam hukum administrasi negara. Jabatan adalah kedudukan hukum yang melahirkan kewenangan publik, tanggung jawab administratif, dan posisi dalam struktur organisasi negara. Tugas fungsional, sebaliknya, tidak melahirkan kedudukan hukum semacam itu.
Rezim Aparatur Sipil Negara mempertegas batas ini. Undang-Undang ASN dan PP Nomor 11 Tahun 2017 jo. PP Nomor 17 Tahun 2020 tentang Manajemen PNS menempatkan jabatan PNS sebagai kedudukan yang hanya dapat diisi melalui mekanisme sistem merit.
Penugasan dikenal dalam manajemen PNS, tetapi sepenuhnya berada dalam rezim kepegawaian PNS dan tidak dimaksudkan sebagai mekanisme pengisian jabatan oleh pihak di luar rezim tersebut.
Karena itu, Perpol 10/2025 tidak dapat dijadikan dasar untuk memasukkan anggota Polri aktif ke dalam jabatan ASN, baik secara formal maupun substantif.
Jika dalam praktik penugasan tersebut menyerupai pengisian jabatan—misalnya dengan kewenangan menandatangani keputusan administratif atau mengelola anggaran—maka secara hukum penugasan itu telah berubah menjadi jabatan, dan pada titik itulah larangan dalam Pasal 28 ayat (3) UU Kepolisian serta Putusan MK bekerja secara penuh.
Pandangan Mahfud MD yang menilai Perpol 10/2025 bertentangan dengan Putusan MK patut dibaca sebagai peringatan konstitusional yang penting.
Kekhawatiran beliau berangkat dari pengalaman bahwa penugasan kerap digunakan sebagai pintu masuk rangkap jabatan terselubung.
Perbedaan pandangan terletak pada cara menjaga larangan tersebut. Jika satu pendekatan memilih menutup ruang sejak tingkat norma, pendekatan lain menekankan pentingnya pembacaan ketat dan pengawasan implementasi.
Keduanya sesungguhnya bertemu pada tujuan yang sama: mencegah pelanggaran terhadap larangan rangkap jabatan dan menjaga supremasi konstitusi.
Perpol 10/2025 tidak dapat dinilai secara hitam-putih. Ia tidak otomatis bertentangan dengan Putusan MK dan Undang-Undang Kepolisian, tetapi juga tidak boleh dibaca sebagai celah untuk menghindari larangan rangkap jabatan. Segala penilaian harus kembali pada batas kewenangan penugasan.
Dalam negara hukum, kewenangan harus berhenti tepat di tempat ia diberikan. Melampaui batas tersebut berarti menegasikan asas legalitas.
Karena itu, Perpol 10/2025 harus ditempatkan secara hati-hati, diawasi secara ketat, dan ditafsirkan secara restriktif.
Menjaga batas kewenangan bukan sekadar soal teknis administrasi, melainkan bagian dari upaya merawat negara hukum dan memastikan bahwa putusan pengadilan konstitusi benar-benar dihormati dalam praktik.