Mengakhiri Budaya Pujian: Asal Rakyat Senang, Negara Tenang
ADA satu penyakit lama dalam kepemimpinan Indonesia yang tidak pernah benar-benar sembuh. Penyakit ini tidak selalu terlihat, tidak selalu bersuara, tetapi dampaknya merusak dari dalam.
Ia bekerja pelan, sistemik, dan sering kali justru dianggap “biasa”. Penyakit itu bernama mentalitas asal bos senang (ABS) atau dalam bahasa yang lebih populer, asal bapak senang, asal ibu senang.
Penyakit ini bukan sekadar soal etika birokrasi. Ia bukan hanya tentang bawahan yang gemar menyenangkan atasan. Lebih dari itu, mentalitas asal bos senang adalah bom waktu kepemimpinan.
Ia menciptakan ilusi keberhasilan, menumpulkan kepekaan pemimpin, dan pada akhirnya menjauhkan negara dari realitas rakyatnya sendiri.
Indonesia hari ini sedang berdiri di persimpangan penting. Di satu sisi, bangsa ini memiliki potensi besar, bonus demografi, kekuatan ekonomi kreatif, sumber daya manusia muda yang semakin kritis, serta posisi geopolitik strategis.
Namun di sisi lain, kemarahan rakyat juga sedang mengendap, pelan tapi pasti. Ia muncul dalam bentuk sinisme publik, ketidakpercayaan pada elite, kemarahan di media sosial, demonstrasi jalanan, hingga apatisme politik yang makin meluas.
Masalahnya bukan karena rakyat Indonesia tidak sabar. Masalahnya adalah karena terlalu lama rakyat merasa tidak didengar.
“Man is by nature a political animal,” seperti yang sering disampaikan Aristoteles. Pesan ini menegaskan bahwa manusia berinteraksi dalam ruang publik, sehingga keterbukaan dan dialog adalah sifat fundamental kepemimpinan yang sehat.
Kesenjangan antara narasi resmi dan realita sehari-hari inilah yang membuat rakyat frustrasi. Kemarahan publik adalah akumulasi dari kekecewaan terhadap pemimpin yang dirasa gagal mengerti dan memenuhi kebutuhan mereka.
Pengamat politik Rocky Gerung mengingatkan, dalam demokrasi pemerintah semestinya tunduk pada rakyat, bukan sebaliknya.
Pemimpin terjebak ilusi “semua baik-baik saja”
Salah satu ironi terbesar dalam kepemimpinan adalah ketika seorang pemimpin merasa aman justru saat ia berada dalam bahaya. Mentalitas asal bos senang menciptakan kondisi ini dengan sempurna.
Di hadapan pemimpin, laporan terlihat rapi. Angka-angka tampak positif. Grafik naik. Target seolah tercapai. Namun di lapangan, rakyat bergulat dengan realitas yang jauh berbeda.
Harga kebutuhan pokok naik, tetapi laporan inflasi dikemas seolah terkendali. PHK terjadi di mana-mana, tetapi data ketenagakerjaan ditampilkan normatif.
Daya beli melemah, tetapi pidato-pidato resmi tetap optimistis. Ketimpangan melebar, namun narasi keberhasilan terus diulang.
Di sinilah bahayanya. Pemimpin yang dikelilingi oleh orang-orang yang hanya ingin menyenangkan, sesungguhnya sedang dibutakan secara sistematis.
Dalam teori kepemimpinan modern, ini dikenal sebagai 'information distortion'. Ketika informasi yang sampai ke pemimpin sudah “dipoles”, maka keputusan yang diambil pun berangkat dari asumsi yang salah.
Dan keputusan yang salah, dalam skala negara, berdampak langsung pada jutaan nyawa dan masa depan bangsa.
Jim Collins, dalam Good to Great, menegaskan bahwa organisasi hebat dibangun oleh pemimpin yang berani “menghadapi fakta brutal” (confront the brutal facts).
Tanpa keberanian menghadapi kenyataan, organisasi termasuk negara akan runtuh oleh kesalahan yang tidak pernah diakui.
Sayangnya, mentalitas asal bos senang justru melakukan kebalikannya, menyembunyikan fakta brutal demi kenyamanan jangka pendek.
Ada paradoks besar dalam budaya asal bos senang, ia tampak melindungi pemimpin, padahal sejatinya membahayakan pemimpin itu sendiri.
Pemimpin yang tidak diberi tahu kondisi sebenarnya akan kehilangan kemampuan membaca situasi. Ia terlambat mengantisipasi krisis. Ia salah mengukur risiko. Ia keliru menentukan prioritas. Dalam konteks politik dan pemerintahan, ini sangat fatal.
Sejarah memberi banyak pelajaran. Banyak rezim runtuh bukan karena kurang kekuasaan, tetapi karena terlalu lama hidup dalam gelembung pujian.
Mereka tidak melihat tanda-tanda ketidakpuasan rakyat, karena tanda-tanda itu tidak pernah sampai ke meja kekuasaan.
Budaya asal bos senang membuat bawahan takut menyampaikan kabar buruk. Padahal dalam kepemimpinan sejati, kabar buruk justru adalah aset paling berharga. Ia menjadi bahan pembelajaran, dasar perbaikan, dan alarm dini untuk perubahan.
Peter Drucker pernah mengatakan, “The most dangerous thing in times of turbulence is not the turbulence; it is to act with yesterday’s logic.”
Dalam konteks Indonesia, logika lama itu adalah keyakinan bahwa stabilitas bisa dijaga dengan menutup masalah dan membungkus realitas.
Padahal dunia sudah berubah. Rakyat sudah berubah.
Hari ini, rakyat Indonesia jauh lebih kritis. Media sosial, jurnalisme warga, dan keterbukaan informasi membuat realitas tidak bisa lagi dimonopoli oleh elite.
Ketika data resmi mengatakan “semua baik-baik saja”, rakyat membandingkannya dengan pengalaman hidup mereka sendiri.
Dan ketika pengalaman hidup itu bertolak belakang, lahirlah kemarahan.
Kemarahan publik bukanlah ancaman demokrasi. Justru kemarahan publik adalah indikator kesehatan demokrasi. Ia menandakan bahwa rakyat masih peduli. Yang berbahaya adalah ketika rakyat berhenti marah dan memilih diam.
Namun, kemarahan ini tidak akan pernah reda jika pemimpin terus bertahan dengan mindset lama. Selama pemimpin lebih sibuk menyenangkan lingkaran kekuasaan dibanding mendengar suara rakyat, jarak emosional antara negara dan warganya akan semakin lebar.
Dari “asal bos senang” ke “asal rakyat senang”
Indonesia membutuhkan pergeseran mindset yang radikal, tapi sederhana, dari asal bos senang menuju asal rakyat senang.
“Asal rakyat senang” bukan slogan populis murahan. Ia bukan berarti pemimpin harus selalu menuruti semua keinginan rakyat. Ia bukan tentang pencitraan atau janji kosong. Asal rakyat senang adalah soal orientasi moral dan etika kepemimpinan.
Artinya, setiap kebijakan, setiap keputusan, setiap narasi publik selalu diuji dengan satu pertanyaan sederhana, apakah ini sungguh berdampak baik bagi rakyat?
Ketika mindset ini diterapkan secara konsisten, banyak hal akan berubah secara otomatis.
Kebijakan akan lebih membumi karena berangkat dari kebutuhan nyata. Komunikasi publik akan lebih empatik karena pemimpin sadar bahwa kata-katanya berdampak psikologis.
Birokrasi akan lebih jujur karena kebenaran dihargai, bukan dihukum. Dan kepercayaan publik akan tumbuh karena rakyat merasa dilibatkan, bukan dimanipulasi.
Kepemimpinan sdalah tentang melayani, bukan dilayani. Konsep ini sebenarnya bukan hal baru. Ki Hajar Dewantara sudah mengajarkannya jauh sebelum republik ini berdiri.
Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mbangun karso, tut wuri handayani. Pemimpin memberi teladan, membangun semangat, dan mendorong dari belakang.
Namun dalam praktik modern, filosofi ini sering tereduksi menjadi seremoni. Padahal substansinya sangat relevan: pemimpin bukan pusat segalanya; rakyatlah pusatnya.
Dalam pendekatan servant leadership, pemimpin yang baik adalah mereka yang menempatkan kepentingan orang lain di atas kepentingan dirinya.
Riset-riset kepemimpinan menunjukkan bahwa organisasi dengan pemimpin melayani cenderung lebih adaptif, resilien, dan dipercaya. Negara pun demikian.
Di sinilah pentingnya keterbukaan dalam hubungan kepemimpinan dan kepengikutan (leadership–followership). Kepemimpinan yang sehat tidak mungkin lahir tanpa followership yang berani jujur.
Followership bukan soal patuh membabi buta. Followership yang dewasa adalah keberanian untuk berkata “ini bermasalah” tanpa takut dihukum. Namun, keberanian itu hanya mungkin tumbuh jika pemimpin menciptakan ruang aman psikologis.
Amy Edmondson dari Harvard Business School menyebutnya psychological safety, kondisi di mana anggota organisasi merasa aman menyampaikan pendapat, kritik, dan kesalahan tanpa takut dipermalukan atau disanksi.
Tanpa keterbukaan, kepemimpinan berubah menjadi monolog. Dan monolog adalah awal dari kejatuhan.
Salah satu kelemahan besar dalam budaya kepemimpinan kita adalah obsesi terhadap citra “sempurna”. Seolah-olah pemimpin harus selalu benar. Seolah kegagalan adalah aib.
Padahal, dalam dunia yang kompleks dan penuh ketidakpastian, tidak ada skenario yang berjalan 100 persen sesuai rencana. Krisis ekonomi, bencana alam, gejolak geopolitik, disrupsi teknologi, semuanya bisa mengubah keadaan dalam hitungan hari.
Pemimpin generasi baru harus menormalisasi kenyataan ini. Bahwa perubahan adalah keniscayaan. Bahwa kegagalan adalah bagian dari proses belajar. Bahwa masalah bukan sesuatu yang harus disembunyikan, melainkan ruang latihan problem solving kolektif.
Pemimpin yang dewasa tidak takut mengakui, “kita salah”, atau “ini belum berhasil”. Justru dari situlah kepercayaan publik tumbuh.
Generasi pemimpin baru
Indonesia membutuhkan generasi pemimpin baru, bukan semata karena pergantian usia, tetapi karena pergantian cara berpikir. Kita tidak lagi cukup dipimpin oleh orang yang hanya “kelihatan tegas” di podium, tetapi rapuh saat diuji kritik.
Pemimpin masa depan Indonesia harus punya mental yang tahan guncangan, tidak alergi kritik, tidak cepat baper ketika rakyat mengoreksi, dan tidak menempatkan kritik sebagai musuh, melainkan sebagai alarm dini yang menyelamatkan.
Kritik itu bukan serangan personal, kritik adalah cara rakyat berkata, “kami masih peduli.” Ketika pemimpin justru memusuhi kritik, ia sedang mendorong rakyat masuk ke fase paling berbahaya, apatis, sinis, dan akhirnya meledak dalam bentuk kemarahan kolektif.
Generasi pemimpin baru juga harus keluar dari gelembung pujian yang selama ini sering dibangun oleh lingkungan kekuasaan, staf yang hanya mengangguk, relasi yang hanya memuji, laporan yang dipoles, dan lingkaran dekat yang menutupi kabar buruk.
Gelembung seperti ini terlihat nyaman, tetapi sejatinya mematikan. Ia membuat pemimpin hidup dalam realitas versi sendiri, sementara realitas rakyat berjalan dengan logikanya yang keras.
Di saat pasar sepi, pemimpin masih bicara “daya beli kuat”. Di saat PHK terjadi, pemimpin masih bicara “lapangan kerja aman”.
Inilah bahaya ketika pemimpin terlalu lama “ditimang” oleh pujian, ia tidak lagi punya radar untuk mendeteksi penderitaan yang sedang menumpuk di bawah.
Pemimpin baru yang dibutuhkan Indonesia juga harus punya keberanian untuk berdamai dengan data yang tidak menyenangkan.
Data tidak selalu datang membawa kabar baik. Data sering datang seperti cermin, jujur, dingin, dan kadang menyakitkan.
Namun, justru dari data yang menyakitkan itulah kebijakan yang benar bisa lahir. Pemimpin yang memusuhi data buruk biasanya bukan sedang melindungi negara, ia sedang melindungi citra.
Padahal negara tidak butuh citra yang rapi, negara butuh solusi yang bekerja. Berani mengakui masalah adalah langkah pertama menuju pembenahan, menutup masalah hanya menunda ledakan.
Di atas semua itu, Indonesia membutuhkan pemimpin yang tidak mengorbankan kebenaran demi stabilitas semu. Stabilitas yang dibangun dari penyangkalan, sensor, atau pembungkaman kritik, itu bukan stabilitas itu “tenang sementara” sebelum badai.
Stabilitas yang sehat adalah stabilitas yang lahir dari kepercayaan publik, rakyat percaya karena pemimpin transparan, konsisten, dan adil.
Kebenaran memang kadang membuat gaduh, tetapi kegaduhan yang sehat adalah proses demokrasi untuk memperbaiki diri.
Pemimpin yang dewasa tidak takut pada kegaduhan yang lahir dari kejujuran; ia justru takut pada ketenangan palsu yang lahir dari ketidakpedulian.
Dan yang paling penting, generasi pemimpin baru Indonesia tidak boleh menjadikan jabatan sebagai altar pemujaan diri.
Jabatan bukan panggung untuk disembah, bukan mahkota untuk dielu-elukan, bukan tiket untuk kebal kritik.
Jabatan adalah mandat; mandat adalah beban moral, beban moral artinya pemimpin harus siap disorot, siap diuji, siap dipertanyakan.
Pemimpin yang menjadikan jabatan sebagai simbol keagungan pribadi akan mudah tersinggung, mudah marah, dan mudah terseret pada gaya memimpin yang feodal minta dilayani, bukan melayani.
Padahal yang dibutuhkan rakyat adalah pemimpin yang hadir, dekat, membumi, rendah hati, dan kerja nyata.
Karena itu, kita butuh pemimpin yang berani membuka diri, membangun dialog, dan mengajak rakyat menjadi bagian dari solusi.
Pemimpin yang tidak hanya menurunkan kebijakan dari atas, tetapi mau naik turun ke lapangan untuk mendengar.
Pemimpin yang paham bahwa negara bukan mesin yang tinggal ditekan tombolnya, melainkan ekosistem manusia yang penuh kompleksitas dan kompleksitas itu tidak bisa diselesaikan dengan ego.
Dalam paradigma ini, rakyat bukan sekadar “target program” atau “angka statistik”, melainkan subjek masa depan bangsa, warga yang punya martabat, punya aspirasi, punya akal sehat, dan punya hak untuk didengar.
Jika generasi pemimpin baru bisa menormalisasi keterbukaan, menormalisasi bahwa tidak semua berjalan sesuai skenario, serta menjadikan problem solving sebagai budaya, maka Indonesia tidak hanya akan berbenah, Indonesia akan bertumbuh dengan cara yang lebih dewasa, lebih adil, dan lebih tahan krisis.
Bayangkan jika setiap pemimpin Indonesia benar-benar memegang prinsip asal rakyat senang.
Kebijakan pendidikan akan fokus pada kualitas dan akses, bukan sekadar angka kelulusan.
Kebijakan ekonomi akan mengutamakan daya beli dan keadilan, bukan sekadar pertumbuhan makro. Hukum akan ditegakkan dengan rasa keadilan, bukan tebang pilih. Komunikasi publik akan mengedepankan empati, bukan arogansi.
Bahkan stabilitas politik pun akan lebih terjaga. Karena rakyat yang merasa didengar jarang memilih jalan konfrontasi.
Indonesia tidak kekurangan pemimpin cerdas. Yang sering kurang adalah keberanian untuk berubah. Keberanian meninggalkan mentalitas lama yang sudah tidak relevan.
Jika pemimpin terus terjebak pada asal bos senang, maka yang diselamatkan hanya kekuasaan jangka pendek bukan masa depan bangsa.
Namun, jika pemimpin berani beralih ke asal rakyat senang, maka yang dibangun bukan hanya legitimasi politik, tetapi kepercayaan sosial.
Dan kepercayaan adalah mata uang paling mahal dalam kepemimpinan.
Indonesia masih punya waktu untuk berbenah. Namun, waktu itu tidak tak terbatas. Kemarahan rakyat bukan ancaman jika dibaca sebagai peringatan. Yang berbahaya adalah jika peringatan itu terus diabaikan.
Kini pilihan ada di tangan para pemimpin, tetap nyaman dalam pujian palsu, atau berani berdiri dalam kebenaran demi rakyat.
Sejarah selalu berpihak pada pemimpin yang memilih yang kedua. Terus berproses lebih baik Indonesia.
Tag: #mengakhiri #budaya #pujian #asal #rakyat #senang #negara #tenang