Tambang Ilegal dan Ketidakpastiaan Tata Kelola
PERTEMUAN para menteri di Hambalang yang dipimpin Presiden Prabowo Subianto menjadi sinyal politik terkuat pemerintah baru dalam menata sektor sumber daya alam. Salah satu arahan penting yang disampaikan adalah komitmen untuk memberantas tambang ilegal dan menata ulang tata kelola pertambangan agar lebih berpihak pada negara dan masyarakat.
Arahan ini disambut antusias, namun sekaligus menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah negara sudah memahami akar persoalan tambang ilegal yang selama ini justru tumbuh di ruang-ruang abu-abu kebijakan?
Tambang ilegal bukan sekadar persoalan kriminal. Dalam banyak kasus, ia adalah konsekuensi dari kerumitan tata kelola, tumpang tindih kewenangan, konflik hak tanah, dan lemahnya keberpihakan negara terhadap masyarakat di wilayah tambang.
Hambalang bisa menjadi titik awal pembenahan, namun keberhasilannya ditentukan oleh seberapa dalam negara berani menata ulang struktur governance yang selama ini menciptakan peluang bagi tambang ilegal tumbuh.
Regulasi Sudah Tegas, tetapi Celah Tata Kelola Justru Memperbesar Risiko
Dalam kerangka hukum, negara sebenarnya memiliki perangkat lengkap untuk menindak tambang ilegal. Undang-Undang Minerba (yang telah direvisi 2025) mewajibkan setiap kegiatan ekstraksi untuk memiliki izin, AMDAL, serta kepastian hak tanah. Penegakan hukum juga diperkuat melalui aturan pidana dan administratif.
Namun, persoalan tidak berhenti pada regulasinya. Pasca berubahnya kewenangan perizinan dari daerah ke pusat, banyak wilayah kehilangan kapasitas untuk mengawasi kegiatan tambang secara langsung. Pemerintah daerah mengetahui kondisi lapangan, tetapi tidak lagi memiliki kewenangan penuh untuk mengendalikan atau menindak. Sebaliknya, aparat pusat memiliki kewenangan, tetapi tidak memiliki kedekatan lapangan dan keterjangkauan pengawasan.
Kesenjangan ini menciptakan ruang kosong yang akhirnya diisi oleh kegiatan tambang tanpa izin. Dalam konteks itulah arahan pemberantasan tambang ilegal dari Presiden Prabowo menjadi relevan. Tetapi arahan ini hanya akan efektif jika dibarengi pembenahan tata kelola, bukan sekadar penertiban.
Gunung Botak: Ketika Tambang Ilegal Menjadi Ruang Bertahan Hidup
Gunung Botak di Kabupaten Buru adalah contoh paling jelas bahwa tambang ilegal tidak selalu berasal dari niat kriminal, melainkan dari ketidakpastian tata kelola yang menahun. Konflik hak tanah antara ahli waris membuat investor legal sulit masuk. Berbagai upaya penataan tidak pernah menemukan titik temu karena status kepemilikan dan batas wilayah tidak pernah benar-benar selesai di tingkat adat maupun administratif.
Tanpa kepastian tanah dan tanpa investor resmi, masyarakat lokal akhirnya menjadikan tambang manual sebagai cara bertahan hidup. Mereka menambang dengan alat seadanya, tanpa perlindungan keselamatan, tanpa kepastian harga, dan tanpa akses pada mekanisme perizinan yang rumit.
Aktivitas mereka memang ilegal secara formal, tetapi secara sosial dan ekonomi merupakan strategi bertahan hidup di tengah minimnya pilihan.
Kasus Gunung Botak mengingatkan bahwa penindakan tambang ilegal tidak bisa disamakan dengan pemberantasan kriminal biasa. Ada konteks sosial, sejarah tanah, dan kebutuhan ekonomi warga yang harus dipahami negara sebelum mengambil tindakan. Tanpa penyelesaian konflik, tanpa membuka akses legal bagi masyarakat, dan tanpa skema formal yang inklusif, tambang ilegal seperti Gunung Botak akan terus muncul kembali.
Tambang Ilegal di Daerah Lain: Pola yang Sama, Akar Masalah yang Serupa
Fenomena serupa bukan hanya terjadi di Maluku. Di Sulawesi, penambangan nikel tanpa izin tumbuh karena lemahnya pengawasan dan keterlambatan penegakan hukum. Di Kalimantan, penambangan emas ilegal merusak aliran sungai dan memicu konflik sosial. Di Jawa, penambangan pasir ilegal sering terjadi di wilayah yang tidak pernah memperoleh kepastian regulasi tata ruang.
Pola yang sama terlihat: ketika tata kelola kabur, masyarakat terpaksa mencari nafkah dalam kondisi tidak aman, sementara negara hanya hadir saat melakukan penertiban. Jika pendekatan pemerintah hanya berhenti pada penindakan, maka akar masalah tidak akan pernah tuntas.
Dampak Langsung bagi Masyarakat: Lingkungan Rusak, Layanan Publik Melemah
Tambang ilegal memiliki dampak besar bagi warga:
- Kerusakan lingkungan seperti banjir dan longsor yang langsung dirasakan masyarakat.
- Potensi konflik sosial antara penambang, pemilik tanah, dan pemerintah.
- Hilangnya pendapatan daerah, karena negara tidak menerima royalti maupun pajak.
- Menurunnya kualitas layanan publik, karena daerah kaya SDA justru miskin pendanaan.
- Ketidakpastian hidup bagi para penambang kecil yang bekerja tanpa perlindungan.
Jika pemerintah ingin melindungi masyarakat, maka penataan tata kelola menjadi bagian paling esensial.
Kelemahan Tata Kelola: Celah yang Membiarkan Tambang Ilegal Berulang
Kasus Gunung Botak bukan pengecualian. Polanya muncul di banyak daerah lain, baik pada tambang nikel, emas, maupun pasir. Ada beberapa kelemahan tata kelola negara yang terlihat konsisten:
- Pertama, ketidaksinkronan pusat dan daerah. Setelah kewenangan perizinan beralih ke pusat, daerah kehilangan kemampuan kontrol, sementara pusat tidak memiliki ketelitian lapangan. Koordinasi yang tidak solid ini menciptakan ruang kosong pengawasan.
- Kedua, konflik hak tanah yang terus berlangsung membuat jalur legal berhenti. Tanpa penyelesaian tanah, izin formal hampir mustahil dijalankan.
- Ketiga, negara belum menyediakan akses yang memungkinkan masyarakat masuk ke dalam skema legal. Penambang kecil tidak punya jalur perizinan yang terjangkau, sehingga keberadaan tambang ilegal menjadi wajar secara sosial meskipun salah secara formal.
- Keempat, penegakan hukum lebih sering menyasar hilir daripada hulu. Penambang kecil lebih mudah ditindak daripada aktor distribusi besar, pembeli bijih, atau jaringan logistik yang sebenarnya menopang operasi ilegal.
Memberantas Tambang Ilegal harus dibarengi Pemenuhan Hak Masyarakat
Arahan Presiden Prabowo di Hambalang dapat menjadi tonggak penting. Namun keberhasilan pemberantasan tambang ilegal ditentukan oleh kemampuan pemerintah membenahi struktur tata kelola, bukan sekadar menambah intensitas penindakan.
Selama akar persoalan ketidakpastian tanah, kesenjangan kewenangan, minimnya alternatif ekonomi tidak ditangani, tambang ilegal akan terus tumbuh, dan masyarakat akan terus menjadi pihak yang paling dirugikan.
Kita berharap langkah besar yang dimulai dari Hambalang bukan hanya menjadi pernyataan politik, tetapi benar-benar menjadi upaya jangka panjang untuk mengembalikan hak publik: hak pemilik lahan atas tanah, hak atas tata kelola yang transparan, dan hak atas negara yang hadir untuk melindungi warganya.