Pemulihan Jiwa Korban Banjir Sumatera
Relawan Taruna Siaga Bencana (Tagana) Kementerian Sosial dan Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI) menghibur anak-anak pengungsi korban bencana alam di posko pengungsian Meureudu, Pidie Jaya, Aceh, Selasa (9/12/2025). Kegiatan pemulihan trauma tersebut guna memberikan dukungan psikososial melalui berbagai aktivitas hiburan untuk anak-anak pengungsi korban bencana hidrometeorologi Aceh. ( ANTARA FOTO/Irwansyah Putra)
15:10
9 Desember 2025

Pemulihan Jiwa Korban Banjir Sumatera

LOGISTIK berdatangan dari berbagai pihak untuk korban banjir Sumatera, semuanya sudah menumpuk antre untuk dikirimkan. Para pengungsi menunggu persediaan makanan agar tetap bertahan hidup di pengungsian. Ini memang penting, tapi tak cukup!

Negara biasanya hadir ketika bencana datang, beri bantuan, bangun jembatan dan bangunan, kemudian pergi ketika air sudah surut.

Banjir Sumatera bukan sekadar peristiwa fisik semata, tapi juga menghadirkan goncangan secara emosional dan psikis.

Sedikit turun hujan, cemas datang, jangan-jangan banjir datang lagi. Merasa terganggu dengan suara-suara gemuruh air bersama gelondongan kayu, kehilangan harta benda, kehilangan orang tercinta.

Belum lagi harus hidup di pengungsian tanpa kejelasan masa depan. Mereka melihat langsung bagaimana rumah hilang ditelan gelombang bandang, lahan sawah terkubur lumpur setinggi satu meter.

Ini semua menghadirkan trauma mendalam hingga PTSD (Post Traumatic Syndrome Disorder).

Sayangnya, fokus penanganan korban bencana di Indonesia sering melupakan penanganan psikis korban. Padahal, itu sama pentingnya dengan bantuan logistik, terutama pendampingan pada kelompok rentan, perempuan dan anak.

Anak-anak korban bencana bisa mengalami trauma, mengalami mimpi buruk, ketakutan berpisah dengan orangtua, perubahan perilaku, hingga sulit berkonsentrasi.

Pada perempuan, beban psikologis jauh lebih berat karena perempuan cenderung mengambil peran sebagai penguat keluarga. Namun, beban itu menumpuk dalam bentuk kecemasan dan kelelahan emosional.

Bantuan logistik dan pembangunan kembali memang penting, tapi tidak cukup. Program pendampingan psikososial dan healing therapy harusnya menjadi bagian integral dari respons bencana. Bukan dijadikan program tambahan, tapi harus menjadi kebutuhan dasar.

Bayangkan saja, jika tidak ada psikososial, trauma ini akan berlangsung dalam waktu yang lama. Generasi bakal lahir dengan perilaku depresi, kecemasan tinggi, kekerasan dalam rumah tangga, bahkan putus sekolah.

Negara hadir

Kehadiran negara tidak cukup hanya sebatas pemberian bantuan dan pembangunan kembali. Intervensi negara dalam pendampingan psikis korban banjir jauh lebih penting, karena ini akan berlangsung dalam jangka waktu panjang.

Anggap saja ini sebagai investasi negara dalam pendampingan kesehatan mental terhadap perempuan dan anak, dipastikan ini menjadi investasi jangka panjang, demi memastikan generasi ke depan bukan menjadi generasi yang rapuh dan mengalami trauma.

Sudah banyak studi psikososial kebencanaan (Semerci, 2023) yang membahas tentang intervensi penanganan PTSD pada korban pascabencana, ternyata dapat diminimalkan dengan psikoterapi.

Bentuk kegiatannya bisa beragam dan sederhana seperti play terapi, terapi seni dan memberikan ruang untuk mengekspresikan emosi tanpa takut dihakimi.

Setidaknya ada 27 riset penanganan psikososial pascabencana yang dilakukan terhadap anak-anak dan remaja. Secara ilmiah hasilnya menunjukkan adanya dampak positif pada pemulihan mental anak-anak dan remaja dibanding kelompok yang masih menunggu list antrean penanganan psikoterapi.

Jadi, kelompok rentan sangat butuh ruang aman untuk mengekspresikan segala kecemasan dan intensitas emosi yang dialaminya.

Anak-anak mungkin tampak bermain-main di pengungsian, tapi sebenarnya mereka sangat perlu didampingi dengan menghadirkan ruang aman berbagi cerita.

Mereka dapat diterapi dengan metode bermain, menggambar, melakukan seni peran, peer konseling dan metode bersekolah di pengungsian.

Dari kegiatan ini terbukti dapat mengurangi kecemasan pada anak-anak dan remaja pascabencana.

Kelompok ibu juga demikian, mereka butuh konseling safe space untuk merilis emosi yang dirasakan tanpa merasa dihakimi, serta butuh dukungan bersama komunitas.

Ini yang kemudian menjadi tanda apakah mereka mengalami survive dan recovery atau justru mengalami trauma dan terpuruk lebih dalam setelah bencana surut.

Mari kita belajar kembali dari Tsunami Aceh 2004 lalu. Program psikososial saat itu dilakukan dalam skala besar, ada peran BRR bersama lembaga Internasional (Unicef, WHO, ICRC dll).

Penanganan trauma pasca-Tsunami Aceh 2004 saat itu dijadikan model global dalam penanganan trauma pascabencana.

Harus kita akui, psikososial di masa Tsunami Aceh menjadi proyek kemanusiaan internasional terbesar. Transfer pengetahuan besar-besaran terjadi di era itu khususnya dalam penanganan kesehatan mental.

Bukan berarti Indonesia lemah saat itu, hanya saja tidak memiliki kapasitas yang cukup memadai dalam menangani pemulihan psikis korban bencana sebesar Tsunami Aceh.

Bagaimana dengan kondisi sekarang? Bencana banjir Sumatera tidak kunjung ditetapkan sebagai bencana nasional, meski dampak bencana ini sudah memakan korban yang besar. Bahkan untuk membangun kembali butuh dana sekitar Rp 51,81 triliun (Kompas, 2025).

Urusan menjangkau daerah terisolir saja pemerintah dianggap masih lamban, serta tetap menolak bantuan luar negeri.

Lalu, bagaimana dengan penanganan trauma ini? Apakah masih mungkin berharap pada pemerintah?

Sementara dari kondisi yang ada saat ini, respons bencana yang dilakukan pemerintah belum memasukkan pendampingan kesehatan mental dan penanganan trauma pascabencana sebagai pilar utama dalam penanganan respons bencana.

Kesehatan fisik bisa disembuhkan, rumah-rumah bisa dibangun kembali. Bangunan-bangunan sekolah, jembatan bisa didirikan. Namun, luka batin yang sengaja diabaikan akan diwariskan secara lintas generasi berikutnya.

Tag:  #pemulihan #jiwa #korban #banjir #sumatera

KOMENTAR