Menjaga Republik di Era Digital
Ilustrasi aplikasi digital. Setiap individu berhak menentukan siapa saja yang bisa mengakses dan menggunakan data pribadinya. Hak ini ditegaskan melalui regulasi pemerintah.(SHUTTERSTOCK)
19:22
7 Desember 2025

Menjaga Republik di Era Digital

KONFERENSI Nasional ke-4 Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Administrasi Negara (APHTN-HAN) yang digelar pada 5–8 Desember 2025 di Labuan Bajo, menjadi penanda bahwa tata kelola negara menghadapi babak baru di tengah perubahan sosial dan teknologi.

Tiga isu krusial yang menjadi fokus pembahasan, yakni konstitusionalisme digital, penataan pemilu, dan pengelolaan sovereign wealth fund (SWF), merujuk pada persoalan yang makin kompleks bahwa negara dituntut menjamin kualitas demokrasi, melindungi hak warga, serta mengelola kekayaan publik dengan transparan.

Di era ketika persoalan negara saling berkelindan, penyelesaian sektoral tidak lagi memadai. Transformasi komunikasi politik di ruang digital, semakin mahalnya biaya demokrasi, dan pengelolaan investasi negara yang menyerupai operasi korporasi global menuntut desain hukum dan administrasi publik yang jauh lebih kokoh.

Konstitusi dan big tech

Teknologi digital dalam dua dekade terakhir telah mengubah cara kekuasaan bekerja. Algoritma dan platform teknologi dapat membentuk perilaku politik warga, mengendalikan arus informasi publik, bahkan menentukan siapa yang lebih terlihat dalam persaingan elektoral.

Fenomena micro-targeting, penyalahgunaan data pribadi, hingga produksi informasi artifisial, mengubah lanskap demokrasi tanpa selalu diimbangi perangkat hukum yang memadai.

Dalam konteks ini, perlindungan konstitusi tidak lagi dapat dipahami semata sebagai upaya membatasi kekuasaan negara.

Perkembangan demokrasi digital menunjukkan bahwa kekuasaan juga dapat lahir dari sektor non-negara, khususnya melalui platform teknologi dan pengendalian data.

Karena itu, pembacaan konstitusi modern perlu mencakup perlindungan warga dari dominasi kekuatan yang bersumber dari pasar digital. Data, dengan demikian, menjadi bagian dari hak warga yang memiliki implikasi konstitusional.

Hal ini sejalan dengan kecenderungan dalam kajian hukum publik global yang menempatkan pengelolaan data sebagai bagian dari prinsip rule of law.

Perlindungan data dan keterbukaan administrasi dilihat sebagai unsur penting keadilan sosial, karena data juga menentukan distribusi kekuasaan dalam masyarakat.

Dengan demikian, pengaturan data tidak dapat diperlakukan sebagai isu teknis, melainkan bagian dari tata kelola negara yang menyangkut perlindungan hak, keadilan, dan transparansi.

Penataan pemilu

Pemilu merupakan instrumen dasar demokrasi, tetapi dalam praktiknya semakin dibayangi biaya politik yang tinggi.

Kampanye membutuhkan dana besar, kontestasi menjadi ajang investasi, dan organisasi politik kerap terperangkap dalam logika pasar. Konsekuensinya, kepentingan publik berpotensi menjadi subordinat kepentingan pemodal.

Selain itu, sistem penegakan hukum pemilu di Indonesia masih bekerja secara terserak. Pengawasan, penegakan etika, penanganan pidana pemilu, dan penyelesaian perselisihan hasil pemilu tersebar pada berbagai institusi tanpa desain ekosistem yang terpadu.

Akibatnya, prinsip keadilan elektoral tidak selalu sejalan dengan prinsip keadilan substantif.

Demokrasi yang sehat memerlukan penataan kelembagaan hukum pemilu secara menyeluruh. Salah satunya melalui pembatasan rasional biaya politik, transparansi dana kampanye, serta integrasi penegakan hukum pemilu dalam satu kerangka koordinatif.

Reformasi bukan sekadar perubahan aturan, tetapi rekayasa kelembagaan agar demokrasi tidak dikendalikan oleh modal.

Pemilu yang mahal pada akhirnya akan membebani kandidat dan dapat membentuk pola kekuasaan yang berbasis transaksi, sehingga jabatan publik berisiko menjadi ruang kompensasi politik.

Jika demokrasi tunduk pada logika pasar, implikasinya tidak berhenti pada proses elektoral, melainkan memengaruhi arah kebijakan publik yang seharusnya memprioritaskan kepentingan rakyat.

Pola ketergantungan pada modal politik itu dapat pula terlihat dalam kebijakan pengelolaan kekayaan negara.

Indonesia Investment Authority (INA) atau Lembaga Pengelola Investasi (LPI), misalnya, menunjukkan langkah baru Indonesia dalam mengelola investasi melalui skema sovereign wealth fund.

Mekanisme ini membuka peluang pembiayaan pembangunan tanpa ketergantungan utang, tapi keberhasilannya bergantung pada integritas tata kelola.

Tanpa pengawasan publik yang memadai, skema investasi berpotensi tunduk pada kepentingan kapital besar, seperti halnya proses pemilu bisa tunduk pada modal politik.

Dengan demikian, baik pemilu maupun pengelolaan SWF membutuhkan prinsip yang sama, yakni: transparansi, akuntabilitas, dan mekanisme kontrol publik agar kekuasaan politik maupun ekonomi, tidak lepas dari amanat konstitusi.

Beberapa model SWF global menunjukkan adanya ruang kekebalan hukum untuk menarik investor.

Namun, celah tersebut dapat menjadi pintu tertutupnya informasi publik, melemahkan pengawasan, dan membuka potensi arbitrase yang merugikan negara.

Di Indonesia, prinsip Pasal 33 UUD 1945 menegaskan bahwa kekayaan alam harus dikelola sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, bukan hanya bagi efisiensi investasi.

Karena itu, constitutional economics menjadi pendekatan penting dalam tata kelola investasi negara. Pengelolaan dana publik tidak boleh dipisahkan dari prinsip akuntabilitas konstitusional.

Transparansi, pengawasan parlemen, keterbukaan informasi, dan mekanisme kontrol publik harus menjadi syarat mutlak, bukan sekadar pelengkap prosedural.

Peran APHTN-HAN

APHTN-HAN memiliki tanggung jawab keilmuan untuk memastikan tata kelola negara berjalan berbasis konstitusi dan keadilan publik.

Peran akademisi harus menjadi penyeimbang kebijakan melalui produksi pengetahuan, kritik ilmiah, dan rekomendasi yang memihak kepentingan warga.

Di tengah tantangan digital, biaya demokrasi yang tinggi, dan pengelolaan kekayaan negara, komunitas ilmiah berperan menegaskan bahwa hukum merupakan perangkat untuk menjamin keadilan.

Negara yang kuat adalah negara yang memiliki aturan dan dijalankan dengan keterbukaan dan tanggung jawab publik.

Dan, tantangan konstitusional hari ini berbeda dengan situasi ketika dasar negara dirumuskan. Perlindungan data, demokrasi elektoral, dan pengelolaan kekayaan publik menuntut pendekatan baru yang adaptif, transparan, dan berbasis kolaborasi kelembagaan.

Kini kekuatan negara sangat ditentukan oleh legitimasi tata kelola, bukan sekadar regulasi.

Konferensi APHTN-HAN menjadi momentum penting bagi pengembangan teori dan praksis ketatanegaraan Indonesia.

Pada akhirnya, kualitas demokrasi dan tata kelola negara tidak diukur dari keberadaan aturan, melainkan dari apakah aturan tersebut benar-benar bekerja untuk warga negara.

Tag:  #menjaga #republik #digital

KOMENTAR