Love-Hate Relationship Gen Z dengan BPJS, Ngebantu atau Bikin Ribet?
Buat sebagian Gen Z, BPJS itu udah kayak love and hate relationship gitu, kadang bikin happy karena ngebantu tapi dibikin kesel juga sama beberapa hal.
Ada yang berasa kebantu banget karena biaya kesehatan jadi ringan, tapi nggak sedikit yang bete sama antri yang panjang, buang waktu sampe harus ngorbanin cuti, bahkan obat yang terasa kurang lengkap dibanding klinik swasta.
Buat generasi yang dikenal nggak mau repot dan kesabarannya setipis tisu, pengalaman Gen Z pakai BPJS sering jadi reality check, apalagi urusan layanan publik nggak selalu mulus.
Kompas.com ngobrol dengan empat Gen Z yang punya cerita love-hate sama BPJS. Yuk ulik ceritanya!
Masih pake BPJS atau cabut ke klinik swasta?
Ternyata para Gen Z masih pakai BPJS untuk pengobatan ringan, cek kesehatan, atau tindakan yang kalau bayar sendiri bisa bikin dompet langsung kosong.
Fajar Al Haidar (24 tahun) misalnya, udah akrab sama BPJS sejak SMP. Sebagai Karyawan Swasta yang kerjaannya lumayan sibuk, BPJS itu semacam senjata andalan kalau lagi nge-drop.
“Sejauh ini pake BPJS buat berobat sakit biasa sih, kayak demam, batuk, pilek. Waktu itu juga pernah sakit kayak alergi ke kulit dan dua kali berobat, karena masih kambuh, akhirnya dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar,” kata Fajar, saat diwawancarai Kompas.com, Selasa (2/12/2025).
Ada juga, nih, Desy Fitria (23), seorang staf tata usaha sekolah yang baru pakai BPJS Oktober tahun ini, padahal udah daftar BPJS dari lama.
“Pertama kali gue pake BPJS itu baru tahun ini di bulan Oktober. Itu pun dipakai karena harus operasi,” tuturnya.
Bukan sombong atau apa, pertama kali pake BPJS juga karena sakit awalnya dikira lambung, eh ternyata kena usus buntu dan harus operasi.
Dari pada nguras kocek sendiri, dia akhirnya nyobain benefit dari BPJS buat operasi usus buntunya itu.
Kalau Sherina Natasya (25) dan Felia (24), pilih pakai BPJS untuk sakit-sakit ringan aja. Misalnya, batuk, pilek, demam, atau pengobatan saluran akar gigi.
“Biasanya untuk kasus sakit biasa seperti demam, batuk, pilek, sakit yang tidak perlu rujukan ke rumah sakit,” ungkap Sherina.
Sebagai budak corporate yang mengadu nasib di Jakarta, biaya buat berobat gigi itu nggak main-main, makanya keduanya pilih pake BPJS.
“Kalau ada gigi yang sakit, berlubang, atau harus perawatan saluran akar, itu aku usahain pakai BPJS, karena kalau bayar sendiri itu mahal banget,” tambah Almira.
The pros and cons pake BPJS
Ada quotes terkenal dari film Sore: Istri Dari Masa Depan, yang bilang, "Kalau aku harus ngulang seribu kali pun, kayaknya aku bakal tetep milih kamu, deh".
Kalau Gen Z ke BPJS mungkin bilangnya gini, “Daripada aku harus ngeluarin uang banyak buat berobat, kayaknya aku bakal tetep milih kamu, deh”.
Meskipun ada kesel-keselnya, tapi para Gen Z tetep punya alasan tersendiri kenapa masih pilih berobat pake BPJS dan kenapa mereka suka beralih ke klinik swasta.
Biaya murah dan sistem digital
Banyak Gen Z yang merasa tetap butuh BPJS karena satu alasan kuat yaitu cost efficiency.Ketika biaya periksa di klinik swasta makin tinggi, BPJS terasa kayak penyelamat darurat yang wajib ada.
Bahkan, menurut Fajar, prosedurnya juga semakin gampang dengan sistem yang terintegrasi secara online.
“Ngerasa terbantu sih, nggak ngerasa ribet, karena pas dateng tinggal ngasih kartu aja, bahkan digital juga udah bisa,” katanya.
Ia bahkan merasakan kemudahan kalau berobat di luar domisili. Katanya sih tinggal ngurus lewat aplikasi JKN Mobile dan cari klinik dengan rating yang bagus supaya dapet pelayanan yang oke.
Kalau Desy ngerasa manfaat paling besar, yaitu ketika harus menjalani operasi usus buntu. Bayangin kalau nggak ada BPJS dan harus bayar operasinya sendiri, bisa bikin kantong boncos, dong.
“Sebenernya merasa terbantu banget, apalagi gue nggak perlu keluar biaya yang besar lagi untuk berobat yang kasusnya harus sampai operasi gini,” kata dia.
Sherina juga bilang gitu, sebagai anak yang sering banget flu, dia ngerasa hemat banyak uang buat berobat. Lumayan, uangnya bisa dipake buat self-reward pas udah sembuh.
Nggak cuma menghemat biaya, Felia juga menilai layanan dokter yang ia terima cukup baik.
“Layanan dari dokternya juga cukup kompeten dan bersih. Alhamdulillah sejauh ini dari segi tindakan dokter belum pernah nemuin yang kurang,”
Meski banyak keluhan, alasan-alasan ini membuat Gen Z mikir-mikir lagi buat ninggalin BPJS.
Rugi waktu bikin Gen Z kapok pakai BPJS
Kalau ada satu hal yang bikin Gen Z komplain serempak soal BPJS, jawabannya pasti waktu yang kebuang sia-sia. Antri lama, proses berlapis, sampai rujukan yang jadwalnya “keburu sembuh sebelum masuk poli”.
Desy cerita pengalamannya ketika melalui rumitnya alur pengobatan saat kondisinya gawat. Padahal kondisinya udah nggak bisa ditunda dan nunggu-nunggu lagi.
“Prosesnya lama sih, antrinya juga panjang, bahkan ketika gue udah dapet surat rujukan buat ke poli dan lanjut ke IGD, itu lama,” ucap dia.
Buat kontrol pasca operasi, dia harus nyesuain waktu kerja sama jadwal kontrol yang cuma di jam tertentu. Sedangkan kalau di klinik swasta, menurutnya jam pelayanan lebih fleksibel dan cepat.
Felia punya pengalaman serupa saat mau berobat gigi. Bahkan ia dapet rujukan beberapa minggu setelah daftar. Waktu yang terbuang bahkan berbulan-bulan hanya untuk pengobatan satu gigi.
“Perawatan satu gigi aja bisa makan waktu 3 sampai 4 bulan, sedangkan sekarang yang bermasalah ada 3,” terang Almira.
Sebagai pekerja kantoran, ia beberapa kali harus ambil cuti. Terlebih dia harus periksa gigi setiap 1 sampai 2 minggu sekali. Alhasil, cutinya dipake buat berobat gigi ke klinik terus.
“Mau nggak mau aku harus korbanin waktu kerja dengan minta masuk setengah hari atau kadang ambil cuti,” tutur dia.
Obat & tindakan yang menurut Gen Z kurang maksimal
Selain waktu, keluhan Gen Z lainnya adalah pelayanan dan obat yang dinilai kurang lengkap dibandingkan klinik swasta.
Fajar ingat pengalamannya di tahun 2023. Waktu itu, dia coba scaling gigi yang di-cover BPJS. Ia mengaku kurang nyaman, berbeda dengan pengalamannya ketika scaling di klinik gigi swasta.
“Mungkin saat itu dokternya masih KOAS atau baru. Jadi beberapa kali ngerasa ngilu giginya,” ucapnya.
Tiga narasumber lainnya, yaitu Desy, Sherina, dan Felia justru merasa obat dari BPJS lebih terbatas dan dianggap tidak sebagus di klinik swasta.
“Obatnya itu lebih terbatas dan enggak sekomplit gue berobat di swasta,” ujar Desy.
Felia bahkan pernah ngalamin adanya kesenjangan layanan, yang katanya berasa kayak jadi anak tiri kalau berobat pakai BPJS. Mereka yang berobat reguler jauh rasanya kayak diutamain dibandingkan yang pakai BPJS.
“Kadang merasa pake BPJS itu kaya dianaktirikan, kelihatan kesenjangan layanan dan obat yang diberikan juga.”
Gimana tanggapan BPJS soal keluhan para Gen Z?
Menanggapi keluhan dari para Gen Z ini, Kepala Humas BPJS Kesehatan, Rizzky Anugerah menjelaskan, kalau sistem rujukan berjenjang adalah aturan yang memang sudah ditetapkan.
“FKTP (Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama) berfungsi sebagai garda awal sebelum pasien dirujuk ke rumah sakit,” katanya saat dihubungi Kompas.com, Rabu (3/12/2025).
Menurutnya, sistem ini tujuannya untuk menjaga kapasitas layanan rumah sakit supaya nggak makin numpuk.
Tapi, untuk pasien yang sakitnya sudah kategori gawat darurat, Rizzky mengimbau buat langsung datengin rumah sakit yang bekerja sama maupun tidak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.
“Mekanisme ini bukan untuk mempersulit, melainkan untuk menjaga mutu layanan, serta menghindari penumpukan pasien di rumah sakit,” tambah dia.
BPJS, lewat Aplikasi Mobile JKN, terus beradaptasi dengan kebutuhan Gen Z yang maunya serba cepat, apalagi waktu jadi hal yang paling berharga buat para Gen Z di tengah kesibukannya.
Nggak cuma itu, layanan tersebut juga bisa merangkun rekam medis pasien dari waktu ke waktu.
“Pada aplikasi tersebut, mereka dapat mengambil antrean online, mengecek ketersediaan kamar di rumah sakit, melakukan perubahan data kepesertaan, hingga melakukan Skrining Riwayat Kesehatan,” tutupnya.
Tag: #love #hate #relationship #dengan #bpjs #ngebantu #atau #bikin #ribet