Dewi Astutik Diringkus Tapi Perang Belum Usai, Membedah Ancaman dan Solusi Perang Narkoba Indonesia!
- Dewi Astutik (Mami), buronan narkoba Asia, ditangkap di Sihanoukville, Kamboja pada 1 Desember 2025.
- Dewi adalah otak perekrutan yang mengendalikan jaringan narkotika internasional, berbeda dengan jaringan gembong Fredy Pratama.
- Penangkapan Dewi adalah buah manis dari operasi intelijen senyap dan diplomasi tingkat tinggi.
UDARA lembap Sihanoukville, Kamboja, menjadi saksi bisu sebuah operasi senyap pada Senin, 1 Desember 2025. Sebuah Toyota Prius berwarna putih meluncur pelan menuju lobi hotel, tak menyadari bahwa setiap geraknya telah dipetakan oleh mata-mata intelijen lintas negara.
Saat seorang perempuan turun dari mobil, tim gabungan bergerak cepat, presisi, dan tanpa suara. Dalam hitungan detik, Dewi Astutik alias Mami, salah satu buronan narkoba paling dicari di Asia, berhasil diringkus.
Penangkapan ini seolah menjadi kemenangan hasil kolaborasi canggih antara Badan Narkotika Nasional (BNN), BAIS TNI, Kepolisian Kamboja, dan Interpol.
Namun, di balik euforia itu, sebuah kenyataan pahit tersingkap: Dewi mungkin hanyalah satu tentakel dari gurita raksasa yang masih bebas berkeliaran.
Ia adalah simbol dari perlawanan terhadap hukum yang selama ini diduga dikendalikan oleh gembong narkoba paling dicari, Fredy Pratama.
Artikel ini akan membedah siapa sebenarnya Dewi, bagaimana posisinya dalam peta narkotika yang menyeret nama Fredy Pratama, serta solusi apa yang harus ditempuh Indonesia untuk keluar dari jerat darurat narkoba yang mematikan.
Dari Wanita Biasa Menjadi 'Ratu' Lintas Benua
Dewi Astutik bukanlah sekadar kurir jalanan. Perempuan 43 tahun dengan nama asli Paryatin asal Ponorogo, Jawa Timur itu adalah pemain kunci, seorang aktor intelektual yang licin dan memiliki banyak nama alias: Mami, Kak Jinda, hingga Dinda.
Perannya sangat vital dalam ekosistem hitam ini. Ia adalah otak rekrutmen yang menggerakkan roda bisnis haram antarbenua.
"PAR alias Dewi Astuti alias Kak Jinda alias Dinda ini merupakan rekruter dari jaringan perdagangan narkotika Asia-Afrika dan juga menjadi DPO dari negara Korea Selatan," ungkap Kepala BNN RI, Komjen Suyudi Ario Seto saat konferensi pers di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Selasa (2/12/2025).
Data BNN menyingkap sepak terjangnya yang mengerikan. Mulai aktif merekrut kurir sejak 2023, Dewi melancarkan operasi pengiriman narkoba skala besar pada awal 2024. Wilayah kekuasaannya membentang luas, mencakup Indonesia, Laos, Hongkong, Korea Selatan, Brazil, hingga Ethiopia.
Jejak digital kejahatannya terendus saat BNN RI berkomunikasi dengan Kejaksaan Korea Selatan pasca tertangkapnya Iqbal, WNI rekrutan Dewi di Jeju.
Lebih mencengangkan lagi, nama Dewi Astutik terpatri sebagai otak di balik upaya penyelundupan 2 ton sabu yang berhasil digagalkan BNN RI pada Mei 2025. Sebuah angka fantastis yang, menurut Suyudi, penindakannya telah menyelamatkan sekitar 8 juta jiwa dari ancaman bahaya narkotika.
PerbesarInfografis akhir pelarian Dewi Astutik. (Suara.com/Aldie)Diplomasi Tingkat Tinggi di Balik Pemburuan
Penangkapan Dewi adalah buah manis dari operasi intelijen senyap dan diplomasi tingkat tinggi.
Berbekal Red Notice Interpol dan informasi intelijen yang matang, BNN RI membentuk tim khusus pada 25 November 2025 untuk terbang ke Kamboja.
Di bawah komando langsung Direktur Penindakan dan Pengejaran BNN RI, Brigjen Roy Hardi Siahaan, tim ini bergerak bak hantu. Sebagai arsitek lapangan, Roy memimpin timnya menyusup ke Kamboja, mengoordinasikan data intelijen dengan BAIS TNI, dan menjalin kerja sama taktis dengan Kepolisian Kamboja.
Kesulitan terbesar menangkap Dewi selama ini adalah kelicinannya dalam berpindah tempat.
"Dia adalah bagian dari jaringan internasional yang selama ini pindah dari negara ke negara lain," jelas Suyudi.
Saat disergap, Dewi tak sendiri. Ia bersama seorang pria yang belakangan diketahui bernama Abdul Halim. Identitas sang pria pun masih menyisakan misteri.
"Lelaki tersebut sedang dilakukan penyelidikan oleh Polisi Kamboja, sementara info yang didapatkan, lelaki tersebut diakui sebagai WN Pakistan dengan panggilan Abdul Halim, yang diduga sebagai pacar Paryatin alias Dewi Astuty," beber Suyudi saat dikonfirmasi, Rabu (3/12/2025).
Bayang-Bayang Fredy Pratama dan Peta Baru "Segitiga Emas"
Penangkapan Dewi memang melumpuhkan satu pilar penting, namun bangunan utama kerajaan narkoba di bawah kendali Fredy Pratama masih berdiri kokoh.
Kepala BNN bahkan secara gamblang menempatkan keduanya di puncak piramida kejahatan ini.
"Berdasarkan hasil analisa, terdapat dua nama utama asal Indonesia yang mendominasi kawasan Golden Triangle, yakni Fredy Pratama dan PAR alias Dewi Astuti," tegas Suyudi.
Fredy Pratama, sang "Escobar Indonesia", tetap menjadi buronan nomor satu.
Jaringannya dirancang untuk sulit mati, beroperasi dengan tiga prinsip utama: struktur sel terputus, profesionalisme tinggi, dan regenerasi cepat.
Menariknya, asumsi publik bahwa Dewi adalah tangan kanan Fredy ternyata meleset. Hasil pendalaman BNN justru mengungkap fakta baru: mereka adalah dua kekuatan besar yang berbeda.
"Dewi Astutik sementara merupakan jaringan Cambodia-Nigeria-Brazilia. Jadi belum terkonfirmasi sebagai rekan Fredy Pratama," tutur Suyudi.
Fakta ini menegaskan bahwa Dewi adalah "Ratu" dari sindikat independen yang kekuatannya setara dengan jaringan Fredy.
Artinya, Indonesia kini berhadapan dengan hydra berkepala dua: dua gembong besar yang sama-sama mendominasi kawasan dan memiliki jangkauan global.
PerbesarDewi Astutik alias Mami, salah satu buronan narkoba paling dicari di Asia, berhasil diringkus. (Foto dok. ist)Ironi Angka Fantastis dan Ilusi Keberhasilan
Suburnya kerajaan bisnis Fredy maupun Dewi di Tanah Air tidak terjadi dalam ruang hampa. Indonesia menghadapi "segitiga masalah" pelik: permintaan tinggi, geografi rentan, dan kelemahan sistemik.
Selama satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto (Oktober 2024–Oktober 2025), Polri mengungkap skala perang narkoba yang masif. Total barang bukti yang disita mencapai 214,84 ton dari 49.306 kasus dengan 65.572 tersangka.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyoroti nilai ekonomis dari penindakan tersebut.
"Jika dikonversikan ke dalam nilai ekonomi, jumlah tersebut setara dengan Rp 29,37 triliun," ujar Listyo di Lapangan Bhayangkara, Jakarta Selatan, Rabu (29/10/2025).
Namun, di balik klaim triliunan rupiah itu, pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, melihat celah fundamental. Menurutnya, aparat kerap terjebak dalam ilusi keberhasilan yang hanya diukur dari angka statistik, bukan dampak nyata di lapangan.
Fokus institusi dinilai lebih berat pada kuantitas penangkapan yang mudah menyasar target kecil alias pengguna, ketimbang memutus urat nadi bandar besar.
"Selama ini kepolisian lebih menekankan pada kuantitas, bukan kualitas. Keberhasilan pemberantasan narkoba ini hanya diukur dari banyaknya jumlah penangkapan," ujar Bambang kepada Suara.com.
Musuh dalam Selimut: Ego Sektoral dan Beking Aparat
Paradigma "kejar setoran" angka penangkapan ini, lanjut Bambang, menciptakan sistem rapuh yang rentan disalahgunakan. Masalah kian pelik dengan adanya ancaman "beking" aparat yang sulit diberantas.
Kasus Irjen Teddy Minahasa menjadi contoh nyata bagaimana jenderal bintang dua justru terlibat dalam peredaran barang bukti.
Bagi Bambang, ini bukan sekadar anomali, melainkan risiko inheren akibat lemahnya kontrol internal.
"Di negara manapun beking-beking aparat itu tentu terjadi," katanya, menekankan bahwa kuncinya ada pada sistem pengawasan yang tegas.
Puncak dari kelemahan sistemik ini adalah apa yang disebut Bambang sebagai "problem ego sektoral" antara BNN dan Polri. Alih-alih bersinergi, hubungan keduanya kerap tumpang tindih. Bambang menuding para pembuat kebijakan gagal merancang kerangka hukum yang kokoh.
"Kalau parlemen dan pemerintah masih berpikir pragmatis, parsial, ya risikonya pemberantasan narkoba akan seperti ini terus," tegasnya.
Solusi Radikal: Memiskinkan Bandar, Memandirikan BNN
Penangkapan Dewi di Kamboja semestinya menjadi momentum perubahan strategi: dari sekadar menangkap pelaku menjadi memutus mata rantai secara total. Perang ini butuh strategi komprehensif dari hulu ke hilir.
Di hulu, fokus harus beralih ke Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Tujuannya jelas: memiskinkan para bandar dengan menyita seluruh aset mereka, bukan hanya memenjarakan raga namun membiarkan uang mereka tetap bekerja.
Bambang juga mendesak reformasi kelembagaan yang radikal. Ia menyoroti posisi BNN RI yang masih dipimpin perwira polisi aktif, sehingga lembaga ini sulit lepas dari bayang-bayang Polri.
"Hubungan Polri dan BNN itu adalah koordinasi, bukan subordinasi. Jadi BNN harus mencetak penyelidik dan penyidik sendiri, dan harus terpisah dengan Polri," jelasnya.
Keberhasilan meringkus Dewi memang bukti kapasitas aparat Indonesia. Namun, ini hanyalah satu pertempuran yang dimenangkan dalam perang yang masih panjang.
Selama gurita Fredy Pratama belum dilumpuhkan dan akar masalah di dalam negeri—seperti ego sektoral dan korupsi—belum dicabut, penangkapan satu "ratu" mungkin hanya akan membuka jalan bagi pion-pion baru untuk naik takhta.
Tag: #dewi #astutik #diringkus #tapi #perang #belum #usai #membedah #ancaman #solusi #perang #narkoba #indonesia