KUHAP Bolehkan Penyadapan, tetapi Aturannya Belum Ada, Gen Z Takut Bersuara?
Ilustrasi dark web.(Shutterstock)
11:54
1 Desember 2025

KUHAP Bolehkan Penyadapan, tetapi Aturannya Belum Ada, Gen Z Takut Bersuara?

Bagi banyak anak muda, kabar bahwa KUHAP baru memperbolehkan penyadapan terasa seperti notif yang bikin cemas.

Timeline tetap ramai dipenuhi oleh meme kritik pemerintah dan thread receh, tapi di balik itu muncul sebuah kekhawatiran: kalau semua komunikasi digital bisa dipantau, apa kita masih aman mengkritik di media sosial?

Naura (19 tahun), mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Bakrie, mengaku langsung khawatir mendengar kabar tersebut.

“Jujur rasanya tuh kayak dikasih apa ya? Nggak tahu. Pokoknya aneh aja gitu, kayak ngerasa ngeri-ngeri sedap,” kata Naura.

“Kita tahu penyadapannya itu jadi diperbolehkan kan, tapi cara mainnya, peraturannya tuh belum ada," imbuh dia.

Dalam draf KUHAP yang baru disahkan, penyadapan didefinisikan secara luas melalui Pasal 1 Ayat (36).

Aturannya mencakup kegiatan memperoleh informasi pribadi secara rahasia, dari mendengarkan, merekam, memasang alat tersembunyi, hingga mencatat transmisi informasi elektronik melalui jaringan kabel, nirkabel, atau internet.

Sementara kewenangan penyidik untuk melakukan penyadapan dijelaskan di Pasal 136 ayat (1): “Penyidik dapat melakukan penyadapan untuk kepentingan penyidikan.”

Namun ayat (2)-nya menegaskan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai penyadapan harus diatur dalam sebuah Undang-Undang Penyadapan, UU yang sampai hari ini belum dibuat.

Inilah yang memunculkan tanda tanya bagi para Gen Z. Penyadapannya sudah sah menurut KUHAP, tetapi buku panduan teknisnya belum ada.

Kapan boleh menyadap? Siapa yang boleh melakukannya? Data apa saja yang boleh diambil? Bagaimana pengawasannya? Rasanya kayak menjalin Hubungan Tanpa Status, masih menggantung.

“Rasanya tuh kayak negara dikasih senjata baru terus kan belum ada instruksi keselamatannya ya. Jadi kayak bingung gitu kita,” ujar Naura.

Yang paling membuatnya overthinking adalah tidak adanya batas yang jelas: siapa yang boleh disadap, untuk tujuan apa, dan sejauh apa.

“Kalau nggak ada aturan yang jelas, siapa yang ngejamin kekuasaan soal si penyadapan ini nggak disalahgunakan buat kepentingan politik atau membungkam suara kritis?” kata Naura.

“Jadi kan nggak jelas ini tuh sebenernya siapa yang bisa disadap, apakah semuanya atau cuman teroris doang," imbuh dia.

Kegelisahan itu enggak hanya dirasakan oleh Naura. Farel Fathin Nugraha, Mahasiswa Hukum Universitas Yarsi, melihat hal yang sama dari POV yang berbeda.

“Kalau misalnya undang-undang KUHAP Itu memperbolehkan penyadapan, tapi sampai sekarang belum diatur penyadapan itu harus bagaimana, regulasinya seperti apa, batasan-batasannya apa, jangan sampai terdakwa itu juga punya hak… hak atas privasinya terjaga," imbuh dia.

UU Penyadapan belum ada

Secara normatif, KUHAP baru telah mengakui penyadapan sebagai bagian dari upaya paksa.

Artinya, penyidik pada prinsipnya boleh menggunakan penyadapan dalam proses penegakan hukum, dengan catatan aturan teknisnya nanti diatur dalam Undang-Undang Penyadapan.

Masalahnya nih guys, sampai hari ini, Undang-Undang Penyadapan belum dibuat.

Abdul Fickar Hadjar, dosen Fakultas Hukum Universias Trisakti, menjelaskan bahwa tanpa pengaturan teknis, aturan itu belum bisa dijalankan secara operasional.

“Meski sudah ada dasar hukumnya, tetapi jika belum ada pengaturan teknis, mekanisme atau acaranya, maka secara yuridis belum bisa berlaku operasional,” tulis dia.

Ia menegaskan, jika belum ada undang-undang sebagai dasar hukum khususnya, maka semua tindakan penyadapan yang dilakukan justru jatuh pada kategori ilegal.

“Jika belum ada UU sebagai dasar hukumnya, maka semua penyadapan yang dilakukan ilegal dan batal demi hukum dan tidak punya kekuatan pembuktian,” kata Fickar.

Tanpa dasar hukum yang jelas, ruang penyalahgunaan terbuka lebar.

Menurut dia, ada “potensi penyalahgunaannya: pemerasan dan penipuan, baik oleh aparat maupun orang yang mengaku aparat.”

Di sisi lain, Fickar menyebut, keberadaan Undang-Undang Penyadapan nanti justru bisa menjadi pegangan untuk menggugat penyimpangan.

“Kalau sudah ada UU-nya, terjamin, karena setiap penyimpangannya bisa dipersoalkan,” tulisnya.

Demokrasi bisa terancam?

Dari semua penjelasan tadi, pertanyaan utamanya cuma satu: kalau UU Penyadapan aja belum ada, tapi penyadapan udah boleh di KUHAP, di titik mana demokrasi kita mulai goyah? Ini tuh warning sign atau cuma kita yang overthinking?

Bagi Fickar, ketiadaan UU teknis bukan masalah sepele. Ia menyebut, hakim saja tidak cukup untuk mengontrol praktik penyadapan di lapangan.

“Tidak cukup, karena hakim tidak bisa mengontrol secara teknis jika ada penyimpangan,” ujar Fickar.

Ia menekankan perlunya mekanisme pertanggungjawaban yang konkret.

“Semua hasil sadapan harus dilaporkan pada instansi yang memberikan izin sebagai bagian pertanggungjawaban negara,” kata Fickar.

“Ya benar, jika tidak ada Undang-Undang Penyadapan, justru semua tindakan menjadi tindakan ilegal yang merusak demokrasi," ujar dia menegaskan.

Dilema antara takut dipantau tapi tak mau diam

Bagi Naura, kekosongan aturan membuat batas “siapa yang boleh disadap” terasa mengambang.

Ia mengaku bingung menentukan apa saja yang bisa membuat seseorang jadi target.

“Apakah cuman teroris dan koruptor yang disadap seperti yang tadi saya bilang, atau mahasiswa yang lagi demo juga bisa kena. Kalau batasannya nggak jelas, semua bisa saja jadi target yang potensial," ujar dia.

Kebingungan itu kemudian berubah menjadi rasa waswas ketika ia bicara soal media sosial dan kebebasan berpendapat.

“Jadi mikir dua kali kalau misalkan mau posting opini yang agak pedas. Takutnya apa yang kita anggap kritik biasa dianggap ancaman oleh pihak tertentu," imbuh dia.

Menurut Naura, ruang digital yang seharusnya jadi tempat berekspresi, bisa berubah menjadi ruang interogasi.

“Terus tiba-tiba WA kita dipantau. Medsos yang seharusnya jadi ruang ekspresi malah jadi kerasa kayak ruang interogasi,” kata dia.

“Jadi kita nggak bisa sebebas itu lagi buat mengekspresikan hal-hal yang kita pengin di sosial media," ujar dia lagi.

Namun di saat yang sama, sebagian Gen Z menolak tunduk pada rasa takut sepenuhnya.

Farel mengatakan ia tidak ingin berhenti bersuara.

“Justru kita sebagai masyarakat harus mengutarakan suara kita secara umum… kalau itu salah adalah salah, bukan yang salah dibenar-benarkan," kata dia.

Farel mengingatkan, jika kritik di media sosial ikut dibungkam, ruang demokrasi bisa semakin menyempit.

“Menyampaikan di media sosial ini kan merupakan yang tidak langsung. Maka kalau misalnya menyampaikannya aja dilarang, maka harus lewat mana lagi?” kata Farel.

“Bahkan ketika demo-demo digelar aja tidak pernah didengar," ujar dia lagi.

Apa yang harus diatur di UU Penyadapan?

Dari sisi hukum, Abdul Fickar menegaskan bahwa Undang-Undang Penyadapan sangat dibutuhkan agar setiap penyimpangan bisa dipersoalkan secara sah.

Dari sisi teknis, Haris Rafi, dosen Sistem Informasi Universitas Bakrie, mengingatkan bahwa penyadapan bukan sekadar tentang mendengar isi percakapan karena data yang bisa diambil jauh lebih luas.

“Si penyadap juga bisa melihat macam-macam data yang lebih rinci seperti lokasi, waktu, perangkat yang dipakai, kepada siapa kita terhubung, bahkan sampai pola aktivitas harian. Jadi tanpa baca isi chat pun, data ini sudah benar-benar kaya dan bisa menggambarkan kehidupan seseorang secara detail," ujar Haris.

Tanpa aturan teknis, risikonya jelas: penyadapan bisa dilakukan tanpa batas.

"Misalnya batasan seperti siapa yang mengakses datanya, berapa lama disimpan, untuk tujuan apa, dan bagaimana auditnya. Kalau tanpa aturan teknis, data bisa disalahgunakan… seperti pemerasan, profiling, atau bahkan bisa juga jadi penargetan untuk keperluan politik," kata Haris.

Menurut Haris, Gen Z jadi kelompok paling rentan karena seluruh hidupnya terhubung dengan ruang digital.

“Gen-Z rentan karena generasi ini paling banyak bermain di ruang digital, dari belajar, bekerja, bersosial, bahkan curhat aja di medsos,” kata Haris.

“Jejak digital Gen-Z ini benar-benar lengkap sehingga kalau disadap, informasi yang terkumpul jauh lebih banyak daripada generasi sebelumnya," imbuh dia.

Ia juga mengingatkan bahwa metadata saja sudah cukup sensitif karena menyangkut lokasi, waktu, hubungan pertemanan sampai rutinitas harian.

“Data-data seperti itu bisa digunakan untuk macam-macam prediksi seperti kondisi kesehatan, hubungan pribadi, atau kalau untuk keperluan politik ya berarti prediksi pilihan politiknya," kata Haris.

Oleh karena itu, menurut Haris, negara perlu segera menyusun pedoman teknis yang rinci.

“Batasan-batasan rinci seperti siapa saja yang memiliki wewenang menyadap itu, batasan data seperti apa yang boleh diambil, durasi penyimpanannya, dan yang penting itu adanya sanksi tegas kalau ada penyalahgunaan. Kalau tidak ada batasan atau audit, penyadapan bisa banget digunakan secara sewenang-wenang," kata dia.

Naura juga menyampaikan harapan sederhana namun on point: jangan main hakim dulu sebelum aturan siap.

“Sebelum pasal penyadapan di KUHAP itu dijalanin, sahin dulu itu UU penyadapannya. Pastikan aturannya transparan, terus melibatkan publik juga," kata Naura.

Ia menekankan bahwa penyadapan harus dibatasi untuk kejahatan yang benar-benar luar biasa.

“Negara tuh juga harus dikasih garansi bahwa penyadapan tuh cuma buat kejahatan yang luar biasa aja, bukan buat mata-matain warga sipil yang beda pendapat,” ujar Haris.

“Harapannya tuh… harus ada izin pengadilan, aparat tuh nggak boleh asal sadap karena curiga sepihak," kata dia.

FAQs

1. Kalau belum ada UU Penyadapan, apakah penyadapan boleh dilakukan?

Menurut Abdul Fickar Hadjar, secara yuridis, tanpa undang-undang khusus yang mengatur mekanisme, penyadapan “belum bisa berlaku operasional”.

Ia menyebut, “semua penyadapan yang dilakukan ilegal dan batal demi hukum.”

2. Apa saja yang bisa diakses lewat penyadapan?

Menurut Haris Rafi, bukan cuma isi chat.

Penyadap bisa melihat lokasi, waktu, perangkat, jaringan pertemanan, sampai pola aktivitas harian.

Tanpa membaca isi pesan, gambaran hidup seseorang sudah bisa terbentuk.

3. Kenapa Gen Z paling rentan?

Karena hampir semua aktivitas Gen Z, belajar, kerja, hiburan, curhat. berada di ruang digital. Jejak digitalnya paling lengkap, sehingga ketika disadap, informasi yang terkumpul jauh lebih banyak.

4. Apa yang seharusnya dilakukan negara?

Menyahkan dulu UU Penyadapan yang jelas, transparan, dengan batasan ketat: siapa boleh menyadap, untuk kasus apa, sejauh apa, berapa lama, dan bagaimana mekanisme pengawasannya serta sanksi jika ada penyalahgunaan.

Tag:  #kuhap #bolehkan #penyadapan #tetapi #aturannya #belum #takut #bersuara

KOMENTAR