Mengembalikan Marwah Putusan Mahkamah Konstitusi
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (tengah) bersama Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Saldi Isra (keempat kiri), Anggota Majelis Hakim MK Arsul Sani (ketiga kanan), Arief Hidayat (keempat kanan), Ridwan Mansyur (ketiga kiri), Anwar Usman (kanan), Daniel Yusmic (kedua kanan), Guntur Hamzah (kiri), dan Enny Nurbaningsih (kedua kiri) memimpin sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Wali Kota Kota Palopo dan Bupati Kabupaten Mahakam Ulu Tahun
05:46
18 November 2025

Mengembalikan Marwah Putusan Mahkamah Konstitusi

ADA suatu masa ketika republik ini percaya bahwa ketika palu Mahkamah Konstitusi diketukkan, perdebatan berhenti. Tidak semua senang, tetapi semua tunduk.

Para legislator bisa menggerutu, para menteri bisa kecewa, para pengusaha bisa meradang, tetapi akhirnya mereka menghormati kalimat yang menang dari konstitusi.

Putusan MK adalah titik akhir dari pertarungan politik, karena ia berasal bukan dari kalkulasi elektabilitas, tetapi dari teks dasar yang mendirikan negara ini.

Kini keyakinan itu tinggal fosil. Masih dipajang di seminar, masih dikutip oleh pejabat setiap kali tampil di televisi, tetapi hilang dari praktik kekuasaan.

Putusan MK tetap final dan mengikat, tapi finalitasnya tidak memaksa dan sifat mengikatnya bisa dinegosiasikan. Orang masih mengutip pasal konstitusi dengan fasih, tetapi mengabaikannya dengan santai.

Rakyat melihat ironi itu: negara yang bangga sebagai negara hukum, tetapi sikap pemegang kekuasaan terhadap putusan MK lebih dekat kepada kalau sempat daripada harus patuh.

Ingatan kita tentang MK sebagai benteng terakhir bukan hilang. Ia hanya dibiarkan layu oleh orang-orang yang seharusnya menjaganya.

Politik di Indonesia selalu punya panggung, dan seperti semua panggung, ia membutuhkan penonton. Putusan MK masuk ke panggung itu bukan sebagai naskah utama, tetapi sebagai alat permainan.

Begitu MK menafsir konstitusi, para elite segera menghitung siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan.

Bila kebijakan harus diperbaiki, maka perbaikan dianggap sebagai ancaman. Bila undang-undang harus diubah, maka perubahan dianggap risiko kekuasaan.

Maka muncullah sikap paling berbahaya dalam negara hukum: bukan menolak putusan MK secara terang-terangan, tetapi merangkulnya secara retorik sambil mengosongkannya secara praktik.

Di DPR, pejabat berdiri di podium dan bersabda dengan khidmat: “kami menghormati putusan Mahkamah Konstitusi.” Kalimat itu persis seperti senyum sopan pada resepsi pernikahan: terdengar manis, tetapi tanpa kedalaman.

Tidak ada energi untuk bertanya kapan undang-undang akan direvisi. Tidak ada urgensi untuk mengeksekusi perintah konstitusi.

Putusan 135/PUU-XXII/2024 tentang pemisahan pemilu nasional dan lokal adalah bukti yang begitu gamblang sehingga kita hampir tidak perlu menafsirkannya.

Mahkamah telah memerintahkan penataan ulang desain pemilu melalui perubahan undang-undang. Belakangan, dalam perkara lain, MK sendiri menyatakan bahwa perintah itu belum ditindaklanjuti atau belum dinormakan oleh pembentuk undang-undang.

Ini bukan sekadar penundaan teknokratis; ini adalah kritik terbuka dari lembaga yudisial tertinggi kepada pembuat undang-undang yang tidak menjalankan kewajiban konstitusionalnya.

Di panggung itu, putusan MK menjadi aktor pendukung, bukan pemeran utama. Yang utama tetaplah kepentingan, bukan konstitusi.

Luka itu tidak terlihat, tetapi terasa. Tidak ada darah, tidak ada korban fisik, tidak ada ledakan. Luka itu hadir ketika rakyat menyadari bahwa kebenaran konstitusional bergantung pada keinginan politik.

Ketika putusan MK tidak dijalankan, sebenarnya ada dua konsekuensi sekaligus: keadilan tertunda dan kepercayaan terkikis. Yang pertama menyakiti hak; yang kedua merusak demokrasi.

Ketua MK pernah mengingatkan di forum resmi tentang adanya putusan-putusan MK yang tidak dipatuhi pembentuk undang-undang, dan menyebutnya sebagai bentuk pembangkangan terhadap konstitusi.

Kata “pembangkangan” itu — kata yang biasanya digunakan untuk perlawanan terhadap negara — kini diarahkan kepada komponen negara sendiri.

Betapa ironisnya: yang dulu berkewajiban menghormati konstitusi, kini justru melanggarnya secara perlahan-lahan, tapi terus-menerus.

Masyarakat bukan tidak mengerti. Mereka menyaksikan pola yang sama dari waktu ke waktu. Ketika putusan MK menguntungkan kekuasaan, pelaksanaannya tidak membutuhkan waktu lama.

Ketika putusan MK mengoreksi kekuasaan, pelaksanaannya menjadi banyak pertimbangan: koordinasi, sinkronisasi, penyesuaian, transisi, tahapan implementasi, dan istilah birokrasi lain yang pada dasarnya berarti satu hal: tunda dulu.

Luka itu dibiarkan melebar karena dibiarkan dianggap biasa.

Putusan MK adalah perintah. Tidak peduli betapa halus atau tegas redaksinya, ia memerintahkan negara untuk tunduk kepada konstitusi.

Namun, kita hidup di republik yang canggih: ketaatan dapat diubah menjadi simulasi ketaatan. Bahasa hukum bisa dijadikan topeng untuk menghindari hukum.

Sebagian pihak menyebut implementasi putusan MK sebagai kebijakan teknis. Padahal, yang sebenarnya terjadi adalah cara untuk menahan perubahan.

Putusan 60/PUU-XXII/2024 tentang ambang batas pencalonan kepala daerah, misalnya, secara jelas mengubah pengaturan ambang batas dengan membatalkan pasal tertentu dan memaknai ulang ketentuan lainnya.

Putusan 70/PUU-XXII/2024 menegaskan bahwa penghitungan batas usia calon kepala daerah harus didasarkan pada saat penetapan pasangan calon, bukan menunggu pelantikan. Secara normatif, arah pembenarannya terang.

Namun, ketika gagasan revisi UU Pilkada muncul, publik membaca draf dan wacana yang berkembang dengan mata curiga.

Di luar teks resmi, muncul kekhawatiran bahwa revisi justru berpotensi mengurangi daya korektif putusan MK, seolah mengakui secara formal, tetapi mempersempit akibatnya.

Di sinilah, lagi-lagi, ketaatan tampak sebagai upacara: hormat di permukaan, menolak di kedalaman.

Inilah logika baru kekuasaan: hormati MK secara seremonial agar tampak konstitusional, tetapi ubah makna putusannya agar tidak berbahaya bagi kepentingan.

Negara hukum tidak runtuh karena ada pihak yang berani melanggar. Ia runtuh karena ada pihak yang berani patuh hanya sebagai dekorasi.

Ketaatan dalam negara hukum seharusnya tidak bersyarat. Tetapi di republik ini, ketaatan berubah menjadi tawar-menawar.

“Kami patuh, tetapi perlu dikaji ulang.”
“Kami setuju, tetapi menunggu momentum politik.”
“Kami menghormati, tetapi ada aspirasi daerah.”
“Kami mendukung, tetapi implementasi bertahap.”

Begitulah bahasa kekuasaan ketika menghadapi konstitusi yang menghalangi keinginannya.

Putusan 35/PUU-X/2012 tentang hutan adat menjadi batu uji yang menyedihkan. MK telah menegaskan bahwa hutan adat bukan lagi hutan negara, melainkan hutan hak yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.

Pemerintah menindaklanjuti sebagian melalui regulasi administratif dan penetapan hutan adat di beberapa wilayah.

Namun hingga lebih dari satu dekade setelah putusan itu dibacakan, undang-undang nasional yang secara komprehensif mengatur masyarakat hukum adat belum juga disahkan.

Rakyat adat boleh bersyukur dalam pidato, berfoto dalam pencanangan, bahkan menerima piagam pengakuan. Namun, selama undang-undang itu belum ada, tanah mereka tetap bergantung pada kebijakan pemerintah dan selera investasi.

Putusan MK hadir, tetapi tidak pernah lengkap diterjemahkan dalam sistem hukum. Ketaatan itu ada, tetapi bukan ketaatan — lebih tepat disebut pengelakan yang rapi.

Ketaatan yang ditunda adalah ketaatan yang ditolak dengan cara sopan.

Pemulihan

Bagaimana memulihkan marwah putusan MK? Pertanyaan itu terdengar rumit hanya karena kita sudah terbiasa menganggap wajar ketidakpatuhan.

Padahal jawabannya sederhana: marwah MK akan kembali ketika pemerintah dan DPR berhenti memperlakukan putusan MK sebagai gangguan terhadap rencana dan mulai memperlakukannya sebagai batas kekuasaan.

Yang dibutuhkan bukan pidato pejabat tentang negara hukum. Yang dibutuhkan adalah negara yang berani menurunkan ego kekuasaan.

Bukan MK yang harus memperjuangkan ketaatan eksekutif dan legislatif, tetapi eksekutif dan legislatif yang harus memperjuangkan martabat mereka sendiri dengan cara tunduk pada konstitusi.

Kita terlalu lama terjebak dalam logika yang salah: seolah-olah negara bertanggung jawab kepada publik, tapi publik tidak berhak menagih kepatuhan negara terhadap hukum.

Padahal dalam negara demokratis, rakyat bukan sekadar pemilih; rakyat adalah pemilik kedaulatan. Putusan MK seharusnya bukan perintah dari hakim kepada politisi, tetapi perintah dari konstitusi melalui hakim kepada kekuasaan.

Selama negara lebih takut kehilangan suara daripada kehilangan legitimasi, selama legislatif lebih takut pada partai daripada pada konstitusi, dan selama pemerintah lebih takut pada dinamika istana daripada pada putusan MK, maka marwah putusan MK tidak akan pulih.

Pemulihan membutuhkan keberanian untuk mengakui bahwa negara hukum bukan permainan angka kekuasaan, tetapi permainan moral.

Meskipun gelap terasa panjang, selalu ada celah kecil tempat cahaya bertahan. Masih ada hakim konstitusi yang menulis putusan dengan keteguhan isi, bukan ketegangan politik.

Masih ada akademisi dan mahasiswa yang dengan sabar menjelaskan bahwa konstitusi bukan dekorasi. Masih ada masyarakat sipil yang menolak diam dan terus mengawal setiap putusan agar tidak mati di meja birokrasi.

Kebangkitan itu bukan optimisme kosong. Ia tumbuh ketika orang-orang yang percaya pada negara hukum terus bekerja tanpa menunggu persetujuan kekuasaan.

Mereka yang masih memegang keyakinan sederhana: bahwa konstitusi harus lebih tinggi dari siapa pun yang duduk di kursi kekuasaan.

Kita belum menang, tetapi kekalahan pun belum ditakdirkan. Karena marwah putusan MK tidak mati oleh pengabaian; ia hanya tertidur sementara oleh permainan kekuasaan.

Dan setiap permainan selalu memiliki akhir. Ketika elite politik satu per satu berganti, ketika kepentingan berpindah, ketika situasi politik berubah, konstitusi tetap tinggal — ia tidak maju, tidak mundur, hanya menunggu untuk ditegakkan.

Kebangkitan akan datang bukan ketika MK semakin keras bersuara, tetapi ketika negara akhirnya menyadari bahwa menghormati putusan MK bukan tanda kelemahan, melainkan tanda kedewasaan.

Suatu hari ketika pemerintah dan DPR patuh pada putusan MK bukan karena kalah politik, bukan karena terpojok publik, bukan karena momentum pemilu, tetapi karena menyadari batas kekuasaan adalah penjaga mereka sendiri — pada saat itulah republik ini sembuh.

Ketika hari itu tiba — hukum tidak lagi harus berteriak untuk dihormati. Konstitusi tidak lagi harus membuktikan diri. MK tidak lagi harus memohon pelaksanaan putusannya.

Dan republik akan berdiri tegak, bukan karena kuat, tetapi karena jujur.

Tag:  #mengembalikan #marwah #putusan #mahkamah #konstitusi

KOMENTAR