Melihat Kesiapan RS untuk Penghapusan Kelas...
- Rencana pemerintah menghapus kelas layanan rawat inap dan menggantikannya dengan sistem Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) hingga saat ini belum dijalankan secara menyeluruh.
Kementerian Kesehatan menargetkan seluruh rumah sakit (RS) yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan siap menerapkan KRIS pada akhir 2025.
Namun, di balik ambisi itu, kesiapan fasilitas, pembiayaan, dan dampaknya terhadap peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) masih memunculkan tanda tanya besar.
Mei lalu, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyebut sekitar 88 persen dari 2.700 RS mitra BPJS Kesehatan diperkirakan dapat memenuhi standar KRIS pada Desember 2025.
Saat ini, 57 persen RS telah lolos evaluasi KRIS, sedangkan 31 persen masih dalam tahap pemenuhan kriteria.
Sekitar 300 RS, atau 12 persen dari total, dinilai belum siap dan akan dikejar melalui skema insentif serta disinsentif.
"Diharapkan 88 persen dari seluruh rumah sakit yang kerja sama dengan BPJS, akhir tahun ini hitungan kita selesai," kata Budi.
KRIS sendiri akan menghapus pembagian kelas 1, 2, dan 3 di layanan rawat inap JKN.
Seluruh pasien dijanjikan mendapat layanan ruang rawat dengan standar minimum yang sama, mulai dari ventilasi, pencahayaan, hingga ukuran dan kapasitas ruang.
RS masih menunggu kepastian regulasi
Meski pemerintah menyatakan optimistis, sejumlah rumah sakit swasta belum siap melangkah penuh.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) Noor Arida Sofiana menyebut, implementasi KRIS sebenarnya tetap berjalan, namun regulasi teknisnya masih belum jelas.
“Kelas standar KRIS sepertinya tetap berjalan. Kami menunggu regulasinya. Yang seharusnya dilaksanakan 1 Juli, diundur sampai 31 Desember 2025,” ujar dia.
Menurut Noor, RS swasta memerlukan petunjuk teknis yang perinci sebelum melakukan renovasi ruang, terutama terkait standar ruang inap, desain teknis, serta pembiayaan.
“Kami menunggu regulasi dan juknis KRIS dari Kemenkes untuk kapan dimulai penerapannya,” kata dia.
Terkendala lahan dan anggaran renovasi
Proses transformasi ini juga dinilai tidak sederhana.
Anggota Komisi IX DPR RI Irma Suryani Chaniago, menekankan keterbatasan sumber daya rumah sakit.
“Sampai saat ini belum seluruh RS punya lahan dan anggaran untuk renovasi. Selain itu, BPJS satu kelas pasti membawa konsekuensi kenaikan dan penyesuaian tarif iuran,” kata dia.
Menurut Irma, tanpa dukungan pendanaan yang memadai, penghapusan kelas rawat inap justru bisa membebani rumah sakit, terutama RSUD dan RS swasta menengah.
Risiko penerapan KRIS
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menilai, penerapan KRIS cenderung masih dipaksakan.
Ia menilai, penghapusan kelas 1, 2, dan 3 berpotensi menimbulkan masalah struktural di pelayanan dan pembiayaan.
“Kalau RS harus merenovasi banyak ruangan untuk satu tipe layanan rawat inap, itu butuh modal besar dan waktu. Ini akan mengganggu pelayanan,” kritik dia.
Timboel juga menilai, penghapusan kelas berdampak langsung pada peserta Pekerja Penerima Upah (PPU).
Peserta kelas 1 dan 2 yang selama ini membayar lebih mahal akan kehilangan benefit nonmedisnya.
“Logikanya enggak masuk. Bayar iuran kelas 1 tapi dapat ruang yang sama dengan kelas 3. Mereka pasti turun kelas. Kalau mereka turun ke iuran Rp 35.000, itu kontraproduktif untuk pendapatan BPJS,” ujar dia.
Menurut dia, yang seharusnya diperkuat adalah pelayanan medis, bukan fasilitas nonmedis.
“Peserta paling butuh layanan medis yang layak, obat lengkap, dan tidak dipulangkan sebelum waktunya. Itu yang harus diperbaiki, bukan memaksakan satu kelas rawat inap,” kata dia.
Dampak sistem jaminan sosial nasional
Pengamat Kebijakan Publik UGM Wahyudi Kumorotomo mempertanyakan arah kebijakan penghapusan kelas ini.
Ia mengingatkan bahwa tujuan kebijakan harus sejalan dengan semangat jaminan sosial.
“Penghapusan kelas layanan RS untuk pasien BPJS belum jelas tujuannya. Kalau tujuannya agar semua orang berada di kelas paling bawah dan untuk naik kelas harus bayar lebih, itu bertentangan dengan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional,” kata dia.
Ia juga mengingatkan bahwa sistem rujukan berjenjang dan pembagian kelas layanan merupakan instrumen untuk menghindari adverse selection.
Wahyudi menilai, perbaikan tata kelola BPJS dan manajemen RS lebih mendesak dibanding sekadar menyeragamkan ruang rawat inap.
“Sistem rujukan (referral) berdasarkan jenjang layanan fasilitas kesehatan (dari Faskes primer atau Puskesmas, ke RSUD kelas D, kelas C, Kelas B, dan kelas A) bertujuan agar tidak terjadi 'adverse selection', pasien menuntut untuk langsung ke RS besar, padahal hanya sakit flu, misalnya,” kata dia.
“Ini sudah mulai bisa dilembagakan, seharusnya tidak ada lagi defisit di BPJS jika ini sudah bisa berjalan. Manajemen di RS dan tatakelola di BPJS harus terus disempurnakan sehingga mampu menjamin hak semua warga tentang kesehatan,” ujar dia.
Tantangan penerapan KRIS
Menkes Budi mengatakan, implementasi KRIS sebenarnya sudah dicanangkan sejak 2020.
Namun, dalam praktiknya, proses ini menghadapi sejumlah kendala di lapangan.
Dari 12 kriteria KRIS, beberapa hal dinilai masih sulit dipenuhi oleh sejumlah rumah sakit.
Salah satu yang paling menonjol adalah kelengkapan tempat tidur pasien.
Setiap tempat tidur, menurut standar, harus dilengkapi dengan colokan listrik, dua setop kontak, dan bel untuk memanggil perawat.
Ada sekitar 16 persen RS yang tidak memenuhi kriteria itu.
Selain itu, partisi antartempat tidur serta kepadatan ruang rawat dan kualitas tempat tidur juga disebut sebagai tantangan utama dalam penerapan KRIS.
Untuk mempercepat pemenuhan KRIS, pemerintah menerapkan skema insentif dan disinsentif secara bertahap.
Namun, menurut Budi, pendekatan ini lebih bersifat afirmatif dibandingkan sanksi langsung.
Budi berharap, melalui mekanisme tersebut, rumah sakit akan lebih terdorong untuk meningkatkan fasilitas rawat inapnya.