Periode Penting Jelang Pengesahan RUU KUHAP: Gelombang Kritik Menguat Sorot Pasal-pasal Krusial
Suasana rapat panja RUU KUHAP Komisi III DPR RI bersama pemerintah, Kamis (13/11/2025) di Gedung DPR RI.(KOMPAS.com/Tria Sutrisna)
11:24
17 November 2025

Periode Penting Jelang Pengesahan RUU KUHAP: Gelombang Kritik Menguat Sorot Pasal-pasal Krusial

Revisi Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) memasuki periode penentuan menjelang pengesahan dalam rapat paripurna DPR RI pada pekan ini.

Namun, di tengah proses yang kian dekat menuju pengambilan keputusan tingkat II, kritik tajam dari berbagai organisasi masyarakat sipil justru semakin mengemuka.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaharuan KUHAP menilai revisi KUHAP yang disepakati Komisi III DPR dan pemerintah pada 13 November 2025 tidak menunjukkan perbaikan signifikan.

Menurut koalisi, draf tersebut tidak hanya jauh dari harapan, tetapi juga berpotensi memperkuat praktik penyalahgunaan kewenangan dalam sistem peradilan pidana.

Koalisi tidak hanya menyoal masalah pasal per pasal, tetapi juga menyoroti cara pengambilan keputusan yang dinilai masih tertutup, terburu-buru, serta minim partisipasi publik.

ICJR Sebut Draf Revisi KUHAP Minim Perubahan Substansial

Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Iftitahsari menegaskan bahwa dua hari pembahasan terakhir antara pemerintah dan DPR tidak menghasilkan perubahan signifikan, padahal berbagai masalah mendasar sudah disuarakan sejak pertengahan 2025.

“Ya, sebetulnya dari 2 hari proses pembahasan kemarin memang tidak ada perubahan signifikan, dari yang kita suarakan dari bulan Juli yang lalu,” kata Iftitahsari dalam konferensi pers, Minggu (16/11/2025).

Menurut dia, perubahan dalam revisi KUHAP seharusnya fokus pada akar persoalan sistem peradilan pidana, terutama terkait penangkapan dan penahanan.

Sebab, dua instrumen upaya paksa tersebut sangat rentan disalahgunakan aparat di lapangan.

“Jadi dari draft Juli dan kemudian kita melihat apa yang berubah di 2 hari itu, sebetulnya itu tidak menjawab masalah-masalah kami utamanya yang paling utama sebetulnya soal penangkapan dan penahanan,” ujarnya.

Iftitahsari bahkan mencontohkan peristiwa demonstrasi besar pada akhir Agustus 2025 sebagai cermin nyata bahwa praktik serampangan dalam penangkapan dan penahanan masih terjadi.

“Kemarin di demo Agustus kan itu sangat clear bagaimana proses penangkapan dan penahanan itu sangat serampangan dan itu polisi, penyidik tidak punya kontrol dan itu kita harap bisa diselesaikan melalui draft RUU KUHAP ini,” ucapnya.

Dia mengaku heran mengapa pasal-pasal krusial tidak dibahas memadai, sementara pembahasan dipadatkan hanya dalam dua hari tanpa penjelasan alasan pemilihan materi.

“Kita tidak tahu juga filtering dari poin-poin yang dibahas di 2 hari itu dasarnya apa dan kenapa itu dipilih, nah itu kita tidak tahu,” kata Iftitahsari.

Menurut dia, kondisi tersebut menyebabkan tidak adanya perubahan struktural dalam mekanisme check and balances penegakan hukum.

“Padahal yang paling krusial sebetulnya di masalah penangkapan-penahanan itulah yang seharusnya kita berubah dari 40 tahun,” ucapnya.

“Jadi itu yang kita harap paling penting yang harus berubah, harusnya, tapi sayangnya itu tidak berubah,” lanjutnya.

YLBHI Sebut Kewenangan Kepolisian Makin Luas 

Di sisi lain, Wakil Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Arif Maulana menilai, draf RUU KUHAP justru memperluas kewenangan kepolisian, padahal tuntutan reformasi Polri adalah menekankan pada pembatasan sekaligus penguatan kontrol.

“Persoalannya, kita tahu bahwa tuntutan reformasi kepolisian di Indonesia itu kencang, keras, dan luas digaungkan oleh masyarakat,” ujarnya.

Arif menyebut berbagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan, seperti penyiksaan, salah tangkap, serta rekayasa kasus, masih kerap terjadi di tubuh Polri.

Oleh karena itu, RUU KUHAP semestinya menjadi instrumen pembatas, bukan justru instrumen yang memperbesar ruang diskresi aparat.

“Seharusnya yang dilakukan pemerintah dan DPR adalah membatasi kewenangan kepolisian, memperkuat pengawasan kepolisian, bukan justru menambah kewenangan kepolisian dan memperlemah pengawasan,” kata Arif.

Tidak hanya soal upaya paksa, dia juga menyoroti ketentuan yang tetap menempatkan Polri sebagai penyidik utama.

Bahkan, pengaturan soal pangkat, pendidikan, hingga sertifikasi penyidik yang sepenuhnya berada di bawah kendali Polri.

“Omon-omon reformasi Polri kalau rancangan KUHAP justru menambah kewenangan kepolisian begitu besar, mengurangi kontrol, dan memberikan diskresi yang luas kepada aparat kepolisian,” ujarnya.

Kekhawatiran juga muncul terkait disharmoni RUU KUHAP dengan undang-undang lain, terutama perkara pelanggaran HAM berat yang semestinya menjadi domain Komnas HAM.

“Tentu ini sangat bermasalah dan tidak harmoni dengan undang-undang terkait dengan HAM,” kata Arif.

Somasi Terbuka kepada Pemerintah dan DPR 

Atas dasar itu, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaharuan KUHAP melayangkan somasi terbuka kepada pemerintah, khususnya Presiden Prabowo Subianto dan juga DPR RI.

Mereka mendesak agar proses pengesahan RUU KUHAP ditunda, karena dianggap sarat manipulasi dan tidak menghadirkan partisipasi publik yang bermakna.

“Kami mengingatkan… agar proses penyusunan legislasi, khususnya Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, memastikan disusun untuk melindungi kepentingan warga negara,” ujar Arif.

Koalisi kemudian mengajukan lima tuntutan utama, mulai dari permintaan kepada Presiden Prabowo Subianto untuk menarik draf RUU KUHAP, hingga menuntut DPR membuka seluruh dokumen pembahasan, terutama hasil Panja per 13 November 2025.

Mereka juga meminta pemerintah dan DPR tidak menggunakan alasan kebutuhan pemberlakuan KUHP baru pada awal 2026 untuk mendorong percepatan pengesahan revisi KUHAP.

LBH Jakarta Siapkan Laporan ke MKD

Sementara itu, LBH Jakarta menyatakan akan melaporkan seluruh anggota Komisi III DPR RI yang terlibat dalam pembahasan RUU KUHAP ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).

Direktur LBH Jakarta Fadhil Alfathan mengatakan, proses penyusunan revisi KUHAP penuh dengan pelanggaran etik dan hukum.

“Metode proses pembahasan kemarin… adalah serangkaian pelanggaran hukum yang serius,” kata Fadhil.

Dia menyebut adanya dugaan pelanggaran sumpah jabatan, ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan, hingga pengabaian partisipasi publik. “Dugaannya sangat nyata dan sangat kental,” ujarnya.

Fadhil juga menegaskan Presiden Prabowo Subianto tidak boleh cuci tangan dan seolah menganggap hal ini menjadi persoalan di lembaga legislatif.

“Langkah minimum yang harus dilakukan adalah menarik draf yang ada,” ucapnya.

Menurut dia, penarikan draf bukan semata-mata untuk menghentikan pembahasan, tetapi agar substansi KUHAP dapat dievaluasi ulang dan disusun dengan lebih baik, tanpa meninggalkan prinsip perlindungan hak asasi manusia.

Fadhil mengingatkan, proses legislasi RUU KUHAP tidak boleh mengulangi buruknya pembuatan UU sebelumnya, misalnya Undang-Undang Cipta Kerja yang sebagian ketentuannya dibatalkan MK.

“Jadi kami khawatir KUHAP nantinya lahir dalam proses seperti itu, akan mengulangi hasil-hasil legislasi buruk yang terjadi sebelumnya,” pungkasnya.

DPR Tegaskan Pembahasan Sudah Panjang dan Mendesak

Sementara itu, Komisi III DPR RI sebelumnya menegaskan bahwa pembahasan revisi KUHAP sudah berlangsung panjang sejak Februari 2025.

Ketua Komisi III Habiburokhman menyatakan, revisi KUHAP mendesak dilakukan agar mampu menjawab perkembangan sistem peradilan pidana modern.

Keputusan membawa draf RUU KUHAP ke paripurna pekan ini pun telah disepakati bulat oleh seluruh fraksi.

“Tantangan yang dihadapi oleh sistem peradilan pidana saat ini meliputi tuntutan akan transparansi, akuntabilitas, serta perlindungan hak-hak tersangka, korban, saksi, disabilitas, perempuan, dan anak,” ujarnya.

Dia menambahkan bahwa RUU KUHAP harus merespons perkembangan teknologi informasi tanpa meninggalkan prinsip keadilan dan HAM.

“RUU KUHAP harus memastikan setiap individu yang terlibat, baik sebagai tersangka maupun korban, tetap mendapatkan perlakuan yang adil dan setara,” kata Habiburokhman.

Meski demikian, politikus Gerindra itu mengakui tidak semua masukan masyarakat dapat diakomodasi dan meminta maaf atas hal tersebut.

“Tentu kami mohon maaf bahwa tidak bisa semua masukan dari semua orang kami akomodasi di sini. Karena memang DPR memiliki keterbatasan, bahkan tidak semua keinginan kami masing-masing bisa diakomodir di sini. Inilah realitas parlemen, kita harus saling berkompromi,” pungkasnya.

Tag:  #periode #penting #jelang #pengesahan #kuhap #gelombang #kritik #menguat #sorot #pasal #pasal #krusial

KOMENTAR