Menelaah Gagasan Tidak Menahan Wanita Hamil di RUU KUHAP...
Ilustrasi penjara.(SHUTTERSTOCK/BORTN66)
06:08
17 November 2025

Menelaah Gagasan Tidak Menahan Wanita Hamil di RUU KUHAP...

Usulan agar perempuan hamil yang berstatus tersangka atau terdakwa tidak ditahan mengemuka dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP).

Gagasan ini disampaikan oleh Advokat Forum Advokat Pembaharuan Hukum Acara Pidana, Windu Wijaya, saat memberikan masukan kepada Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (10/11/2025).

Windu menilai, negara harus memberikan perlindungan khusus terhadap perempuan yang sedang hamil, terutama terkait keselamatan dan kesehatan janin.

Oleh karena itu, ia mengusulkan supaya larangan penahanan terhadap perempuan atau ibu hamil ditegaskan secara eksplisit dalam regulasi baru KUHAP.

“Kami menilai RUU KUHAP perlu memuat norma khusus mengenai larangan penahanan di rumah tahanan atau lembaga pemasyarakatan terhadap wanita hamil yang dalam status tersangka atau terdakwa,” ujar Windu.

“Rumusan yang kami usulkan adalah wanita hamil yang jadi tersangka atau terdakwa dilarang ditahan di rumah tahanan atau lembaga pemasyarakatan,” sambung dia.

Menurut Windu, apabila penahanan benar-benar diperlukan, maka bentuknya harus dibatasi hanya pada tahanan rumah atau tahanan kota.

Ia menekankan bahwa keselamatan dan kesehatan janin perlu ditempatkan sebagai prioritas negara.

“Dengan ketentuan ini, maka KUHAP memberikan pengakuan hak janin sebagai subyek hukum yang memerlukan perlindungan. Dengan demikian, ketentuan larangan wanita hamil di rumah tahanan atau lembaga pemasyarakatan akan memperkuat dimensi kemanusiaan KUHAP menjadi simbol humanisme,” ujar dia.

Windu juga menegaskan bahwa norma ini merupakan bentuk penegasan bahwa hak hidup, kesehatan, dan keselamatan janin harus diutamakan dibanding kewenangan penegak hukum dalam melakukan penahanan.

“Di mana negara bertindak semata-mata untuk menegakkan kekuasaan, tetapi juga melindungi calon manusia. Dengan prinsip ini, KUHAP akan menjadi instrumen hukum yang adil, manusiawi, dan mencerminkan karakter bangsa yang bermartabat,” imbuh dia.

Sejalan dengan prinsip HAM

Usulan ini mengundang perhatian lantaran menyentuh irisan antara kewenangan penegakan hukum, perlindungan kelompok rentan, serta pengakuan negara terhadap hak-hak reproduksi perempuan dan keselamatan janin.

Ketua Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Maria Ulfah Anshor, menilai usulan itu sejalan dengan prinsip perlindungan hak asasi manusia, khususnya hak maternitas.

Kepada Kompas.com, Maria menegaskan bahwa negara wajib memberikan perlindungan penuh terhadap perempuan hamil dalam proses peradilan.

“Komnas Perempuan berpandangan bahwa perempuan memiliki hak maternitas yang harus dilindungi oleh negara,” ujar Maria.

Maria menjelaskan, hak maternitas melekat pada perempuan karena fungsi reproduksinya: mulai dari menstruasi, hamil, melahirkan, hingga menyusui.

Oleh karena itu, pemenuhannya menyangkut kepentingan sosial yang lebih luas.

“Fungsi ini bukan hanya bersifat personal, melainkan juga sosial karena berkait langsung dengan keberlangsungan kehidupan manusia dan bangsa. Pemenuhan hak maternitas merupakan salah satu pemenuhan prinsip keadilan substantif berbasis gender,” kata Maria.

“Karena itu, pemenuhan dan pelindungan hak maternitas adalah tanggung jawab semua pihak, terutama negara,” ucap dia.

Maria menggarisbawahi bahwa prinsip perlindungan bagi perempuan hamil telah ditegaskan dalam berbagai instrumen hukum.

Di antaranya Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita atau Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW).

“Pasal 4 ayat (2) CEDAW menyatakan tindakan afirmatif dalam ‘pengambilan tindakan-tindakan khusus oleh negara pihak termasuk tindakan-tindakan yang ditujukan untuk melindungi kehamilan, tidak boleh dianggap sebagai diskriminasi’,” kata Maria.

Tidak hanya itu, Ketua Komnas Perempuan ini juga menyinggung Konvenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya atau International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR).

ICESCR adalah perjanjian internasional HAM yang mengatur hak-hak dasar seperti hak atas kesehatan, hak atas pendidikan, hak atas pekerjaan, hak atas standar hidup layak, dan hak atas jaminan sosial.

Indonesia meratifikasinya lewat UU Nomor 11 Tahun 2005.

“Pasal 10 ayat (2) Kovenan ini menyebutkan ‘Perlindungan khusus harus diberikan kepada para ibu selama jangka waktu yang wajar sebelum dan sesudah melahirkan’,” tutur Maria.

Maria menekankan bahwa hak maternitas terkait langsung dengan hak fundamental lainnya, terutama hak atas kesehatan dan keselamatan perempuan.

“Perempuan hamil yang tersangka secara hukum berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dan mendapatkan perlindungan khusus terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi perempuan,” ujar dia.

Maria menambahkan, pandangan serupa juga hidup dalam hukum Islam.

Pelaksanaan hukuman terhadap perempuan hamil umumnya ditunda demi keselamatan ibu dan janin.

“Pelaksanaan hukuman bagi perempuan hamil menurut pandangan hukum Islam adalah dilakukan penundaan atas hukuman, karena dikhawatirkan hukuman yang dijalani dapat membahayakan ibu dan janin dalam kandungannya,” kata Maria.

Prinsip hukum acara pidana

Sementara, pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Albert Aries, menilai usulan larangan penahanan bagi perempuan hamil sejalan dengan prinsip dasar hukum acara pidana.

Dalam perbincangan bersama Kompas.com, ia menyebut bahwa RUU KUHAP sebenarnya telah menunjukkan perhatian terhadap perlindungan perempuan yang berhadapan dengan hukum.

“Sebelumnya dalam Pasal 138 RUU KUHAP terdapat pengaturan mengenai Hak Perempuan yang berhadapan dengan hukum. Salah satunya adalah mendapatkan pertimbangan situasi dan kepentingan dari kerugian yang tidak proporsional akibat ketidaksetaraan gender,” kata Albert.

Albert menekankan, penahanan merupakan upaya paksa (dwangmiddelen) yang tidak harus selalu diterapkan terhadap tersangka.

Saat ini, ada sejumlah syarat subjektif penahanan yang berlaku, yakni apabila tersangka mengabaikan panggilan penyidik dua kali berturut-turut tanpa alasan sah atau berupaya melarikan diri.

Syarat lainnya adalah diduga berupaya merusak atau menghilangkan barang bukti, melakukan ulang tindak pidana; dan/atau melaporkan ancaman keselamatannya atas permintaan atau persetujuan tersangka atau terdakwa.

Albert mengingatkan agar ruang abu-abu dalam syarat tersebut diminimalkan demi mencegah penyalahgunaan kewenangan. 

"Syarat subjektif penahanan, seharusnya ruang grey area-nya diminimalisir dalam RUU KUHAP,” ujar dia.

Albert berpandangan, kondisi kerentanan perempuan hamil seharusnya diperhitungkan dalam setiap tindakan upaya paksa.

Oleh sebab itu, ia menilai momentum pembaruan RUU KUHAP harus dimanfaatkan untuk memastikan perlindungan menyeluruh bagi kelompok rentan, termasuk perempuan hamil.

“Dalam kondisi tertentu, misalnya terhadap wanita hamil yang ditetapkan sebagai tersangka, maka tidak dilakukan penahanan terhadap wanita hamil tersebut merupakan bentuk penghormatan terhadap hak-hak hukum dari perempuan yang berhadapan dengan hukum dan juga dikedepankannya aspek kemanusiaan dalam pelaksanaan upaya paksa,” kata Albert.

Tag:  #menelaah #gagasan #tidak #menahan #wanita #hamil #kuhap

KOMENTAR