Ada 40 Poin Masukan Masyarakat untuk RUU KUHAP, Sebagian Besar Diakomodasi
- Wakil Menteri Hukum (Wamenkum) Edward Omar Sharif Hiariej mengungkap, berbagai kelompok masyarakat memberi masukan dalam pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP).
Setidaknya terdapat 40 poin masukan dari masyarakat, di mana sebagian besar diakomodasi dalam Kitab Hukum Acara Pidana itu.
"Kita bahasnya terus terang ada 40 item masukan masyarakat yang itu sebagian besar kita akomodasi di dalam RUU KUHAP ini," ujar pria yang akrab disapa Eddy itu, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (12/11/2025).
Lantas, apa saja poin usulan dari masyarakat yang akan masuk dalam beleid baru RUU KUHAP?
Eddy pun mengungkap sejumlah poin dari usulan masyarakat terkait RUU KUHAP. Pertama soal penguatan perlindungan bagi penyandang disabilitas dan kelompok rentan seperti anak, perempuan, dan ibu hamil.
RUU KUHAP juga memasukkan usulan agar proses hukum didorong lebih adil dan manusiawi terhadap kelompok rentan.
Lanjutnya, RUU KUHAP juga mensinergikan dengan Pasal 25 ayat (4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Di mana nilai pembuktian saksi penyandang disabilitas kini dipastikan memiliki kekuatan hukum yang sama dengan saksi lainnya.
"Kekuatan pembuktian seorang saksi penyandang disabilitas mempunyai kekuatan yang sama dengan saksi lainnya," ujar Edward.
Transparansi dalam proses penyidikan juga menjadi perhatian khusus dalam pembahasan RUU KUHAP, di mana Komisi III DPR dan pemerintah bersepakat tentang penggunaan kamera pengawas.
Di samping itu, tersangka juga wajib didampingi advokat selama pemeriksaan, dan pengacara berhak mengajukan keberatan yang kemudian akan dicatat dalam berkas perkara.
"Pada saat penyidikan itu semua harus menggunakan kamera pengawas sehingga bisa terpantau dan transparan," ujar Eddy.
RUU KUHAP juga akan mengatur mekanisme keadilan restoratif atau restorative justice yang dapat diterapkan mulai dari penyidikan hingga penuntutan.
"Mekanisme restorative justice itu bisa pada setiap tahap dan kemudian nanti akan ada penetapan pengadilan," ujar Eddy.
Sorot Kualitas Pembahasan
Sebagai informasi, RUU KUHAP adalah salah satu prioritas DPR dan telah ditetapkan sebagai Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2025.
DPR dan pemerintah menargetkan RUU KUHAP dapat disahkan sebelum 2026, karena akan bersinggungan dengan penerapan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) pun mengkritik Komisi III DPR dan pemerintah yang telah selesai membahas DIM dari RUU KUHAP hanya dalam dua hari.
Padahal, DIM RUU KUHAP memuat setidaknya 1.676 poin.
"Bagi kami ini menunjukan pengabaian terhadap prinsip penyusunan undang-undang yang benar, dan jelas sekali berdampak kualitas pembahasan suatu undang-undang yang akan berdampak terhadap publik," ujar Ketua Umum YLBHI, M Isnur dalam keterangan tertulis, Selasa (15/7/2025).
Kilatnya pembahasan RUU KUHAP semakin terlihat setelah DPR menyepakati draf RUU KUHAP versi Komisi III pada Maret 2025, padahal draf awalnya tiba-tiba muncul pada Februari 2025.
"Begitu juga ketika proses penyusunan daftar isian masalah versi pemerintah, beberapa akademisi dan ahli yang dilibatkan dalam penyusunan sebagai drafter mengakui hanya ada pertemuan dua kali dan belum membahas draf dan bagaimana pengaturan RKUHAP ini, mereka mengakui hanya sebagai pajangan," ujar Isnur.
Di samping itu, pembahasan RUU KUHAP yang dilakukan Komisi III dan pemerintah tidak menyentuh substansi persoalan hukum yang terjadi di lapangan.
RUU KUHAP dinilainya tidak memberikan jaminan terhadap sejumlah persoalan, seperti sistem peradilan pidana dalam kasus salah tangkap, kekerasan atau penyiksaan, undue delay dan kriminalisasi, serta pembatasan akses bantuan hukum.
Sebaliknya, Komisi III justru memperluas kewenangan kepolisian untuk melakukan penangkapan, penahanan, penyadapan, hingga penggeledahan.
"Mirisnya subjektif polisi dalam upaya paksa tidak didukung dengan mekanisme pengawasan yang ketat oleh lembaga eksternal yang independen. Kerangka hukum yang melegitimasi tindakan subjektif polisi sangat terbuka terjadinya penyalahgunaan wewenang," ujar Isnur.
Tag: #poin #masukan #masyarakat #untuk #kuhap #sebagian #besar #diakomodasi