Reformasi Polri: Tantangan Pertobatan Institusional
REFORMASI kepolisian masih menjadi tuntutan mendesak masyarakat. Publik menagih agar Polri benar-benar hadir sebagai bagian dari rakyat yang mengabdi sepenuhnya kepada bangsa dan negara, bukan terhadap kekuasaan.
Idealisme ini mulia, tetapi realitas di lapangan menunjukkan jurang yang lebar antara cita dan fakta.
Di balik slogan normatif “Polri untuk rakyat”, bayang-bayang ketidakpercayaan publik belum juga sirna.
Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai kasus kekerasan terhadap warga sipil, perilaku amoral oknum, penembakan antaranggota, hingga kematian mencurigakan seperti kasus Brigadir Nurhadi di Gili Trawangan terus mencoreng wajah institusi.
Tragedi yang menimpa Affan Kurniawan pun menegaskan bahwa reformasi kepolisian tidak lagi bisa ditunda.
Dari perspektif hukum dan kebijakan publik, peristiwa-peristiwa tersebut mencerminkan bahwa reformasi Polri masih bersifat administratif, belum menyentuh akar struktural dan kultural.
Padahal, Polri yang profesional dan berintegritas hanya dapat dibangun melalui transformasi menyeluruh: dengan sistem pengawasan, rekrutmen, dan akuntabilitas yang benar-benar transparan serta terukur.
Apalagi, yang menjadi paradoks adalah di tengah sorotan publik yang begitu tajam, anggaran Polri justru terus melonjak dalam lima tahun terakhir.
Salah satu pos besar digunakan untuk pengadaan alat pengamanan massa, ironi tersendiri ketika peralatan represif justru meningkat di saat kepercayaan publik menurun.
Kecenderungan ini kian disorot setelah Polri tercatat mengajukan tambahan anggaran sebesar Rp 63,7 triliun dalam RAPBN 2026, sehingga total anggarannya mencapai Rp 173,3 triliun (Katadata, 15/8/2025).
Angka yang fantastis ini tentu tak bisa dibaca sekadar sebagai “biaya operasional.” Dalam kacamata teknokratik, pertanyaannya bukan hanya berapa besar uang negara digelontorkan, melainkan untuk apa dan apa hasilnya.
Apakah kenaikan anggaran tersebut diikuti dengan peningkatan kualitas pelayanan publik, penurunan angka pelanggaran etik, serta membaiknya akuntabilitas kelembagaan?
Apakah Polri memiliki peta jalan reformasi yang terukur, indikator kinerja yang dapat diaudit publik, dan komitmen transparansi yang dapat diverifikasi?
Maka, yang kita butuhkan adalah Polri yang bertobat secara institusional. Siapapun orangnya dalam sistem yang buruk, maka akan melahirkan kepemimpinan yang buruk juga.
Selama sistem dalam institusi kepolisian tidak benar-benar direformasi, masih koruptif, masih feodal, maka selama itu juga aparat kepolisian melahirkan tindakan-tindakan yang tidak disukai publik.
Meminjam pernyataan dari dari W. Edwards Deming: “Bad system beats good people every time.”
Dalam sistem yang buruk, siapapun pemimpinnya akan terjerumus ke dalam pola lama: koruptif, feodal, dan represif.
Oleh karena itu, solusi bukanlah sekadar ganti Kapolri, melainkan pertobatan institusional. Reformasi Polri harus dimulai dari dalam.
Reformasi kepolisian tidak dapat hanya berhenti pada slogan atau pergantian figur di pucuk pimpinan.
Perubahan sejati menuntut reposisi kelembagaan yang menyentuh akar persoalan, yakni struktur, kultur, dan tata kelola anggaran. Dalam kerangka teknokratik, reformasi Polri harus dimulai dari pembenahan internal yang bersifat sistemik dan terukur.
Komisi Percepatan Reformasi Polri
Pelantikan Komisi Percepatan Reformasi Polri oleh Presiden Prabowo Subianto menandai upaya pemerintah memperkuat supremasi hukum dan memulihkan kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian.
Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 122/P Tahun 2025, komisi ini beranggotakan 10 orang, dengan Jimly Asshiddiqie sebagai ketua, dan diharapkan menjadi motor perubahan menuju tata kelola kepolisian yang profesional, akuntabel, serta berintegritas.
Namun, substansi persoalan reformasi Polri justru muncul dari struktur internal komisi itu sendiri.
Dominasi anggota berlatar belakang mantan pejabat Polri mengindikasikan terbatasnya pandangan kritis eksternal yang dibutuhkan untuk melakukan reformasi menyeluruh.
Komposisi seperti ini menimbulkan kekhawatiran bahwa upaya reformasi hanya akan bersifat kosmetik, bukan transformatif.
Selain itu, adanya pejabat aktif dalam kabinet yang merangkap jabatan sebagai anggota komisi menimbulkan pertanyaan serius tentang independensi dan efektivitas lembaga ini.
Bagaimana mungkin komisi dapat bekerja objektif dan memberikan rekomendasi substantif terhadap Polri bila sebagian anggotanya masih memiliki kedekatan struktural dan politik dengan pemerintah maupun kepolisian?
Lebih problematik lagi, keikutsertaan Kapolri dalam struktur komisi menimbulkan dilema etik dan logis.
Jika reformasi ditujukan untuk mengevaluasi, memperbaiki, bahkan mungkin mengoreksi kelemahan institusional Polri, maka kehadiran Kapolri di dalam struktur komisi justru berpotensi menghambat objektivitas dan ruang kritik.
Reformasi sejati membutuhkan jarak institusional, bukan keterlibatan langsung pihak yang menjadi objek reformasi.
Padahal, ekspektasi publik sejak awal rencana dibentuknya komisi ini adalah menanti bukan hanya seremonial gebrakan dari komisi ini, melainkan langkah-langkah konkret yang menjawab krisis kepercayaan terhadap kepolisian.
Komisi ini seharusnya berfungsi sebagai agen independen pembaruan, bukan sekadar forum koordinatif yang mengulang retorika reformasi tanpa arah.
Sementara itu, Polri melalui jalur internal sudah lebih dahulu membentuk Tim Transformasi Reformasi Polri lewat surat perintah Sprin/2749/IX/TUK.2.1./2025.
Tim ini bekerja dari dalam, fokus pada pembenahan kelembagaan, modernisasi manajemen, dan peningkatan kualitas SDM.
Jika ditilik lebih dalam, keduanya tidak berada pada jalur yang berseberangan atau saling menegasikan.
Justru, keberadaan Komisi dan Tim Internal Reformasi Polri ini berpotensi saling melengkapi: Komisi yang menghimpun dan menyusun rekomendasi strategis, dan Tim Transformasi sebagai pelaksana transformasi internal Polri.
Namun, persoalan krusial yang muncul adalah status kelembagaan dari Komisi Reformasi Polri itu sendiri.
Bagaimana posisi hukumnya? Apakah rekomendasi yang dihasilkan dapat mengikat, atau sekadar menjadi catatan normatif yang rawan diabaikan?
Artinya, tantangan yang akan dihadapi Komisi Reformasi Polri bukan hanya soal teknis penyusunan rekomendasi, melainkan juga kepastian bahwa produk kerjanya memiliki daya ikat terhadap Polri.
Ada setidaknya tiga aspek kritis yang perlu diperhatikan. Pertama, status kelembagaan Komisi Percepatan Reformasi harus diperjelas, idealnya melalui payung hukum yang kuat, misalnya Peraturan Presiden, agar tidak hanya bergantung pada political will.
Kedua, kapasitas rekomendasi kebijakan yang dihasilkan harus berorientasi pada perubahan struktural, mulai dari revisi UU Kepolisian yang sudah lama dituntut, pembenahan regulasi internal terkait kode etik dan sistem promosi, hingga desain mekanisme pengawasan eksternal yang lebih independen.
Ketiga, daya paksa rekomendasi terhadap Polri perlu diperkuat melalui mekanisme evaluasi kinerja transparan, sehingga publik dapat mengawasi sejauh mana Polri sungguh-sungguh melaksanakan perbaikan.
Belajar dari kegagalan
Pengalaman dari berbagai penugasan sebelumnya, mulai dari Tim Percepatan Reformasi Hukum bentukan Kemenko Polhukam era Mahfud MD, beragam Satgas bentukan pemerintah, hingga Panitia Khusus di DPR menunjukkan pola berulang yang perlu dievaluasi serius.
Political will memang kerap hadir dalam pembentukan kelembagaan baru. Namun, kelemahan utama terletak pada ketiadaan desain kelembagaan yang kuat: mandat yang jelas, kewenangan yang mengikat, serta mekanisme tindak lanjut yang konkret.
Akibatnya, rekomendasi yang dihasilkan hanya berhenti pada dokumen formal tanpa daya ikat, sementara forum-forum rapat yang digelar lebih banyak menguras anggaran birokratis daripada mendorong perubahan substantif.
Maka, sebagaimana yang dijelaskan Francis Fukuyama dalam bukunya yang berjudul: “State-Building: Governance and World Order in the 21st Century,” mengingatkan kita bahwa perluasan peran negara tanpa peningkatan kapasitas institusi hanya akan melahirkan korupsi dan inefisiensi.
Pesan ini sangat relevan bagi Indonesia hari ini. Jika Komisi Percepatan Reformasi Polri yang sejatinya bersifat ad hoc hanya diperlakukan sebagai simbol politik, tanpa penghormatan kelembagaan yang memadai, maka reformasi Polri tidak akan benar-benar menyentuh akar persoalan.
Komisi ini berpotensi sekadar menjadi forum rekomendasi tanpa daya paksa, sehingga gagal mendorong transformasi substansial.
Oleh karena itu, Komisi Percepatan Reformasi Polri harus diorkestrasi sebagai penugasan strategis langsung dari Presiden Prabowo Subianto, bukan sekadar unit bersifat konsultatif.
Tugas dan rekomendasinya perlu dijadikan guiding framework yang mengikat Polri dalam menata ulang kewenangan, memperkuat mekanisme pengawasan, dan menegakkan akuntabilitas internal.
Implementasi akhirnya tetap harus dijalankan oleh Polri, tetapi dengan rambu dan arah yang jelas dari Komisi Percepatan Reformasi Polri.
Komisi Percepatan Reformasi Polri memang telah resmi dibentuk, tapi struktur dan komposisi yang ada saat ini masih menyisakan rasa ‘hopeless’ dan pesimisme institusional.
Harapan publik akan reformasi menyeluruh bisa berubah menjadi skeptisisme bila komisi ini terjebak dalam logika administratif ketimbang perubahan substantif.
Sekali lagi, belajarlah dari banyaknya kegagalan kelembagaan kita, begitu banyak kelembagaan dan fungsi negara, tapi prematur ketika in action di masyarakat.
Tag: #reformasi #polri #tantangan #pertobatan #institusional