Korupsi Kepala Daerah Mengkhianati Otonomi Daerah
Gubernur Riau Abdul Wahid (tengah), Tenaga Ahli Gubernur Riau Dani M Nursalam (kiri), dan Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Provinsi Riau M Arief Setiawan (kanan) mengenakan rompi tahanan usai menjalani pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (5/11/2025). KPK menahan tiga tersangka kasus dugaan korupsi dalam bentuk pemerasan di lingkungan Pemprov Riau tahun anggaran 2025 dan menyita uang se
06:02
7 November 2025

Korupsi Kepala Daerah Mengkhianati Otonomi Daerah

KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menetapkan seorang kepala daerah sebagai tersangka. Kali ini, Gubernur Riau Abdul Wahid diduga menerima uang Rp 2,25 miliar dari praktik pemerasan terhadap enam Kepala UPT Dinas PUPRPKPP Riau.

Uang itu disebut sebagai “jatah preman” atas penambahan anggaran proyek jalan dan jembatan yang nilainya melonjak dari Rp 71 miliar menjadi Rp 177 miliar.

Kasus ini menjadi ironi, sebab dalam dua dekade terakhir, Riau telah berulang kali menjadi panggung korupsi kepala daerah.

Fenomena seperti ini bukan sekadar kebetulan atau nasib apes suatu provinsi. Ini adalah persoalan sistemik yang menahun di banyak pemerintah daerah di Indonesia.

Sejak Pilkada langsung digelar tahun 2005, sudah 39 gubernur di Indonesia terjerat kasus korupsi.

Angka ini menggambarkan betapa jabatan kepala daerah telah lama terperangkap dalam jebakan politik berbiaya tinggi.

Biaya kampanye, mahar partai, ongkos saksi, belanja tim sukses, dan beli suara pemilih yang dikeluarkan kandidat, seringkali berubah menjadi “utang politik” yang harus dilunasi rakyat setelah ia memangku jabatan.

Ketika kekuasaan diperoleh melalui transaksi, kebijakan pemda menjadi alat pengembalian modal.

Pengadaan barang dan jasa—khususnya proyek infrastruktur—menjadi ladang paling subur bagi praktik ini.

Kepala daerah tidak jarang menggunakan kewenangan administratif untuk menekan kontraktor atau pejabat teknis di dinas, agar setoran mengalir sesuai kehendaknya.

Di titik inilah demokrasi lokal kehilangan maknanya: suara rakyat dikalahkan oleh logika investasi politik.

Sebenarnya, banyak kepala daerah memahami ajaran agama dan nilai-nilai adat. Riau, misalnya, dikenal sebagai daerah religius dan menjunjung tinggi budaya Melayu.

Namun, nilai-nilai luhur itu seakan terpisah dari perilaku kekuasaan. Integritas menjadi jargon moral tanpa pijakan etis dalam tindakan. Adat dan agama berhenti di seremonial, bukan di praktik pemerintahan.

Realitas ini menunjukkan bahwa akar persoalan korupsi kepala daerah tidak hanya pada individu, melainkan pada struktur politik dan tata kelola pemerintahan yang memungkinkan penyimpangan.

Demokrasi memang telah berjalan secara prosedural, tetapi masih rapuh secara substansial. Ketika sistem merit dan pengawasan tidak berjalan kuat, maka otonomi daerah berubah menjadi ruang bagi raja-raja kecil yang kebal nilai moral dan hukum.

Penyakit lama ini tidak akan sembuh hanya dengan penangkapan. KPK boleh bekerja sekeras mungkin, tetapi tanpa reformasi sistem politik—terutama pembiayaan Pilkada—korupsi akan terus berulang dalam pola yang sama.

Pilkada yang mahal harus segera direvisi melalui bantuan dana partai politik yang memadai dari negara.

Partai politik juga harus menjalankan fungsi kaderisasi secara serius, bukan sekadar menjual tiket kekuasaan.

Bahkan, sistem pilkada langsung bisa ditata ulang dibuat asimetris, misalnya. Sebagian daerah tetap langsung, dan sebagian lagi melalui pemilihan DPRD, seperti di Tanah Papua.

Otonomi daerah semestinya menjadi jalan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, bukan arena memperkaya diri.

Kepala daerah yang memimpin dengan integritas seharusnya menjadikan kepercayaan publik sebagai modal utama, bukan uang hasil ijon politik.

Korupsi kepala daerah sejatinya bukan sekadar kejahatan keuangan, melainkan pengkhianatan terhadap cita-cita reformasi dan keadilan sosial.

Selama biaya politik dibiarkan mahal, selama kekuasaan dianggap investasi pribadi, selama masyarakat masih sebagai pelengkap penderita, maka kasus Abdul Wahid hanya akan menjadi bab kecil dalam kisah panjang pengkhianatan terhadap otonomi daerah.

Tag:  #korupsi #kepala #daerah #mengkhianati #otonomi #daerah

KOMENTAR