Soeharto dan Gelar Pahlawan: Berjasa tapi Tetap Tak Pantas
Soeharto (foto paling kanan) sedang menghadiri pemakaman para perwira TNI AD yang dibunuh, 5 Oktober 1965(Department of Information of the Republic of Indonesia)
00:52
5 November 2025

Soeharto dan Gelar Pahlawan: Berjasa tapi Tetap Tak Pantas

- Penolakan demi penolakan soal pemberian gelar pahlawan terhadap mantan presiden kedua RI, Soeharto terus digaungkan oleh berbagai elemen masyarakat.

Akademisi dan Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Romo Franz Magnis-Suseno, SJ mengakui, Soeharto merupakan sosok yang berperan penting membawa Indonesia keluar dari krisis ekonomi pada akhir masa Demokrasi Terpimpin serta berhasil menstabilkan kondisi politik dan ekonomi di awal pemerintahan Orde Baru.

“Tidak disangkal sama sekali bahwa Soeharto adalah seorang presiden yang hebat. Soeharto yang membawa Indonesia keluar dari krisis ekonomi setelah tahun-tahun terakhir Demokrasi Terpimpin,” ujar Romo Magnis di Jakarta, Senin (4/11/2025).

Ia juga mengakui, di masa Soeharto, Indonesia berhasil mendapatkan pengakuan internasional dan memainkan peran penting di kawasan Asia Tenggara.

“Saya kira sangat penting bahwa beliau sejak semula menolak konfrontasi dengan Malaysia, dan sebaliknya menjadikan Indonesia bagian dari ASEAN yang bersahabat, bukan menakutkan,” kata Magnis.

Namun, meskipun mendiang Presiden Soeharto memiliki sejumlah jasa besar bagi bangsa, Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menilai hal tersebut tidak cukup untuk menjadikannya sebagai pahlawan nasional.

“Jadi, saya kira terlepas dari apapun jasanya, seperti disebut secara bijaksana oleh Romo Magnis, sangatlah tidak pantas Soeharto menjadi pahlawan nasional,” lanjut Usman.

Pelanggaran HAM berat dan korupsi sistematis

Romo Magnis menilai, rekam jejak kelam Soeharto di bidang hak asasi manusia dan korupsi sistematis membuatnya tidak pantas dianugerahi gelar pahlawan nasional.

“Menjadi seorang pahlawan nasional dituntut lebih. Dituntut bahwa ia tidak melakukan hal-hal yang jelas melanggar etika dan mungkin juga jahat,” tegasnya.

Magnis menyoroti tanggung jawab Soeharto atas pembunuhan massal 1965–1966, yang disebut sebagai salah satu tragedi genosida terbesar di dunia pada abad ke-20.

“Tidak bisa disangkal bahwa Soeharto paling bertanggung jawab atas genosida setelah 1965–1966. Antara 800.000 sampai 3 juta orang menjadi korban. Itu mengerikan sekali,” ujarnya.

Selain pelanggaran HAM, Romo Magnis juga menilai Soeharto telah melakukan korupsi besar-besaran selama 32 tahun berkuasa.

“Dia memperkaya keluarga, memperkaya orang-orang dekatnya, dan dirinya sendiri. Dari seorang pahlawan nasional diharapkan ia tanpa pamrih memajukan bangsa, bukan mengambil keuntungan pribadi,” katanya menegaskan.

Nilai kepahlawanan harus dijaga

Amnesty International menilai, pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto bukan hanya bentuk pengaburan sejarah, tetapi juga pengkhianatan terhadap nilai-nilai reformasi dan demokrasi.

“Pemberian gelar itu merupakan penghinaan terhadap para korban pelanggaran HAM, pengkhianatan terhadap semangat reformasi, dan berpotensi menjadi preseden buruk bagi bangsa ini,” tegas Usman Hamid.

Ia juga mengingatkan potensi benturan kepentingan politik, mengingat Soeharto merupakan mertua Presiden saat ini.

“Langkah tersebut bisa dimaknai sebagai pertanda matinya reformasi di Indonesia,” tambahnya.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Salemba, Jakarta, Senin (21/7/2025).KOMPAS.com/HARYANTI PUSPA SARI Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Salemba, Jakarta, Senin (21/7/2025).

Ketua Komnas HAM 1996-1998/Jaksa Agung 1999-2001 Marzuki Darusman menilai, rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto merupakan bentuk pengabayan negara terhadap sejarah pelanggaran HAM yang berat dan belum terselesaikan sejak masa Orde Baru.

“Masalah-masalah yang bersangkutan dengan pelanggaran hak asasi manusia berat yang belum pernah diselesaikan sejak tahun 1965 dengan serangkaian peristiwa kekerasan yang terjadi dalam masa Orde Baru,” ujar Marzuki.

Ia juga menyoroti sikap Presiden Prabowo Subianto yang dinilai saat ini yang kurang peka terhadap aspirasi publik di dalam negeri.

“Kita punya Presiden yang sering ke luar negeri berbicara dengan orang-orang luar negeri, banyak memberi waktu kepada pemimpin-pemimpin luar negeri, tetapi tidak banyak berbicara dengan pemimpin bangsanya sendiri,” kata Marzuki.

Salah satu penggugat, Ketua Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) 1998 Marzuki Darusman usai menjalani sidang perdana gugatan PTUN, Kamis (18/9/2025).KOMPAS.com/Febryan Kevin Salah satu penggugat, Ketua Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) 1998 Marzuki Darusman usai menjalani sidang perdana gugatan PTUN, Kamis (18/9/2025).

“Presiden yang mengetahui kepentingan luar negeri, tetapi kalau ada protes di dalam negeri mengatakan bahwa ini campur tangan luar negeri,” lanjut Marzuki.

Dia juga menyayangkan jika pemerintah benar-benar menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto, meski banyak kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang belum diselesaikan, termasuk peristiwa pasca-1965 dan berbagai kekerasan di masa Orde Baru.

“Kalau sampai Presiden Soeharto dinyatakan sebagai pahlawan nasional, di situ kita tarik garis. Pada hari ini itulah yang menjadi pertanda dari sikap kita ini,” tegasnya.

“Jika Presiden Soeharto dianugerahkan gelar Pahlawan Nasional maka itu adalah pengabayan dan ketidakpekaan yang monumental dari negara ini terhadap pelanggaran hak-hak azali,” katanya.

Lebih lanjut, Marzuki menyinggung TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 yang hingga kini masih berlaku dan menyebut Soeharto terkait dengan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme selama 30 tahun masa kekuasaannya.

“Tidak kurang pentingnyalah bahwa TAP XI MPR yang masih berlaku notabene menyatakan dengan jelas di situ Presiden Soeharto dalam kaitan dengan korupsi masif selama 30 tahun yang perlu diproses dan diadili hingga hari ini. Agar supaya jelas bagi masyarakat, TAP MPR itu belum pernah dicabut,” jelasnya.

Alasan penolakan pemberian gelar pahlawan untuk Soeharto

Romo Magnis menambahkan bahwa gelar pahlawan nasional bukanlah penghargaan administratif atau simbol politik, melainkan pengakuan moral tertinggi dari bangsa kepada sosok yang benar-benar berkorban tanpa pamrih demi rakyat.

“Salah satu alasan mengapa Soeharto tidak boleh menjadi pahlawan adalah bahwa dia melakukan korupsi besar-besaran. Dia memperkaya keluarga, dia memperkaya orang-orang dekatnya, memperkaya dengan dirinya sendiri,” ujar Romo Magnis.

Menurut Amnesty International, terdapat tiga alasan utama penolakan gelar pahlawan untuk Soeharto. Pertama, masa pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto dinilai sarat pelanggaran berat hak asasi manusia yang belum terselesaikan hingga kini.

“Periode kediktatoran Soeharto adalah periode politik yang berdarah, diwarnai represi terhadap mereka yang dianggap komunis, mahasiswa, dan kelompok kritis seperti tragedi Tanjung Priok, Talang Sari, hingga penembakan misterius. Hingga kini para korban belum mendapat keadilan,” ujar Usman Hamid.

Guru Besar Filsafat STF Driyarkara, Franz Magnis Suseno dalam konferensi pers Gerakan Nurani Bangsa bertemakan pesan kemerdekaan, di Galeri Nasional, Jakarta, Kamis (14/8/2025).KOMPAS.com/NICHOLAS RYAN ADITYA Guru Besar Filsafat STF Driyarkara, Franz Magnis Suseno dalam konferensi pers Gerakan Nurani Bangsa bertemakan pesan kemerdekaan, di Galeri Nasional, Jakarta, Kamis (14/8/2025).

Kedua, Usman menyebut KKN merajalela selama 32 tahun pemerintahan Soeharto, yang mengakibatkan kekayaan negara hanya dikuasai segelintir kelompok di lingkaran kekuasaan.

“Transparency International bahkan pernah menempatkan Soeharto sebagai salah satu presiden paling korup di dunia,” katanya.

Ketiga, Soeharto dianggap membungkam kebebasan berpikir dan berekspresi. Banyak intelektual, seniman, dan pemikir kritis yang menjadi korban represi politik, termasuk sastrawan seperti Hersri Setiawan.

“Matinya kebebasan berpikir dan ide-ide kritis di masa Soeharto telah menghambat lahirnya generasi pemikir besar Indonesia,” ujar Usman.

Disinyalir ada muatan politik

Marzuki juga menilai, proses pengusulan gelar pahlawan kepada Soeharto kali ini sarat dengan muatan politik dan kepentingan pribadi.

“Yang sudah beberapa tahun terakhir ini diajukan terus-menerus kepada Dewan Gelar semasa Presiden yang lalu ditolak setiap kali. Dan pada hari ini kita menyaksikan suatu upaya untuk melakukan satu manuver politik agar supaya akhirnya bisa diloloskan,” tegas Marzuki.

Tag:  #soeharto #gelar #pahlawan #berjasa #tapi #tetap #pantas

KOMENTAR