Progresif Gender Putusan MK Demi Suara Perempuan di Parlemen Senayan
Ilustrasi DPR. Cara hitung jatah kursi parpol di DPR dan DPRD dalam Pemilu 2024.(KOMPAS/ALIF ICHWAN)
10:10
31 Oktober 2025

Progresif Gender Putusan MK Demi Suara Perempuan di Parlemen Senayan

- Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Koalisi Perempuan Indonesia, dan Titi Anggraini terkait keterwakilan perempuan dalam alat kelengkapan dewan (AKD) di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Dalam putusan 169/PUU-XXII/2024 yang dibacakan Kamis (30/10/2025) di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, seluruh AKD diminta mengakomodir keterwakilan perempuan.

AKD tersebut adalah komisi-komisi di DPR, Badan Musyawarah (Bamus), panitia khusus (Pansus), Badan Legislasi (Baleg), Badan Anggaran (Banggar), Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP), Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), dan Badan Urusan Rumah Tangga (BURT).

Tak hanya pada tataran keanggotaan di setiap AKD, MK juga menekankan, keterwakilan perempuan juga harus tercermin dalam pimpinan setiap AKD.

Setidaknya, harus ada 30 persen representasi perempuan pada setiap pimpinan AKD tersebut.

Ada sembilan pasal yang diubah dalam Undang-Undang MPR, DPR, DPRD dan DPD atau UU MD3 tersebut.

Pasal tersebut adalah 108 ayat 3, Pasal 114 ayat 3, Pasal 90 ayat 2, Pasal 96 ayat 2, Pasal 103 ayat 2, Pasal 120 ayat 1, Pasal 151 ayat 2, dan Pasal 157 ayat 1 UU MD3 Tahun 2014, dan Pasal 427E ayat 1 perubahan UU MD3 tahun 2018.

Alasan MK kabulkan permohonan

Dalam pertimbangan hukumnya, MK menilai kebijakan afirmatif untuk kelompok perempuan menjadi kesepakatan nasional untuk memberikan jaminan pemenuhan hak asasi manusia yang lebih komperhensif.

Karena faktanya, meskipun perbandingan jumlah penduduk antara perempuan dan laki-laki relatif berimbang, namun perempuan jauh tertinggal dibandingkan dengan laki-laki pada hampir semua penyelenggara negara.

Fakta tersebut membuat negara harus memberikan perlakuan khusus untuk kelompok perempuan.

Dasar tersebut menjadi alasan, jumlah perempuan yang berimbang pada sistem politik juga harus tercermin pada semua alat kelengkapan anggota lembaga perwakilan, termasuk AKD.

"Oleh karena itu, pentingnya pengaturan distribusi anggota DPR perempuan bedasarkan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota DPR perempuan pada tiap-tiap fraksi," kata Wakil Ketua MK Saldi Isra dalam sidang.

Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Saldi Isra.Tangkap layar dari akun Youtube MK RI Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Saldi Isra.

Hal ini perlu dilakukan, mengingat Indonesia menjadi salah satu negara yang menyepakati sasaran Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Saldi Isra mengatakan, salah satu tujuan SDGs adalah kesetaraan dan pemberdayaan gender dan memastikan perempuan dapat berpartisipasi penuh dan mendapat kesempatan yang sama untuk kepemimpinan pada semua level pengambilan keputusan, baik politik, ekonomi dan publik.

"Hal demikian menjadi relevan dengan adanya penempatan anggota DPR perempuan dengan prinsip perimbangan dan pemerataan harus dipandang sebagai bagian dari agenda penguatan keterwakilan perempuan dalam politik yang selama ini telah menjadi politik hukum nasional," katanya.

Minta DPR bikin tata tertib

Dalam putusan itu, MK juga memberikan saran langkah-langkah yang bisa diambil DPR unutk menindaklanjuti pergantian norma pasal yang telah diubah MK.

Salah satunya adalah membuat tata tertib (tatib) internal di DPR agar rotasi anggota DPR perempuan bisa lebih merata dan bisa memberikan keterwakilan perepmuan.

"DPR dapat menerapkan aturan internal yang tegas seperti Tata Tertib DPR, agar setiap fraksi menugaskan anggota perempuan dalam setiap AKD sesuai dengan kapasitasnya," ucap Saldi.

Saldi mengatakan, apabila suatu fraksi memiliki lebih dari satu perwakilan di suatu AKD, maka minimal 30 persen di antaranya adalah perempuan.

MK juga memberikan opsi kedua, yakni fraksi bisa langsung melaksanakan putusan ini tanpa perlu adanya tata tertib.

Fraksi bisa menempatkan anggota perempuan mereka pada setiap AKD tanpa harus menempatkan pada komisi yang spesifik untuk isu sosial, perlindungan anak, dan pemberdayaan perempuan.

"Tetapi juga bidang ekonomi, hukum, energi, pertahanan, dan bidang-bidang lainnya," ucap Saldi.

Tonggak sejarah pengarusutamaan gender

Mendengar putusan tersebut, salah satu pemohon, Titi Anggraini mengatakan sejarah pengarusutamaan keterwakilan perempuan telah tercipta.

"Putusan Mahkamah Konstitusi pagi ini merupakan tonggak penting dalam sejarah perjuangan kesetaraan gender dan demokrasi representatif di Indonesia," katanya.

Titi mengatakan, para penggugat yang merupakan gerakan perempuan dan gerakan pro demokrasi merasa bersyukur atas putusan MK.

Putusan ini dinilai bukan sekadar soal kursi dan jabatan untuk perempuan, tetapi soal keadilan dan penghormatan yang menjammin kesetaraan dan non-diskriminasi.

"Pasal-pasal yang kami uji selama ini telah menimbulkan praktik domestifikasi politik perempuan di parlemen karena membatasi ruang mereka hanya pada bidang-bidang tertentu dan menghilangkan kesempatan untuk berperan dalam posisi strategis," ucap dia.

Titi mengatakan, dengan amar putusan tersebut, MK menegaskan bahwa pengarusutamaan gender bukan pilihan moral, tetapi kewajiban konstitusional.

Dia berharap, DPR segera menindaklanjuti putusan tersebut dan merevisi seluruh tata tertib internal agar sejalan dengan putusan MK.

"Termasuk mengatur secara tegas keterwakilan minimal 30 persen perempuan di seluruh pimpinan dan keanggotaan alat kelengkapan dewan. Pelaksanaan putusan ini menjadi ujian nyata komitmen parlemen terhadap prinsip konstitusi dan demokrasi yang berkeadilan gender," imbuh dia.

DPR mengkaji

Merespons putusan MK tersebut, Sekretaris Jenderal DPR-RI Indra Iskandar mengatakan akan mengkaji bersama pimpinan DPR.

Mereka akan mempelajari terlebih dahulu terkait dengan putusan yang diucapkan pada Kamis pagi tersebut.

"Kami akan cek keputusan MK tersebut. Sesuai mekanisme, akan dibahas pimpinan dengan fraksi-fraksi," katanya.

Indra memastikan, pembahasan mengenai perubahan atau penyesuaian tata tertib (tatib) DPR akan dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

"Pembahasan revisi tatib akan dilakukan sesuai dengan ketentuan tatib DPR RI," kata Indra.

Ketentuan mengenai revisi tatib diatur dalam Pasal 360, 361, dan 362 Bab Tata Cara Perubahan Tata Tertib Dan Kode Etik, Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib yang telah diperbarui menjadi Nomor 1 Tahun 2025.

Tag:  #progresif #gender #putusan #demi #suara #perempuan #parlemen #senayan

KOMENTAR