



Kereta Cepat, Kegagalan Infrastruktur, dan Kredibilitas Studi Kelayakan
DALAM forum kepemimpinan yang digelar Universitas Paramadina baru-baru ini, mantan direktur utama Kereta Api Indonesia atau KAI, Didiek Hartantyo, secara gamblang dan terbuka mengkritisi studi kelayakan (feasibility study) Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC) “Whoosh” yang menyebabkan perusahaan yang pernah ia pimpin terjerat prahara keuangan.
Ia menuturkan bahwa sejak awal sudah bisa menduga proyek itu akan bermasalah. “Begitu membaca studi kelayakannya, melihat asumsi-asumsinya, pasti akan menjadi masalah besar”, ujarnya dalam acara tersebut. Pernyataan ini lantas memunculkan tanda tanya besar soal kualitas dan kredibilitas studi kelayakan yang mendasari pembangunan infrastruktur di Indonesia. Terlebih, pembangunan infrastruktur dilakukan secara masif khususnya dalam sepuluh tahun terakhir.
Pertanyaan maupun syak wasangka publik tentu saja valid mengingat studi kelayakan merupakan fondasi utama: dokumen ini bukan semata alat justifikasi dan bukan pula sekadar alat pembenaran; ia adalah penakar kenyataan sekaligus penjaga rasionalitas sebuah proyek infrastruktur. Karena itu, studi kelayakan menjadi instrumen yang vital dan esensial dalam pembangunan infrastruktur.
Begitu pentingnya dokumen ini hingga para ahli kerap mengatakan bahwa kita bisa membayangkan keberhasilan atau kegagalan suatu proyek infrastruktur hanya dengan membaca hasil studi kelayakannya. Ini pulalah yang mungkin terbayang dalam benak sang direktur utama ketika dulu mempelajari hasil kajian megaproyek yang belakangan terbukti membelit kas perusahaannya, bahkan juga merongrong keuangan negara.
Bias perilaku
Kemunculan studi kelayakan yang “aneh tapi nyata” seringkali bermula dari bias perilaku (behavioural bias) yang muncul dalam kebijakan, program, dan proyek infrastruktur. Kajian Flyvbjerg (2021) terhadap ribuan proyek di seluruh dunia menemukan beberapa jenis bias perilaku yang sering muncul dan mencederai pengambilan keputusan pemerintah dalam pembangunan infrastruktur.
Walhasil, banyak negara yang membangun infrastruktur dengan ambisi raksasa namun menggunakan dasar dan logika yang fana. Misalnya, pemrakarsa proyek infrastruktur di berbagai negara cenderung terlalu optimistis terhadap manfaat yang diharapkan (disebut sebagai bias optimisme) atau terlampau yakin pada suatu asumsi (bias kepercayaan diri). Ada pula yang sengaja menyajikan informasi yang keliru atau tidak lengkap (bias misrepresentasi strategis), serta merasa rencana atau solusi yang ditawarkan benar-benar berbeda dari yang pernah ada (bias keunikan).
Dalam konteks Indonesia, proyek-proyek infrastruktur bermasalah seperti bandara yang sepi, kereta cepat yang membebani, atau jaringan air yang gagal mengaliri dapat menjadi contoh dan refleksi mengenai kemungkinan bias perilaku dalam studi kelayakan. Sedangkan di tataran global, Ika dan Feeny (2022) mendapati bahkan proyek-proyek infrastruktur milik lembaga internasional yang selama ini dipandang kredibel seperti Bank Dunia pun tidak luput dari kecenderungan bias perilaku dalam persiapan dan pelaksanaannya.
Temuan-temuan ini mestinya menjadi pengingat bahwa bias perilaku bukanlah semata kesalahan teknis melainkan penyakit kronis dalam pembangunan infrastruktur. Karena itu, negara harus lebih berhati-hati terhadap kemungkinan bias perilaku ini. Apalagi Anderson dan Galinsky (2006) serta Guinote (2017) telah mengingatkan bahwa bias perilaku cenderung menjangkiti pihak-pihak yang memiliki otoritas, dan potensi keberadaan maupun daya rusaknya akan teramplifikasi ketika berkelindan dengan kekuasaan.
Karena itu, pemerintah harus memiliki mekanisme pertahanan diri untuk menghadapi bahaya laten bias perilaku tersebut.
Benteng yang kokoh
Terdapat sejumlah langkah konkret untuk mengantisipasi potensi dan eksistensi bias perilaku dalam pembangunan infrastruktur.
Pertama, pemerintah perlu melakukan pengawasan berlapis terhadap studi kelayakan proyek infrastruktur. Di Inggris dan Perancis, misalnya, review terhadap studi kelayakan tidak hanya dilakukan kementerian teknis tetapi juga oleh Departemen Keuangan selaku pengendali anggaran dan belanja. Departemen Keuangan bertugas sebagai penjaga gerbang (gatekeeper) yang memiliki kuasa penuh untuk menyetujui, menolak, atau meminta revisi suatu proposal infrastruktur.
Selain itu, Inggris juga memiliki mekanisme khusus untuk menguji potensi bias perilaku dalam proyek infrastruktur. Caranya, pemerintah di sana menugaskan para ahli serta akademisi untuk melakukan asesmen mengenai ada atau tidaknya bias perilaku dalam proyek-proyek infrastruktur yang sedang dan akan dijalankan. Pelibatan unsur eksternal diperlukan guna mendapatkan masukan dan pertimbangan yang objektif dari pihak luar yang independen.
Praktik baik dari Inggris ini kemudian telah direplikasi dan diterapkan pula oleh pemerintah Australia, Belanda, Denmark, dan sejumlah negara lainnya.
Kedua, pemerintah harus membuka studi kelayakan setiap proyek infrastruktur tanpa terkecuali. Selama ini studi kelayakan sering diperlakukan layaknya “rahasia negara” sehingga publik amat sulit mengakses dokumen tersebut.
Padahal, transparansi menjadi penting agar publik dapat ikut menilai dan bahkan mendebat metodologi, model, dan asumsi-asumsi yang digunakan dalam studi kelayakan. Tujuannya agar pemerintah memiliki pandangan alternatif untuk mempertajam kebijakan, program, dan proyek infrastruktur sehingga hasilnya diharapkan lebih maksimal. Karena itu, kita perlu mendorong partisipasi yang bermakna, bukan hanya prosedural atau formalitas belaka.
Transparansi dan partisipasi akan menjadi benteng yang kokoh untuk menjaga agar setiap proyek infrastruktur berjalan sesuai kepentingan publik sekaligus mencegah munculnya studi kelayakan yang membuat kita geleng-geleng kepala.
Ketiga, negara perlu memiliki mekanisme penghukuman, baik secara pidana, perdata, dan/atau administratif bagi pihak-pihak yang lalai atau sengaja “bermain-main” dengan studi kelayakan. Penerapan sanksi akan mendorong akuntabilitas sehingga pemerintah, pejabat publik, maupun pelaksana proyek infrastruktur serta pihak-pihak yang terlibat dalam penyusunan studi kelayakan akan lebih bertanggung jawab atas setiap keputusan dan tindakan mereka.
Keempat, dengan adanya sejumlah proyek infrastruktur yang bermasalah atau gagal menunjukkan kemanfaatannya, pemerintah perlu melakukan audit studi kelayakan setiap proyek infrastruktur, terutama infrastruktur skala besar seperti jalan tol, kereta api, bandara, pelabuhan, dan bendungan agar tidak ada lagi proyek infrastruktur yang menjadi “bom waktu” yang kelak merugikan kita semua. Prinsipnya, mencegah lebih baik daripada mengobati, dan terlambat masih lebih baik ketimbang tidak sama sekali.
Sebagai pengingat, tujuan pembangunan nasional akan mustahil tercapai apabila ditumpukan pada proses dan hasil kajian yang rapuh. Karena itu, koreksi substansial terhadap studi kelayakan menjadi satu keharusan agar ke depan proyek infrastruktur tidak lagi hanya menguras sumber daya tanpa memberikan manfaat nyata untuk bangsa dan negara.
Tag: #kereta #cepat #kegagalan #infrastruktur #kredibilitas #studi #kelayakan