Menlu David Van Week dan Empati di Ruang Diplomatik
Menteri Luar Negeri Sugiono (kanan) menyambut Menteri Luar Negeri Belanda David Van Weel (kiri) sebelum pertemuan bilateral di Gedung Pancasila, Kementerian Luar Negeri, Jakarta, Kamis (9/10/2025). Pertemuan bilateral tersebut membahas tentang isu-isu strategis dan penguatan kerja sama di berbagai bidang serta penandatanganan MoU Inisiatif nasional untuk petani kecil kelapa sawit berkelanjutan dan cerdas iklim (NISCOPS). (ANTARA FOTO%2
13:44
10 Oktober 2025

Menlu David Van Week dan Empati di Ruang Diplomatik

PERTEMUAN bilateral antara Menteri Luar Negeri Belanda, David van Weel, dengan Menlu RI Sugiono di Gedung Pancasila, Jakarta Pusat, Kamis (9/10/2025), berlangsung hangat dan penuh warna.

Keakraban muncul ketika Menlu Belanda menyampaikan permintaan maaf kepada pencinta sepak bola Indonesia.

Ia meminta maaf karena Patrick Kluivert, legenda sepak bola Belanda yang kini melatih Tim Nasional Indonesia, belum berhasil membawa kemenangan dalam laga Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia melawan Arab Saudi.

Momen permintaan maaf tersebut, meski tampak ringan dan mungkin dianggap basa-basi bagi sebagian orang, justru menarik dari sudut pandang diplomasi.

Secara substansi, pernyataan itu tidak berkaitan langsung dengan agenda utama pertemuan, seperti isu pertanian, kemaritiman, energi, semikonduktor, dan kontak antarmasyarakat, melainkan menyentuh aspek emosional publik Indonesia terhadap sepak bola.

Permasalahan yang menarik untuk dicermati ialah bagaimana pernyataan ringan seperti permintaan maaf atas kekalahan sepak bola dapat mencerminkan gaya diplomasi internasional yang lebih manusiawi, personal, dan berbasis empati.

Van Weel, diplomat dan mantan perwira angkatan laut yang baru menjabat sebagai Menlu Belanda sejak 5 September 2025, menunjukkan kesadaran emosional (emotional awareness) terhadap apa yang dirasakan masyarakat Indonesia, yaitu kekecewaan atas hasil pertandingan tim nasional.

Dalam praktik diplomasi modern, tindakan semacam ini dikenal sebagai bentuk diplomasi empatik, diplomasi yang berangkat dari kemampuan memahami, merasakan, dan merespons perasaan pihak lain, bukan sekadar menegosiasikan kepentingan formal negara.

Dalam konteks hubungan internasional saat ini, empati menjadi instrumen halus yang mempererat hubungan antarbangsa melalui kedekatan emosional.

Van Weel tampak memahami bahwa diplomasi bukan hanya soal perjanjian dan protokol, melainkan juga soal membangun rasa saling pengertian di antara masyarakat.

Ia sengaja mengaitkan isu sepak bola, olahraga yang telah menjadi bahasa universal, sebagai jembatan komunikasi emosional antara Belanda dan Indonesia.

Sepak bola, baginya, adalah simbol kebersamaan lintas budaya. Walaupun Timnas Indonesia belum pernah tampil di putaran final Piala Dunia, masyarakatnya tetap menaruh harapan besar.

Kini, ketika Indonesia berhasil mencapai ronde keempat kualifikasi Piala Dunia 2026, harapan itu berada di puncaknya.

Van Weel menangkap momentum ini dan menunjukkan empatinya melalui permintaan maaf “sebagai sesama orang Belanda” atas hasil yang belum menggembirakan.

Pernyataan sederhana itu menjadi gestur diplomatik yang menunjukkan sisi manusia seorang pejabat negara.

Ia bukan hanya berbicara tentang kerja sama ekonomi dan energi, tetapi juga turun ke tingkat emosi publik dengan memahami kekecewaan dan aspirasi rakyat Indonesia.

Seperti ditulis oleh Ivan A. Safranchuk dalam Empathy Is the Best Strategy for Diplomacy (2022), diplomasi yang efektif bukan hanya tentang kepentingan negara, melainkan bagaimana suatu negara mampu menyesuaikan tutur kata dan sikap agar pesan diterima secara manusiawi.

Dalam konteks ini, sepak bola menjadi lebih dari sekadar olahraga, tetapi menjadi simbol hubungan antarnegara yang melampaui formalitas.

Bukan simbol resmi seperti bendera atau lambang negara, tetapi simbol soft power, kekuatan lunak yang membangun kedekatan emosional antarbangsa.

Melalui empati dan kesadaran terhadap sentimen publik Indonesia, Belanda membangun goodwill dan memperkuat citranya sebagai mitra yang peduli terhadap perasaan masyarakat di luar negeri.

Praktik diplomasi seperti ini memperlihatkan bahwa seorang diplomat dapat menjadi manusia biasa yang memiliki simpati, rasa bangga, dan keberanian untuk mengakui kekecewaan.

Jika publik merasakan bahwa diplomat bukan sekadar “robot pembuat perjanjian”, kepercayaan dan simpati publik terhadap hubungan bilateral akan meningkat. Diplomasi pun menjadi lebih membumi dan relevan bagi masyarakat.

Permintaan maaf Van Weel, meskipun konteksnya terkesan sederhana (sepak bola), memiliki efek yang lebih luas.

Pertama, meredam potensi ketegangan publik, karena kekalahan tim nasional sering memicu kritik keras, termasuk kepada pelatih asing.

Kedua, memperkuat citra Belanda sebagai negara yang tidak hanya mementingkan kepentingan nasional, tetapi juga memperhatikan dimensi kemanusiaan.

Ketiga, menumbuhkan rasa hormat dan kedekatan emosional dari publik Indonesia terhadap Belanda.

Keempat, membuka ruang baru bagi diplomasi sosial-budaya, termasuk pertukaran olahraga, pendidikan, dan masyarakat.

Dalam semakin kompleksnya era politik luar negeri, diplomasi empatik menjadi wajah baru dari komunikasi antarbangsa, yang tidak lagi hanya mengandalkan kekuatan ekonomi atau militer, tetapi juga kemampuan memahami hati dan perasaan publik di negara lain.

Pada akhirnya, diplomasi empatik seperti yang diperlihatkan Van Weel sesungguhnya mencerminkan pergeseran paradigma diplomasi global.

Di tengah dunia yang semakin terpolarisasi, pendekatan berbasis empati menjadi strategi yang efektif untuk meredakan ketegangan dan membangun kepercayaan.

Negara-negara Skandinavia, misalnya, telah lama menggunakan empati sebagai bagian dari diplomasi kemanusiaan mereka. Sementara Jepang mengintegrasikan nilai-nilai kesopanan (omotenashi) dalam interaksi diplomatiknya.

Indonesia pun dapat belajar dari praktik ini: bahwa kekuatan diplomasi tidak hanya terletak pada kemampuan bernegosiasi keras, tetapi juga pada kecakapan membaca perasaan publik dan meresponsnya secara manusiawi.

Tag:  #menlu #david #week #empati #ruang #diplomatik

KOMENTAR