



Jawaban TNI dan Pemerintah atas Kekhawatiran Prajurit Jadi Penyidik dalam RUU Ketahanan Siber
- Isu keterlibatan TNI sebagai penyidik tindak pidana siber mencuat setelah beredarnya draf Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU KKS).
Koalisi masyarakat sipil pertama kali mengungkapkan bahwa dalam draf RUU tersebut terdapat pasal yang mengatur peran TNI sebagai penyidik.
Temuan itu lantas menuai kritik karena dinilai berpotensi memperluas kewenangan militer ke ranah penegakan hukum sipil.
Lantas, bagaimana posisi penyidik TNI dalam RUU KKS?
Menkum: Penyidik TNI hanya untuk personel militer
Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas menegaskan bahwa keberadaan penyidik TNI dalam RUU KKS semata-mata ditujukan untuk menangani kasus pidana yang melibatkan anggota militer.
“Ya kalau perkara koneksitas, kalau pelakunya TNI, penyidiknya siapa kan enggak perlu disebut dong. Kalau pelakunya (kejahatan siber) bukan anggota TNI, tidak mungkin disidik,” kata Supratman saat ditemui di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (8/10/2025).
Supratman juga menegaskan, penyusunan RUU ini tidak dilakukan oleh Kementerian Hukum saja, melainkan melalui pembahasan bersama sejumlah kementerian dan lembaga terkait.
“Masih proses harmonisasi atau pembahasan antar kementerian, jadi draf itu tidak berasal dari Kementerian Hukum. Sekarang kita lagi melakukan proses harmonisasi,” ujarnya.
TNI janji tidak akan menyidik warga sipil
Senada, Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Mayjen TNI (Mar) Freddy Ardianzah menegaskan bahwa peran TNI dalam RUU KKS hanya sebatas menjaga kedaulatan dan pertahanan ruang siber nasional, bukan menegakkan hukum terhadap masyarakat sipil.
“Ranahnya siber TNI jelas ya, jadi kita menjaga kedaulatan ruang siber dari sisi pertahanannya. Jadi, kita enggak ada nanti, misalnya memeriksa terkait dengan sipil,” beber Freddy ditemui di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Kamis (9/10/2025).
Freddy menambahkan, TNI tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap warga sipil sebagaimana dikhawatirkan sejumlah pihak.
Kritik dari Koalisi Masyarakat Sipil
Sebelumnya, koalisi masyarakat sipil menyoroti potensi perluasan kewenangan militer di ranah siber.
Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari Raksha Initiatives, Centra Initiative, Imparsial, dan De Jure menilai bahwa pelibatan TNI sebagai penyidik pidana siber, sebagaimana diatur dalam Pasal 56 ayat (1) huruf d draf RUU KKS, berpotensi mengancam Hak Asasi Manusia (HAM).
“Pelibatan TNI sebagai penyidik tindak pidana keamanan dan ketahanan siber justru akan semakin mengancam hak asasi manusia dan negara hukum,” kata Koalisi dalam siaran pers, Sabtu (4/10/2025).
Koalisi menilai, ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 30 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa TNI bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan serta kedaulatan negara, bukan menegakkan hukum.
Kekhawatiran Koalisi Sipil
Koalisi sipil mengkhawatirkan bahwa pelibatan TNI dalam RUU KKS akan melemahkan supremasi sipil.
Mereka menilai, penegakan hukum pidana seharusnya menjadi ranah lembaga sipil seperti kepolisian dan kejaksaan, bukan militer.
“Keterlibatan militer dalam proses penyidikan perkara pidana—termasuk pidana keamanan dan ketahanan siber—tidak hanya bertentangan dengan konstitusi dan UU TNI, tetapi juga mengancam kebebasan sipil dan demokrasi,” ucap Koalisi.
Koalisi juga menilai, jika pasal tersebut tetap dipertahankan, hal itu bisa membuka ruang bagi praktik militerisasi di ruang siber.
Dalam pandangan koalisi, rumusan yang melibatkan TNI dalam penegakan hukum siber menunjukkan adanya langkah sistematis menuju militerisasi ruang siber.
Mereka menyoroti bahwa sejak revisi Undang-Undang TNI yang menambahkan tugas operasi militer selain perang, aspek pertahanan siber semakin luas tanpa kejelasan batasan antara ancaman pertahanan dan ancaman hukum.
Menurut mereka, tugas pertahanan siber semestinya fokus pada tindakan defensif, baik aktif maupun pasif, untuk melindungi aset dan sistem pertahanan negara, bukan untuk melakukan penegakan hukum.
Koalisi juga menyinggung soal akuntabilitas hukum jika TNI dilibatkan dalam penyidikan kasus siber.
Hingga kini, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer belum direvisi.
Hal itu berarti, anggota TNI yang diduga melanggar hukum, termasuk di bidang keamanan siber, masih akan diadili di peradilan militer.
“Akibatnya, setiap pelanggaran pidana, baik pidana militer maupun pidana umum, termasuk pidana keamanan dan ketahanan siber, yang dilakukan oleh anggota TNI, penuntutannya harus melalui peradilan militer,” tulis Koalisi.
Koalisi menilai kondisi ini berpotensi meningkatkan risiko penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power karena belum ada mekanisme pengawasan dan akuntabilitas yang memadai di luar sistem militer.
Tag: #jawaban #pemerintah #atas #kekhawatiran #prajurit #jadi #penyidik #dalam #ketahanan #siber