



May Day, Buruh Tuntut Upah Layak Hingga Perlindungan Pekerja Migran Secara Menyeluruh
– Gegap gempita peringatan Hari Buruh turut diwarnai banyak tuntutan yang disuarakan para pekerja/ buruh. Ada sejumlah tuntutan yang disampaikan oleh sejumlah organisasi buruh.
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengajukan enam tuntutan pada pemerintah. Presiden KSPI Said Iqbal menegaskan, May Day bukan tentang libur kaum buruh, akan tetapi mengenai bagaimana mengingat kembali perjuangan kaum buruh untuk memperjuangkan isu-isu kaum buruh.
“Mewakili para buruh, ada 6 isu yang ingin Kami sampaikan. Mudah-mudahan menjadi pertimbangan dalam kebijakan Bapak Presiden,” ujarnya dalam peringatan Hari Buruh Internasional di Monas, Jakarta, Kamis (1/5).
Tuntutan pertama, serikat pekerja/buruh meminta Presiden Prabowo Subianto untuk menghapus sistem kerja outsourcing. Sistem ini dinilai sebagai bentuk perbudakan modern di dunia kerja.
“Kami yakin presiden sangat peduli untuk menghapuskan outsourcing yang merupakan modern slavery, perbudakan modern,” katanya.
Kedua, KSPI menuntut kesejahteraan buruh. Iqbal mengapresiasi langkah presiden yang telah menaikkan upah minimum sebesar 6,5 persen tahun lalu, setelah mengalami stagnasi selama 10 tahun. Namun dia berharap, ke depan, kenaikan upah minimum dapat diputuskan dengan menggunakan perhitungan yang layak dan aturan baru yang tak lagi merujuk pada turunan omnibus law cipta kerja.
“Kami berharap di pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dapat segera mengesahkan RUU Ketenagakerjaan baru, yang tentunya dengan menghilangkan seluruh muatan Omnibus Law yang dianggap merugikan buruh,” tegasnya.
Selanjutnya, Iqbal juga meminta pemerintah segera membentuk dan mengoperasikan satuan tugas (satgas) khusus penanganan pemutusan hubungan kerja (PHK). Hal ini sebagai bentuk respon pemerintah terhadap maraknya ratusan ribu PHK yang terjadi beberapa tahun terakhir.
Selain itu, Iqbal menyoroti RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang belum disahkan meski sudah menanti hingga 20 tahun. Agar para pekerja tidak menjadi budak. “Tolong sahkan (RUU) Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Jangan seperti budak, ada yang disetrika, ada yang tidur dengan kandang anjing. Dan mereka mengalami penderitaan bukan di luar sana tapi di negeri ini,” keluhnya.
Selain menyoroti kesejahteraan buruh/pekerja, KSPI juga memberikan perhatian mengenai kondisi negeri ini. Ia menuntut agar Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset dapat segera disahkan. “Sudah saatnya RUU ini disahkan. Harus ada mekanisme pembuktian terbalik, agar koruptor tidak cukup hanya dipenjara, tetapi juga hartanya dirampas,” pungkasnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Migrant CARE Wahyu Susilo menilai, peringatan Hari Buruh Sedunia pada tahun ini berlangsung saat Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Penciptaan jutaan lapangan kerja sebagaimana yang dijanjikan dalam kampanye pemilu 2024, penghapusan Omnibus Law cipta kerja, serta optimisme bonus demografi ternyata hanya mimpi dan ilusi.
Dalam kenyataannya, kondisi ketenagakerjaan Indonesia makin muram dan nasib buruh Indonesia terus menerus kelam. Ini terlihat dari badai PHK yang terjadi di berbagai sektor industri. Bahkan, diperkirakan akan semakin parah seiring dengan dampak efek domino kebijakan proteksionis Donald Trump yang memicu perang dagang dan tarif.
Wahyu khawatir, kondisi ini akan meningkatkan angka pengangguran. Apalagi, ekonomi Indonesia juga tengah lesu efek kebijakan efisiensi anggaran guna menopang pembiayaan program populis Makan Bergizi Gratis (MBG). Kebijakan ini mengakibatkan kemerosotan aktivitas ekonomi baik di sektor riil, sektor jasa, hingga sektor ketenagakerjaan.
“Walau telah ada kebijakan efisiensi anggaran, APBN masih menanggung beban berat sehingga pada triwulan pertama tahun 2025, penarikan utang luar negeri sudah sangat besar sebesar Rp 250 triliun,” ujarnya di Jakarta, Kamis (2/5).
Mirisnya, ekspresi untuk menyalurkan ketidakpuasan dan kritik kebijakan makin terbatasi. Perlawanan masyarakat sipil menolak revisi UU TNI dijawab dengan represi dan intimidasi. Proses legislasi di parlemen pun dinilainya tak lagi mencerminkan prinsip-prinsip demokrasi dengan mengedepankan aspirasi dan partisipasi bermakna, tetapi hanya untuk melayani kepentingan eksekutif yang bersekutu dengan kaum oligarki. Suasana ekonomi politik Indonesia gelap. “Nasib pekerja migran Indonesia tak lepas dari carut marut kondisi ekonomi politik di masa Indonesia Gelap ini,” katanya.
Kebijakan efisiensi anggaran telah memangkas anggaran-anggaran pelayanan publik yang seharusnya diperuntukkan untuk advokasi pekerja migran yang mengalami masalah. Termasuk, inisiatif pemberdayaan komunitas di kampung halaman para pekerja migran.
Sebaliknya, kebijakan tentang pekerja migran yang diinisiasi Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia kembali diorientasikan untuk mendongkrak perolehan remitansi ratusan triliun rupiah. Kementerian juga bersikeras untuk bisa segera mengirimkan sebanyak-banyaknya PMI ke Arab Saudi, dengan mengusulkan pencabutan moratorium meski hingga saat ini Saudi belum memenuhi kriteria sebagai negara yang menjamin hak asasi pekerja migran.
“Ini tentu merupakan kemunduran kebijakan tentang pekerja migran Indonesia,” sambungnya.
Wajah muram pekerja migran Indonesia (PMI) masih ditunjukkan dengan eskalasi kasus PMI di berbagai belahan dunia. Ratusan ribu orang muda Indonesia masih terjebak dalam kamp-kamp operator scamming online dan judi online di Kamboja, Myanmar, dan Laos. “Jumlah yang meninggal dunia juga tidak sedikit di dalam tindak pidana perdagangan orang dengan penyalahgunaan teknologi digital (forced criminality),” ungkapnya.
Menurutnya, ini bisa dilihat dari data mengenai kematian beruntun PMI asal NTT dalam satu dekade terakhir yang sangat menyesakkan. Bukan hanya itu, masih ada 157 PMI yang menghadapi ancaman hukuman mati di luar negeri.
“Hal ini memunculkan pertanyaan, apakah negara ini sudah baal, mati rasa dan sudah terbiasa atas kematian beruntun pekerja migran Indonesia? Apakah negara hanya menganggap pekerja migran Indonesia sebagai angka semata, sebagai statistik dan remitansi, tapi tak lagi dianggap sebagai manusia?” keluhnya.
Realitas ini, lanjut dia, memperlihatkan bahwa Pemerintah Indonesia tidak serius dalam memberikan perlindungan terhadap PMI meski telah meratifikasi Konvensi PBB tentang Pelindungan Hak-Hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya, serta mengadopsi Global Compact for Safe, Orderly and Regular Migration. Migrant CARE menegaskan bahwa perlu adanya tata kelola migrasi yang baik akan meningkatkan pembangunan manusia (human development). Sebaliknya, jika migrasi gagal dikelola dengan baik akan mengakibatkan perdagangan manusia (human trafficking).
Oleh karenanya, dalam Peringatan Hari Buruh Sedunia 1 Mei 2025, Migrant CARE yang menjadi bagian gerakan buruh Indonesia menyerukan sejumlah tuntutan. Migrant Care meminta agar pemerintah mewujudkan tata pemerintahan yang demokratis, menjunjung supremasi sipil dan menolak keterlibatan militer dalam bisnis, birokrasi, konflik agraria dan perburuhan.
“Wujudkan tata kelola perekonomian yang berorientasi keadilan sosial, berpihak kepada kelas pekerja, menolak oligarki dan penugasan aset-aset ekonomi negara untuk kepentingan politik,” tegasnya.
Migrant Care juga mendesak agar pemerintah mewujudkan tata kelola migrasi yang aman dan menolak komodifikasi pekerja migran dengan merevisi UU No 18/2017 tentang Pelindungan PMI dengan berorientasi pada perspektif hak asasi pekerja migran. Bukan hanya untuk kepentingan sesaat memperkuat kelembagaan Kementerian yang berorientasi kekuasaan.
Terpisah, Anggota Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto mengungkapkan, peringatan Hari Buruh seharusnya bukan seremoni tahunan semata. May Day harusnya jadi momen untuk mengevaluasi, memperbaiki, dan berpihak secara nyata pada buruh dan masyarakat.
Oleh karenanya, ia mendukung sejumlah tuntutan buruh. Edy menegaskan negara hadir seharusnya tidak hanya berpihak pada perputaran ekonomi tapi juga juga melindungi rakyatnya dari ketimpangan dan ketidakadilan. Misalnya, terkait penghapusan outsourcing. Menurutnya, buruh bukan hanya roda penggerak ekonomi, tetapi manusia yang berhak atas kehidupan layak, pekerjaan yang manusiawi, dan perlindungan sosial.
“Negara tidak boleh diam melihat buruh terus-menerus menjadi korban sistem kerja yang eksploitatif. Saya mendukung penuh revisi PP Nomor 35 Tahun 2021, karena aturan ini menciptakan ketidakpastian kerja, menekan upah pekerja outsourcing, dan melemahkan perlindungan sosial, padahal mereka bekerja penuh seperti karyawan tetap,” paparnya.
Dia mengungkapkan, aturan yang ada masih mengaburkan batas antara hak dan kewajiban, serta mempersempit ruang buruh untuk memperjuangkan nasibnya. Legiselator dari PDI Perjuangan ini melihat bahwa buruh selama ini hidup dalam ketidakpastian dan ketakutan akan PHK sewaktu-waktu.
“Outsourcing yang pada awalnya dimaksudkan untuk efisiensi, kini sering menjadi alat ketidakadilan. Buruh outsourcing bekerja setara, tapi menerima hak yang lebih kecil. Ini menciptakan ketimpangan struktural yang melemahkan martabat pekerja,” ungkapnya.
Edy juga mendorong percepatan pembahasan RUU Ketenagakerjaan sebagai wujud tanggung jawab DPR atas putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. “Perbaikan ini harus kita lakukan demi mengembalikan kepercayaan publik terhadap proses legislasi dan melindungi jutaan pekerja dari kebijakan yang berpihak pada investasi tapi menindas hak dasar buruh,” katanya. Dia mengajak pemerintah, dalam hal ini Kementerian Tenaga Kerja untuk kooperatif terhadap hal ini.
Dukungan terhadap RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) juga disuarakan keras oleh Edy. Menurutnya, pekerja rumah tangga yang mayoritas adalah perempuan dan bekerja dalam ruang privat telah terlalu lama diabaikan. “Mereka telah berkontribusi besar dalam menopang ekonomi rumah tangga masyarakat kelas menengah dan atas. Tidak ada alasan lagi untuk menunda pengesahan RUU ini,” katanya.
Terkait meningkatnya angka PHK akibat perlambatan ekonomi, Edy mendorong pembentukan Satgas PHK untuk memberikan bantuan kepada korban PHK. Selain itu, satgas ini juga memiliki fungsi preventif. “Banyak perusahaan padat karya sedang mengalami masa sulit. Pemerintah harus turun tangan, karena kalau dibiarkan, bukan hanya buruh yang kehilangan pekerjaan, tapi juga masyarakat sekitar yang terkena dampaknya secara ekonomi,” ucapnya.
Dalam semangat keadilan sosial, Edy juga mendesak perluasan cakupan jaminan sosial tenaga kerja dan kesehatan bagi pekerja informal dan rentan. “Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun (JP), dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) harus dapat diakses oleh semua lapisan pekerja,” ucapnya. (mia)
Tag: #buruh #tuntut #upah #layak #hingga #perlindungan #pekerja #migran #secara #menyeluruh