Migrant CARE: Hari Buruh Sedunia Tahun Ini Berlangsung Saat Indonesia Sedang Tidak Baik-baik Saja!
Ribuan aliansi buruh, mahasiswa, petani dan masyarakat sipil dari Aliansi Gerakan Buruh Bersama Rakyat atau Gebrak memadati depan gedung DPR RI memperingati May Day 2025. (Zahdomo/Jawapos)
19:08
1 Mei 2025

Migrant CARE: Hari Buruh Sedunia Tahun Ini Berlangsung Saat Indonesia Sedang Tidak Baik-baik Saja!

 – Direktur Eksekutif Migrant CARE Wahyu Susilo menilai, peringatan Hari Buruh Sedunia pada tahun ini berlangsung saat Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Penciptaan jutaan lapangan kerja sebagaimana yang dijanjikan dalam kampanye pemilu 2024, penghapusan Omnibus Law cipta kerja, serta optimisme bonus demografi ternyata hanya mimpi dan ilusi.

Dalam kenyataannya, kondisi ketenagakerjaan Indonesia makin muram dan nasib buruh Indonesia terus menerus kelam. Ini terlihat dari badai PHK yang terjadi di berbagai sektor industri. Bahkan, diperkirakan akan semakin parah seiring dengan dampak efek domino kebijakan proteksionis Donald Trump yang memicu perang dagang dan tarif.

Wahyu khawatir, kondisi ini akan meningkatkan angka pengangguran. Apalagi, ekonomi Indonesia juga tengah lesu efek kebijakan efisiensi anggaran guna menopang pembiayaan program populis Makan Bergizi Gratis (MBG). Kebijakan ini mengakibatkan kemerosotan aktivitas ekonomi baik di sektor riil, sektor jasa, hingga sektor ketenagakerjaan.

 

“Walau telah ada kebijakan efisiensi anggaran, APBN masih menanggung beban berat sehingga pada triwulan pertama tahun 2025, penarikan utang luar negeri sudah sangat besar sebesar Rp 250 triliun,” ujarnya di Jakarta, Kamis (2/5).  

Mirisnya, ekspresi untuk menyalurkan ketidakpuasan dan kritik kebijakan makin terbatasi. Perlawanan masyarakat sipil menolak revisi UU TNI dijawab dengan represi dan intimidasi. Proses legislasi di parlemen pun dinilainya tak lagi mencerminkan prinsip-prinsip demokrasi dengan mengedepankan aspirasi dan partisipasi bermakna, tetapi hanya untuk melayani kepentingan eksekutif yang bersekutu dengan kaum oligarki. Suasana ekonomi politik Indonesia gelap.

“Nasib pekerja migran Indonesia tak lepas dari carut marut kondisi ekonomi politik di masa Indonesia Gelap ini,” katanya.

Kebijakan efisiensi anggaran telah memangkas anggaran-anggaran pelayanan publik yang seharusnya diperuntukkan untuk advokasi pekerja migran yang mengalami masalah. Termasuk, inisiatif pemberdayaan komunitas di kampung halaman para pekerja migran.

 

Sebaliknya, kebijakan tentang pekerja migran yang diinisiasi Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia kembali diorientasikan untuk mendongkrak perolehan remitansi ratusan triliun rupiah. Kementerian juga bersikeras untuk bisa segera mengirimkan sebanyak-banyaknya PMI ke Arab Saudi, dengan mengusulkan pencabutan moratorium meski hingga saat ini Saudi belum memenuhi kriteria sebagai negara yang menjamin hak asasi pekerja migran.

“Ini tentu merupakan kemunduran kebijakan tentang pekerja migran Indonesia,” sambungnya.

Wajah muram pekerja migran Indonesia (PMI) masih ditunjukkan dengan eskalasi kasus PMI di berbagai belahan dunia. Ratusan ribu orang muda Indonesia masih terjebak dalam kamp-kamp operator scamming online dan judi online di Kamboja, Myanmar, dan Laos. “Jumlah yang meninggal dunia juga tidak sedikit di dalam tindak pidana perdagangan orang dengan penyalahgunaan teknologi digital (forced criminality),” ungkapnya.

Menurutnya, ini bisa dilihat dari data mengenai kematian beruntun PMI asal NTT dalam satu dekade terakhir yang sangat menyesakkan. Bukan hanya itu, masih ada 157 PMI yang menghadapi ancaman hukuman mati di luar negeri.

 

“Hal ini memunculkan pertanyaan, apakah negara ini sudah baal, mati rasa dan sudah terbiasa atas kematian beruntun pekerja migran Indonesia? Apakah negara hanya menganggap pekerja migran Indonesia sebagai angka semata, sebagai statistik dan remitansi, tapi tak lagi dianggap sebagai manusia?,” keluhnya.

Realitas ini, lanjut dia, memperlihatkan bahwa Pemerintah Indonesia tidak serius dalam memberikan perlindungan terhadap PMI meski telah meratifikasi Konvensi PBB tentang Pelindungan Hak-Hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya, serta mengadopsi Global Compact for Safe, Orderly and Regular Migration.

Migrant CARE menegaskan bahwa perlu adanya tata kelola migrasi yang baik akan meningkatkan pembangunan manusia (human development). Sebaliknya, jika migrasi gagal dikelola dengan baik akan mengakibatkan perdagangan manusia (human trafficking).

 

Oleh karenanya, dalam Peringatan Hari Buruh Sedunia 1 Mei 2025, Migrant CARE yang menjadi bagian gerakan buruh Indonesia menyerukan sejumlah tuntutan. Migrant Care meminta agar pemerintah mewujudkan tata pemerintahan yang demokratis, menjunjung supremasi sipil dan menolak keterlibatan militer dalam bisnis, birokrasi, konflik agraria dan perburuhan

“Wujudkan tata kelola perekonomian yang berorientasi keadilan sosial, berpihak kepada kelas pekerja, menolak oligarki dan penugasan aset-aset ekonomi negara untuk kepentingan politik,” tegasnya.

Migrant Care juga mendesak agar pemerintah mewujudkan tata kelola migrasi yang aman dan menolak komodifikasi pekerja migran dengan merevisi UU No 18/2017 tentang Pelindungan PMI dengan berorientasi pada perspektif hak asasi pekerja migran. Bukan hanya untuk kepentingan sesaat memperkuat kelembagaan Kementerian yang berorientasi kekuasaan. (mia)

 

 

 

 

Editor: Bintang Pradewo

Tag:  #migrant #care #hari #buruh #sedunia #tahun #berlangsung #saat #indonesia #sedang #tidak #baik #baik #saja

KOMENTAR