Jokowi Sebut Presiden Boleh Memihak, Perludem: Jadi Pembenaran Aparat Tak Netral
Presiden Joko Widodo alias Jokowi bersama Menteri Pertahanan dan Panglima TNI Agus Subiyanto usai serah terima pesawat Super Hercules C-130J di Terminal Selatan Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Rabu (24/1/2024).(KOMPAS.com/NIRMALA MAULANA A)
16:34
24 Januari 2024

Jokowi Sebut Presiden Boleh Memihak, Perludem: Jadi Pembenaran Aparat Tak Netral

- Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai pernyataan Presiden Joko Widodo soal bolehnya seorang presiden memihak terhadap calon tertentu dalam pemilu sebagai pernyataan yang sangat dangkal.

"Ini berpotensi akan menjadi pembenaran bagi presiden sendiri, menteri, dan seluruh pejabat yang ada di bawahnya, untuk aktif berkampanye dan menunjukkan keberpihakan di dalam Pemilu 2024," kata Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati, pada Rabu (24/1/2024).

"Apalagi Presiden Jokowi jelas punya konflik kepentingan langsung dengan pemenangan Pemilu 2024, sebab anak kandungnya, Gibran Rakabuming Raka adalah calon wakil presiden nomor urut 2, mendampingi Prabowo Subianto," jelasnya.

Perludem menegaskan, netralitas aparatur negara merupakan salah satu kunci mewujudkan penyelenggaraan pemilu yang jujur, adil, dan demokratis.

Jokowi dianggap hanya membaca Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu secara sepotong-sepotong, yakni hanya pada pasal 281, 299, dan 300, tanpa melihat konstruksi hukum kepemiluan secara utuh.

Pasal-pasal itu mengatur bahwa presiden dan wakil presiden memang berhak berkampanye dengan tetap memperhatikan tugas-tugas pemerintahan, asal menjalani cuti di luar tanggungan negara serta tidak menggunakan fasilitas jabatan.

Padahal, pada pasal 282, undang-undang yang sama melarang "pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri, serta kepala desa membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama masa kampanye".

Pasal 283, UU Pemilu juga melarang para pejabat negara hingga ASN untuk melakukan kegiatan yang berpihak pada peserta pemilu tertentu, baik sebelum, saat, dan setelah kampanye.

"Dalam konteks ini, Presiden Jokowi dan seluruh menterinya jelas adalah pejabat negara. Sehingga ada batasan bagi presiden dan pejabat negara lain, termasuk menteri untuk tidak melakukan tindakan atau membuat keputusan yang menguntungkan peserta pemilu tertentu, apalagi dilakukan di dalam masa kampanye," terang Khoirunnisa.

"Dalam konteks ini, jika ada tindakan presiden, apapun itu bentuknya, jika dilakukan tidak dalam keadaan cuti di luar tanggungan negara, tetapi menguntungkan peserta pemilu tertentu, itu jelas adalah pelanggaran pemilu, termasuk juga tindakan menteri, yang melakukan tindakan tertentu yang menguntungkan peserta pemilu tertentu," ungkapnya.

Oleh karena itu, Jokowi didesak menarik pernyataannya hari ini.

"Pernyataan itu berpotensi menjadi alasan pembenar untuk pejabat negara dan seluruh aparatur negara untuk menunjukkan keberpihakan politik di dalam penyelenggaraan pemilu," kata Khoirunnisa.

Pernyataan Jokowi itu juga berpotensi membuat proses penyelenggaraan pemilu dipenuhi dengan kecurangan, dan menimbulkan penyelenggaraan pemilu yang tidak fair dan tidak demokratis.

Sementara itu, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga didesak untuk secara tegas dan bertanggungjawab menyelesaikan dan menindak seluruh bentuk ketidaknetralan dan keberpihakan aparatur negara dan pejabat negara, yang secara terbuka menguntungkan peserta pemilu tertentu, dan menindak seluruh tindakan yang diduga memanfaatkan program dan tindakan pemerintah yang menguntungkan peserta pemilu tertentu.

"Kerangka hukum di dalam UU Pemilu dapat disimpulkan ingin memastikan semua pejabat negara yang punya akses terhadap program, anggaran, dan fasilitas negara untuk tidak menyalahgunakan jabatannya dengan menguntungkan peserta pemilu tertentu," ujar Khoirunnisa.

Editor: Vitorio Mantalean

Tag:  #jokowi #sebut #presiden #boleh #memihak #perludem #jadi #pembenaran #aparat #netral

KOMENTAR