Merasa Sedih Sekaligus Bahagia, Kompleksnya Perasaan Seorang Ibu
Menjadi ibu jarang tentang satu perasaan saja. Ia adalah tumpukan emosi yang datang bersamaan.
Ada hari-hari ketika kita menggendong bayi yang hampir tertidur, menatap wajah kecilnya, lalu hati dipenuhi rasa takjub. Namun di saat yang sama, ada sedih yang ikut menyelinap, perasaan yang sulit dijelaskan, tapi nyata.
Di hari lain, seorang ibu bisa merayakan satu tonggak baru perkembangan si kecil, sambil diam-diam merindukan masa bayi yang baru saja lewat.
Kita bisa merasa begitu bersyukur atas keluarga yang dimiliki, sekaligus berduka atas kehidupan masa lalu yang meninggalkan luka batin yang tak serta merta hilang karena punya status baru sebagai ibu.
Menjalani keduanya bukan tanda kelemahan. Justru di sanalah keterampilan emosional seorang ibu terasah.
Mengapa dua perasaan itu bisa sama-sama benar
Sering kali, para ibu merasa harus memilih satu perasaan agar terasa lebih terkendali: bahagia atau sedih. Padahal kehidupan nyata hampir tak pernah sesederhana itu. Hidup adalah campuran kegembiraan dan kehilangan, dan itu tidak apa-apa.
Cinta membuat kita peka terhadap apa yang bisa hilang. Pertumbuhan selalu menuntut pelepasan dari fase yang tak akan kembali. Kegembiraan dan kesedihan berjalan beriringan karena kita begitu peduli.
Ketika kita bisa mengakui hal ini, kita berhenti menghakimi diri sendiri karena “terlalu sensitif” atau “terlalu emosional”. Kita mulai mendengarkan apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh perasaan-perasaan itu.
Di balik rutinitas, kesedihan dan kegembiraan muncul dalam bentuk-bentuk kecil yang sering luput disadari, misalnya saat ibu melambaikan tangan penuh semangat saat mengantar anak ke preschool, lalu merindukan berat tubuhnya yang biasa menempel di dada. Atau tentang bagaimana kita mencintai pekerjaan, tetapi dada terasa nyeri karena tak sempat sampai di rumah untuk mengantar anak tidur.
Semua ini bukan tanda kurang bersyukur. Ini tanda bahwa kita manusia.
Ilustrasi ibu dan anak.
Pentingnya skrining depresi setelah melahirkan
American College of Obstetricians and Gynecologists pun merekomendasikan skrining rutin depresi dan kecemasan selama masa kehamilan dan setelah melahirkan, agar ibu bisa mendapatkan dukungan dan penanganan yang tepat sejak dini.
Saat hari terasa terlalu penuh dan kita bingung memaknainya, kita butuh langkah-langkah yang realistis. Cobalah empat hal sederhana ini:
- Sebutkan dengan jujur. Katakan pelan pada diri sendiri, “Aku senang tadi kita membaca dongeng bersama, dan aku sedih karena kamu tumbuh begitu cepat.”
- Rasakan di tubuh. Perhatikan di mana emosi itu berdiam, apakah di dada, rahang, bahu, atau perut. Berikan sentuhan hangat di sana.
- Pilih satu tindakan kecil. Mengirim pesan ke suami, menyalakan lilin, keluar sebentar menghirup udara, minum air, atau akhirnya membuat janji yang selama ini tertunda.
- Akhiri dengan rasa syukur yang nyata. Cukup satu hal baik yang benar-benar ada, berdampingan dengan hal yang sulit.
Dukungan komunitas yang meringankan
Ibu tidak diciptakan untuk menjalani semuanya sendirian. Meminta bantuan memang terasa canggung, tetapi sering kali justru melegakan. Bangun budaya jujur di lingkaran terdekat, misalnya berbagi “satu sukacita, satu duka” agar semua perasaan mendapat ruang.
Jika kesedihan mulai mengganggu aktivitas sehari-hari, atau rasa bahagia terasa sulit diraih selama berminggu-minggu, berbicara dengan tenaga profesional bisa menjadi langkah penuh kasih pada diri sendiri.
Waspadai tanda seperti suasana hati yang terus menurun, kecemasan berkepanjangan, pikiran mengganggu, gangguan tidur, atau pikiran menyakiti diri sendiri. Membutuhkan bantuan bukan berarti gagal, itu berarti kita sedang menjaga diri.
National Institute of Mental Health mencatat bahwa depresi perinatal sering kali memerlukan penanganan karena gejalanya jarang hilang dengan sendirinya.
Dengan terapi, pengobatan, dan dukungan yang tepat, depresi pascapersalinan dapat ditangani dengan baik.
Tag: #merasa #sedih #sekaligus #bahagia #kompleksnya #perasaan #seorang