Kasus Ledakan SMAN 72 Jakarta, Ini Ciri Anak dengan Perilaku Ekstrem Menurut Psikolog
Ledakan SMAN 72 Kelapa Gading. Penyebab korban bullying melakukan tindakan kekerasan.(KOMPAS.com/Omarali Dharmakrisna Soedirman )
12:40
11 November 2025

Kasus Ledakan SMAN 72 Jakarta, Ini Ciri Anak dengan Perilaku Ekstrem Menurut Psikolog

– Peristiwa ledakan di lingkungan SMAN 72, Jakarta Utara, Jumat (7/11/2025) siang, menimbulkan kepanikan di antara siswa dan guru yang tengah beribadah salat Jumat.

Hingga saat ini, pihak kepolisian masih menyelidiki penyebab insiden tersebut. Berdasarkan data, sebanyak 96 orang mengalami luka-luka, baik ringan maupun berat, dengan beberapa di antaranya masih menjalani perawatan.

Dilaporkan oleh Kompas.com, Senin (10/11/2025), pelaku ledakan SMAN 72 diduga merupakan salah satu siswa di sekolah tersebut.

Peristiwa ini kembali memunculkan kekhawatiran tentang potensi perilaku ekstrem pada anak dan remaja, yang bisa berkembang diam-diam tanpa disadari lingkungan sekitar.

Psikolog anak dan remaja Gloria Siagian, M.Psi. menuturkan, perilaku ekstrem pada anak tidak selalu terlihat secara jelas. Meski begitu, ada sejumlah tanda yang bisa menjadi sinyal bagi orangtua dan guru untuk lebih waspada.

Ciri perilaku ekstrem pada anak

1. Kenali pola minat anak yang negatif

Kasus ledakan di SMAN 72 Jakarta menjadi pengingat bagi orangtua dan guru untuk lebih peka terhadap perilaku ekstrem pada anak. Kenali ciri-cirinya.Dok. Unsplash/camilo jimenez Kasus ledakan di SMAN 72 Jakarta menjadi pengingat bagi orangtua dan guru untuk lebih peka terhadap perilaku ekstrem pada anak. Kenali ciri-cirinya.

Menurut Gloria, anak dengan perilaku ekstrem tidak selalu menunjukkan ciri khas yang mudah diidentifikasi.

Namun, salah satu hal yang bisa diperhatikan adalah minat anak terhadap hal-hal yang berbau kekerasan.

“Anak yang memiliki perilaku yang ekstrem itu tidak memiliki tanda yang jelas kelihatan,” ujar Gloria saat dihubungi Kompas.com, Senin (10/11/2025).

“Akan tetapi, bisa jadi anak tersebut memiliki minat pada kekerasan. Hal ini bisa tercermin lewat berita, pencarian di internet, games, dan lain-lainnya yang ada indikasi kekerasan,” tambahnya.

Minat ini dapat terlihat dari konten yang dikonsumsi anak sehari-hari, seperti tayangan, permainan, dan topik yang mereka cari di dunia maya.

Jika anak menunjukkan ketertarikan berlebih terhadap adegan kekerasan atau tokoh yang melakukan tindakan agresif, orangtua disarankan untuk tidak menyepelekannya.

2. Pembicaraan yang dipenuhi unsur kekerasan

Selain dari minat, isi pembicaraan anak juga bisa menjadi petunjuk orangtua.

Gloria menjelaskan, anak yang mulai mengarah pada perilaku ekstrem sering kali membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan kekerasan, baik secara serius maupun dalam bentuk lelucon.

“Selain itu, isi pembicaraan juga kekerasan dan anak tersebut bisa saja kelihatan tidak berempati,” ujarnya.

Kecenderungan ini menunjukkan adanya penurunan rasa empati terhadap orang lain.

Anak mungkin menganggap kekerasan sebagai hal wajar atau bahkan menarik. Bila hal ini terjadi, orangtua perlu mengajak anak berdialog terbuka tentang cara mereka memahami emosi dan konflik.

3. Kurangnya empati terhadap lingkungan sekitar

Kasus ledakan di SMAN 72 Jakarta menjadi pengingat bagi orangtua dan guru untuk lebih peka terhadap perilaku ekstrem pada anak. Kenali ciri-cirinya.Dok. Unsplash/reddfrancisco Kasus ledakan di SMAN 72 Jakarta menjadi pengingat bagi orangtua dan guru untuk lebih peka terhadap perilaku ekstrem pada anak. Kenali ciri-cirinya.

Menurut Gloria, salah satu tanda yang patut diwaspadai adalah berkurangnya empati.

Anak dengan perilaku ekstrem cenderung tidak peduli dengan perasaan orang lain, bahkan bisa menunjukkan sikap dingin terhadap penderitaan sesama.

Empati yang rendah ini bisa tampak dalam interaksi sehari-hari, misalnya ketika anak tidak menyesal setelah menyakiti teman, menertawakan kejadian menyedihkan, atau menganggap kekerasan sebagai hal keren.

Kondisi seperti ini perlu diwaspadai sebagai tanda anak membutuhkan pendampingan psikologis untuk memahami emosi dan membangun kembali rasa empatinya.

4. Tertutup dan cenderung menyendiri

Kasus ledakan di SMAN 72 Jakarta menjadi pengingat bagi orangtua dan guru untuk lebih peka terhadap perilaku ekstrem pada anak. Kenali ciri-cirinya.canva.com Kasus ledakan di SMAN 72 Jakarta menjadi pengingat bagi orangtua dan guru untuk lebih peka terhadap perilaku ekstrem pada anak. Kenali ciri-cirinya.

Selain faktor verbal dan perilaku, Gloria juga menyoroti perubahan sosial anak. Anak yang sebelumnya aktif bersosialisasi bisa tiba-tiba menjadi pendiam, menarik diri, atau tertutup terhadap keluarga maupun teman-teman di sekolah.

“Tak jarang beberapa anak juga menunjukkan perilaku menyendiri atau tertutup,” jelas Gloria.

Menurutnya, perubahan ini bisa menjadi tanda bahwa anak sedang mengalami konflik batin atau tekanan emosional yang belum terselesaikan.

Dalam beberapa kasus, kondisi tersebut dapat menjadi awal dari munculnya perilaku ekstrem apabila tidak segera ditangani.

Pentingnya peran orangtua dan sekolah dalam deteksi dini

Meski tidak ada tanda pasti yang bisa dijadikan acuan tunggal, Gloria menegaskan pentingnya deteksi dini dan komunikasi yang terbuka antara anak, orangtua, serta pihak sekolah.

Orangtua dan guru diharapkan peka terhadap perubahan sikap anak, terutama jika mereka terlihat murung, terobsesi dengan kekerasan, atau mulai menjauh dari lingkungan sosialnya.

Selain itu, pendidikan emosional dan literasi digital juga berperan penting agar anak dapat memilah informasi dengan bijak dan tidak terpapar konten negatif secara berlebihan.

Kasus ledakan di SMAN 72 Jakarta menjadi peringatan bagi semua pihak untuk lebih memperhatikan kondisi psikologis anak dan remaja.

Dengan memahami tanda-tanda awal perilaku ekstrem, diharapkan masyarakat, terutama orangtua dan tenaga pendidik, dapat mencegah munculnya tindakan berbahaya sejak dini.

Tag:  #kasus #ledakan #sman #jakarta #ciri #anak #dengan #perilaku #ekstrem #menurut #psikolog

KOMENTAR