5 Faktor Penyebab Fatherless di Indonesia, Perceraian Jadi yang Pertama
Ilustrasi ayah dan anak.(PEXELS/PIXABAY)
20:10
26 Oktober 2025

5 Faktor Penyebab Fatherless di Indonesia, Perceraian Jadi yang Pertama

- Hilangnya figur ayah dalam kehidupan anak atau yang dikenal dengan fatherless bukan hanya sekadar persoalan keluarga, tetapi juga potret kondisi sosial yang makin kompleks di Indonesia.

Sekitar seperlima anak di Indonesia atau setara dengan 15,9 juta anak di bawah usia 18 tahun berpotensi mengalami fatherless.

“Dari olah data kami, seperlima anak di Indonesia, anak usia kurang dari 18 tahun berpotensi fatherless,” ujar Desk Investigasi & Jurnalisme Data Harian Kompas, Albertus Krisna, dalam acara After Hours: Redefining Father Figure di kawasan Blok M, Jakarta Selatan pada Kamis (23/10/2025).

Faktor penyebab fatherless di Indonesia

1. Perceraian orangtua menjadi faktor utama 

Salah satu faktor yang paling sering dikaitkan dengan hilangnya sosok ayah dalam kehidupan anak adalah perceraian.

“Dari 16 psikolog klinis, paling banyak kata yang muncul ketika kita tanyakan penyebab fatherless itu adalah perceraian. Dari masing-masing psikolog, 16 frasa menyebutkan perceraian,” kata Krisna.

Perpisahan orangtua dapat membuat anak kehilangan kedekatan emosional dengan salah satu figur penting dalam pengasuhannya, yaitu ayah.

“Ketika figur ayah itu hilang, tidak hanya secara fisik, tapi sistem dukungan emosionalnya pun ikut hilang,” ucap Psikolog Klinis, Widya S. Sari, M.Psi., dalam acara yang sama.

2. Jam kerja ayah yang panjang

Selain perceraian, faktor lain yang sering muncul adalah ayah dengan jam kerja yang panjang.

Banyak anak tumbuh hanya bersama ibu karena ayah harus bekerja dalam waktu lama, sehingga waktu untuk berkomunikasi dan berkumpul bersama anak menjadi terbatas.

Meskipun demikian, Widya menilai, keterlibatan ayah tidak hanya diukur dari lamanya waktu yang dihabiskan bersama anak.

Ayah tetap bisa hadir secara emosional untuk anak meskipun dirinya tidak hadir secara fisik. Untuk itu, ayah perlu memberikan ruang komunikasi dan dukungan yang konsisten untuk anaknya.

“Keterlibatan ayah bukan hanya tentang kuantitas waktu, tapi juga kualitas kehadirannya. Situasi hidup tidak selalu ideal, ada ayah yang harus bekerja di luar kota atau luar negeri,” ucapnya.

3. Fisik ayah yang jauh dari anak

Kurangnya penyediaan lapangan pekerjaan juga menjadi salah satu pemicu meningkatkan potensi fatherless di berbagai daerah.

Ayah yang terpaksa merantau jauh dari keluarga berpotensi kehilangan kesempatan hadir secara fisik untuk anaknya.

“Ketika provinsi dengan anak potensi fatherless itu tinggi, di sana penyediaan lapangan kerjanya minim,” tutur Krisna.

Menurut Widya, ketika fisik ayah jauh, tetapi ayah tidak berusaha untuk hadir secara emosional, anak kehilangan sumber kedekatan dan validasi yang penting bagi perkembangan dirinya.

“Pada kondisi-kondisi tertentu di mana pengasuhan tidak ideal, anak tidak belajar secara optimal untuk mengendalikan perilakunya, mengenal emosinya, mengenal perasaan-perasaannya, dan membangun relasi sosial yang sehat,” ungkapnya.

Dalam hal ini, ayah tetap bisa memberikan dukungan emosional bagi anak tanpa perlu hadir secara langsung.

Ibu juga dapat berperan sebagai jembatan antara ayah dan anak dengan meminta ayah untuk tetap ikut serta dalam kehidupan anak di waktu luang yang ada.

“Di tengah kesibukan ayah, ibu bisa melihat celah bahwa ayah bisa masuk ke dalam momen anak.” tambahnya.

4. Kekerasan dalam rumah tangga

Selain perceraian dan pekerjaan, faktor lain yang meningkatkan potensi fatherless adalah kekerasan dalam rumah tangga.

Hubungan yang dipenuhi kekerasan membuat kehadiran ayah justru menjadi sumber ketakutan bagi anak.

Situasi tersebut menciptakan jarak emosional antara ayah dan anak. Akibatnya, anak bisa tumbuh tanpa rasa aman untuk dirinya, sehingga anak juga berkemungkinan untuk menjadi korban kekerasan.

“Anak yang tidak pernah merasa aman dengan ayahnya, sering tumbuh menjadi orang dewasa yang kesulitan merasa aman untuk menjaga dirinya sendiri,” ucap Widya.

“Anak yang tumbuh tanpa figur ayah itu bisa bertumbuh menjadi anak yang tidak percaya diri, dan kadang-kadang banyak menjadi korban kekerasan,” terang Krisna.

5. Kematian ayah, tetap tumbuhkan hal positif

Berbeda dengan faktor-faktor sebelumnya, fatherless juga dapat timbul karena kematian ayah.

Namun, situasi ini tentu tidak bisa dihindari. Kehilangan memang meninggalkan ruang kosong dalam diri anak, tetapi ruang itu tidak selalu harus diisi dengan luka.

Bagi Widya, setiap anak tetap memiliki kemampuan untuk menumbuhkan hal-hal positif dari rasa kehilangan tersebut. 

“Karena satu dan lain hal dan hidup berjalan tidak ideal, tapi bisa diupayakan dari sisi-sisi lainnya. Jadi, kita perlu mengubah narasi fatherless jadi father involve society, baik itu dari figur ayah sebenarnya atau figur-figur yang ada di sekitarnya,” jelas Widya.

“Mungkin apa yang terjadi pada kita tidak mendefinisikan seluruh hidup kita. Bahkan, di ruang kosong, kita masih bisa menumbuhkan hal-hal positif,” pungkasnya.

Tag:  #faktor #penyebab #fatherless #indonesia #perceraian #jadi #yang #pertama

KOMENTAR