



Kenali Tanda-tanda Trauma pada Balita Korban Kekerasan Seksual
Kasus kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh anak berusia 8 tahun terhadap beberapa teman sebayanya kembali membuka mata banyak pihak.
Peristiwa ini menunjukkan, bahwa korban kekerasan seksual bisa jadi masih berusia sangat dini, bahkan balita.
Dalam laporan yang beredar, salah satu korban disebut mengalami trauma hingga enggan kembali beribadah di masjid, tempat insiden terjadi.
Psikiater dr. Jiemi Ardian, Sp.KJ, menjelaskan bahwa balita yang menjadi korban kekerasan seksual sangat mungkin mengalami post-traumatic stress disorder atau gangguan stres pascatrauma (PTSD).
“Penghindaran adalah salah satu gejala PTSD. Dalam kasus ini, misalnya, anak menjadi enggan ke masjid karena trauma dengan kejadian yang terjadi di sana,” ujar dr. Jiemi saat dihubungi Kompas.com, Senin (16/6/2025).
Gejala trauma pada balita
Anak usia dini belum mampu mengekspresikan ketakutan atau luka batin mereka secara verbal.
Namun, perubahan perilaku bisa menjadi sinyal bahwa mereka mengalami gangguan psikologis serius.
Berikut beberapa gejala PTSD pada anak balita menurut dr. Jiemi:
- Menghindari tempat, orang, atau situasi yang mengingatkan pada kejadian traumatis
- Mimpi buruk atau kilas balik (flashback) kejadian
- Emosi tidak stabil, seperti mudah marah, sedih, atau menjadi lebih pendiam
- Kehilangan minat terhadap aktivitas yang sebelumnya disukai
- Perubahan pola tidur dan nafsu makan
“Gejala-gejala ini perlu diperhatikan. Kadang orangtua mengira anak hanya manja atau cari perhatian, padahal itu bentuk reaksi trauma,” ujar dr. Jiemi.
Perlukah pengobatan medis?
Menurut dr. Jiemi, psikoterapi adalah pendekatan utama dalam menangani anak korban kekerasan seksual. Terapi ini bisa disesuaikan dengan usia dan kemampuan komunikasi anak.
“Untuk anak yang belum bisa terapi bicara (talk therapy), ada pilihan terapi lain seperti play therapy atau art therapy. Obat bisa diberikan jika gejalanya sangat berat,” jelasnya.
Pengobatan medis hanya dipertimbangkan jika anak mengalami gangguan berat, seperti insomnia, kecemasan berlebih, atau emosi yang sangat tidak stabil.
Orangtua korban pun bisa terdampak
Bukan hanya anak, orangtua korban kekerasan seksual juga bisa mengalami tekanan psikologis. Rasa bersalah, syok, cemas, dan kehilangan arah kerap muncul sebagai respons emosional.
“Jika orangtua tidak ditangani, mereka bisa mengalami gejala seperti gemetar, insomnia, hingga kesulitan mendampingi anak yang sedang dalam proses pemulihan,” ujar dr. Jiemi.
Dalam kondisi seperti ini, peran psikolog dan psikiater juga penting bagi orangtua, agar mereka mampu mengelola emosinya dan mendampingi anak dengan efektif.
Penanganan harus menyeluruh
Kasus kekerasan seksual pada anak, terlebih jika pelakunya juga masih di bawah umur, maka memerlukan pendekatan komprehensif.
Upaya pemulihan tak hanya berlaku bagi korban, tetapi juga pelaku, keluarga, dan lingkungan sekitar.
Beberapa langkah yang bisa dilakukan antara lain:
- Pemeriksaan psikologis dan pemulihan trauma pada korban
- Rehabilitasi perilaku pada pelaku (bukan penghukuman jika di bawah usia 12 tahun)
- Konseling keluarga
- Pemantauan oleh sekolah dan masyarakat sekitar
“Pendekatan menyeluruh sangat penting. Anak yang menjadi korban maupun pelaku sama-sama membutuhkan penanganan psikologis agar tidak membawa luka lebih dalam di masa depan,” tutup dr. Jiemi.
Tag: #kenali #tanda #tanda #trauma #pada #balita #korban #kekerasan #seksual