Apa yang Terjadi di Sudan? RSF Rebut Kota El Fasher Setelah 18 Bulan Pengepungan, Kekerasan dan Krisis Kemanusiaan Kian Parah
Citra satelit menunjukkan kerusakan dan indikasi kekerasan masif di sekitar El Fasher. (Financial Post)
11:15
3 November 2025

Apa yang Terjadi di Sudan? RSF Rebut Kota El Fasher Setelah 18 Bulan Pengepungan, Kekerasan dan Krisis Kemanusiaan Kian Parah

Konflik bersenjata di Sudan kembali memanas dan menjadi sorotan dunia setelah Pasukan Dukungan Cepat atau Rapid Support Forces (RSF) berhasil merebut kota El Fasher di wilayah Darfur dari tangan militer Sudan.

Perebutan kota ini merupakan puncak dari perang saudara yang pecah sejak April 2023 akibat perebutan kekuasaan antara RSF dan militer, yang telah menewaskan ribuan warga sipil, memicu pengungsian massal, serta mengancam stabilitas nasional.

Kejatuhan El Fasher setelah 18 bulan pengepungan menandai titik balik penting dalam konflik ini dan memunculkan kekhawatiran bahwa Sudan bisa menuju perpecahan wilayah, sekaligus memperburuk krisis kemanusiaan di Darfur yang sudah berlangsung bertahun-tahun.

Dalam pernyataannya, RSF mengklaim telah “menguasai penuh kota El Fasher dari cengkeraman tentara dan milisi.” Kepala Staf Angkatan Darat Sudan, Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, membenarkan bahwa pasukannya telah mundur ke lokasi yang lebih aman. Dengan jatuhnya El Fasher, RSF kini menguasai seluruh kota besar di Darfu, mendorong kekhawatiran bahwa Sudan bisa menuju perpecahan.

Tuduhan Genosida dan Kekerasan Etnis di El Fasher

Dilansir dari The Guardian, Senin (3/11/2025), kemenangan RSF disertai laporan kejahatan kemanusiaan terhadap warga sipil. Kelompok paramiliter itu dituduh mengeksekusi ratusan penduduk tak bersenjata dalam serangan bermotif etnis, serta menculik warga untuk kemudian menuntut uang tebusan.

Yale University’s Humanitarian Research Lab menyebut tingkat kekerasan di El Fasher “setara dengan 24 jam pertama genosida Rwanda.” Laporan itu menggambarkan pembunuhan sistematis terhadap kelompok etnis non-Arab, seperti Fur, Zaghawa, dan Berti, melalui pemindahan paksa dan eksekusi singkat.

Bukti Kekejaman: Video, Kesaksian, dan Citra Satelit

Tidak ada jurnalis internasional yang dapat meliput langsung di El Fasher karena komunikasi di kota itu telah terputus. Sebagian besar informasi muncul dari video yang diunggah di media sosial, banyak di antaranya direkam oleh anggota RSF sendiri, dan kemudian diverifikasi oleh jurnalis serta analis HAM.

Menurut laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), rekaman tersebut memperlihatkan “puluhan pria tak bersenjata ditembak mati atau tergeletak dikelilingi pejuang RSF.” Sementara itu, citra satelit yang dianalisis tim Yale menunjukkan “kluster besar menyerupai jasad manusia dewasa dan perubahan warna tanah yang menunjukkan kekerasan berskala luas.”

Akar Konflik: Dari Milisi Janjaweed hingga Perang Saudara

RSF berakar dari milisi Janjaweed yang dibentuk pada 2013 oleh mantan presiden Omar al-Bashir untuk menumpas pemberontakan di Darfur. Operasi itu berujung pada genosida yang menewaskan sekitar 300.000 orang.

Konflik bersenjata kemudian pecah pada April 2023 setelah perebutan kekuasaan antara militer dan RSF. Sejak saat itu, kedua pihak dituduh melakukan pelanggaran HAM berat.

Pada 2024, kelaparan melanda kamp pengungsi Zamzam di selatan El Fasher, dan pada April 2025, RSF diduga membunuh hingga 2.000 orang saat merebut kamp yang menampung setengah juta pengungsi tersebut.

Dugaan Campur Tangan Uni Emirat Arab dan Kritik Dunia Internasional

Komunitas internasional sempat berusaha mencari jalan damai melalui konferensi di London yang dihadiri 17 negara, Uni Eropa, dan Uni Afrika. Namun, upaya itu justru menuai kritik karena beberapa negara peserta, termasuk Uni Emirat Arab (UEA), dituduh mendukung RSF secara diam-diam.

Pemerintah Sudan menuding UEA memasok senjata kepada RSF, tuduhan yang dibantah Emirat. Namun, laporan pakar PBB pada April 2025 menemukan “beberapa penerbangan kargo dari UEA ke pangkalan di Chad yang tampaknya sengaja menghindari deteksi,” diduga membawa senjata ke Darfur.

Hubungan UEA dan RSF telah terjalin sejak 2015, ketika RSF mengirim pasukan bayaran untuk perang di Yaman di bawah koalisi Arab Saudi–UEA. Selain faktor militer, Sudan juga menjadi sumber emas penting bagi Emirat dalam beberapa tahun terakhir.

Sudan di Ambang Krisis Kemanusiaan dan Disintegrasi

Dengan kekuasaan RSF yang kini meluas di Darfur, Sudan berada di ambang disintegrasi. Perang saudara yang bermula dari perebutan kekuasaan kini berubah menjadi tragedi kemanusiaan yang menelan korban massal dan mengancam masa depan negara tersebut.

“Situasi di El Fasher menggambarkan bencana kemanusiaan yang berkembang cepat dan berpotensi mengubah peta politik Sudan selamanya,” tulis The Guardian dalam laporannya.

Dalam diamnya dunia, jutaan warga Sudan kini hidup di bawah bayang-bayang kekerasan, kelaparan, dan ketakutan. Setiap hari tanpa gencatan senjata berarti semakin banyak nyawa melayang dan generasi yang hilang.

Di tengah kehancuran itu, harapan akan perdamaian tampak semakin jauh, namun tanpa kepedulian dan tindakan nyata dari komunitas internasional, tragedi Darfur bukan hanya akan mencatat sejarah kelam bagi Sudan, tetapi juga bagi kemanusiaan itu sendiri. (*)

Editor: Siti Nur Qasanah

Tag:  #yang #terjadi #sudan #rebut #kota #fasher #setelah #bulan #pengepungan #kekerasan #krisis #kemanusiaan #kian #parah

KOMENTAR