Runtuhnya Dinasti Qing: Akhir Kekaisaran dan Awal Republik Tiongkok
Tentara pemberontak yang menembaki pasukan Dinasti Qing selama Pemberontakan Wuchang pada 1911. (Chinese History Digest)
08:51
10 Oktober 2025

Runtuhnya Dinasti Qing: Akhir Kekaisaran dan Awal Republik Tiongkok

Dinasti Qing merupakan dinasti terakhir yang memerintah Tiongkok, berkuasa dari tahun 1644 hingga 1911 atau 1912.

Dinasti ini dipimpin oleh etnis Manchu, dan berasal dari wilayah yang kini dikenal sebagai Tiongkok timur laut. Kaum Manchu memiliki bahasa serta adat istiadat tersendiri yang membedakan mereka dari mayoritas penduduk Han.

Dikutip dari National Geographic, selama masa kekuasaan Qing, wilayah Tiongkok mencapai ekspansi terbesarnya dan mengalami stabilitas yang cukup panjang.

Namun, memasuki abad ke-19 hingga awal abad ke-20, Tiongkok mulai menghadapi tekanan hebat dari kekuatan Barat, yang akhirnya mengguncang kekuasaan dinasti ini.

Pada tahun 1911, Kaisar terakhir, Puyi, resmi turun takhta, menandai berakhirnya era kekaisaran dan lahirnya pemerintahan republik.

Sejarah Panjang Dinasti di Tiongkok

Kejatuhan Dinasti Qing pada 1911-1912 menandai berakhirnya sejarah panjang kekaisaran Tiongkok yang telah berlangsung selama lebih dari dua milenium, dimulai sejak Qin Shi Huangdi menyatukan Tiongkok pada 221 SM.

Menurut ThoughtCo, dalam sebagian besar periode tersebut, Tiongkok dikenal sebagai kekuatan utama di Asia Timur, dengan pengaruh budaya yang meluas ke Korea, Vietnam, dan Jepang. Namun, masa kejayaan itu perlahan meredup ketika kekuasaan Qing melemah di bawah tekanan internal dan eksternal.

Dinasti Qing, yang berasal dari Manchuria, naik takhta dengan menaklukkan Dinasti Ming. Selama 268 tahun masa pemerintahannya, penguasa Qing mempertahankan identitas dan struktur sosial mereka sebagai penakluk dari luar.

Mereka memisahkan diri dari rakyat Tiongkok dalam hal bahasa, ritual, hingga struktur sosial.

Konflik Internal dan Eksternal dalam Dinasti

Salah satu perlawanan besar terhadap kekuasaan Qing muncul dalam bentuk Pemberontakan Teratai Putih (White Lotus Rebellion) yang berlangsung dari 1796 hingga 1820. Konflik ini berawal dari ketegangan antara migran Han yang masuk ke wilayah utara dan penduduk asli setempat, akibat pertumbuhan populasi yang pesat dan perebutan sumber daya.

Teknologi pertanian yang berkembang, termasuk penggunaan pupuk, irigasi, serta pengobatan penyakit seperti cacar yang diadopsi dari Barat, membuat populasi Tiongkok meningkat tajam.

Pada pertengahan abad ke-18, jumlah penduduk melonjak dari 178 juta menjadi lebih dari 430 juta pada 1851. Ketimpangan ekonomi dan kepadatan penduduk memicu konflik sosial, dan pemberontakan Teratai Putih menjadi simbol awal perlawanan terhadap pemerintahan Qing.

Selain pemberontakan rakyat, kesalahan besar Qing dalam menghadapi imperialisme Barat juga mempercepat kejatuhannya. Menurut ThoughtCo, kekaisaran Qing salah menilai kekuatan Inggris di bawah Ratu Victoria. Dengan keangkuhannya, Qing membatasi perdagangan asing secara ketat dan menolak negosiasi ekonomi.

Inggris, yang kala itu menjadi pasar besar teh Tiongkok, menolak membayar menggunakan emas dan perak, lalu memulai perdagangan opium ilegal dari India ke Kanton. Ketika otoritas Qing membakar sekitar 20.000 bal opium, Inggris membalas dengan invasi brutal ke daratan Tiongkok.

Dua perang besar, yaitu Perang Candu Pertama (1839-1842) dan Perang Candu Kedua (1856-1860), berakhir dengan kekalahan Qing. Inggris memaksa Tiongkok menandatangani perjanjian yang merugikan dengan menyerahkan wilayah Hong Kong, serta membayar ganti rugi dalam jumlah besar.

Kekalahan ini mempermalukan Qing di mata rakyat dan negara tetangga, menandakan bahwa kekaisaran besar Tiongkok telah kehilangan kekuatannya.

Kekalahan demi kekalahan memicu keresahan internal yang makin meluas. Kekalahan dalam Perang Candu membuktikan bahwa Dinasti Qing telah kehilangan “Mandat Langit”, yaitu sebuah konsep spiritual yang menjadi dasar kekuasaan kaisar.

Kaisar perempuan, Empress Dowager Cixi, yang memimpin Qing pada masa itu, menolak reformasi besar dan modernisasi. Padahal, Jepang yang baru saja mengalami Restorasi Meiji telah berhasil memodernisasi negaranya dengan cepat. Sikap konservatif ini membuat Qing semakin tertinggal dalam menghadapi tantangan modernisasi dan kekuatan asing.

Tokoh Revolusioner

Memasuki awal abad ke-20, muncul tokoh-tokoh revolusioner seperti Sun Yat-sen yang menyerukan penggulingan rezim lama dan pembentukan pemerintahan konstitusional. Gagasan modern seperti Darwinisme sosial yang diterjemahkan oleh Yan Fu pada 1896 turut memperkuat semangat perubahan.

Qing mencoba meredam gerakan ini dengan melarang penggunaan kata revolusi dalam buku pelajaran dan mengganti istilah seperti Revolusi Prancis menjadi pemberontakan. Namun, langkah tersebut tidak mampu menghentikan gelombang reformasi.

Puncak kejatuhan Qing terjadi setelah Pemberontakan Wuchang pada 1911, ketika 18 provinsi Tiongkok menyatakan pemisahan diri dari kekuasaan Qing.

Pada 12 Februari 1912, Kaisar muda Puyi yang baru berusia enam tahun resmi turun takhta. Dengan demikian, berakhirlah kekuasaan kekaisaran yang telah bertahan selama ribuan tahun, dan dimulailah era baru Republik Tiongkok dengan Sun Yat-sen sebagai presiden pertamanya.

Pacsa-Kejatuhan Dinasti

Menurut Office of the Historian, meski Republik Tiongkok berhasil berdiri dan menjadikan Nanjing sebagai pusat pemerintahannya, negara baru ini gagal mempersatukan seluruh wilayah.

Kekosongan kekuasaan pasca-kejatuhan Qing justru melahirkan para panglima perang yang memerintah secara otonom tanpa tunduk pada pemerintah pusat.

Di sisi lain, reformasi yang dijanjikan pemerintahan baru tidak sepenuhnya berjalan sesuai harapan, penyatuan negara dianggap lebih penting daripada perubahan sosial yang mendasar.

Secara internasional, revolusi ini disambut dengan hati-hati. Negara-negara Barat yang telah memiliki kepentingan ekonomi di Tiongkok memilih bersikap netral demi melindungi hak-hak perdagangan mereka yang diperoleh melalui perjanjian era Qing, khususnya setelah Perang Candu.

Amerika Serikat menjadi salah satu negara pertama yang mendukung pemerintahan republik, dan menjalin hubungan diplomatik penuh pada tahun 1913. Tak lama kemudian, Inggris, Jepang, dan Rusia juga mengikuti langkah tersebut. (*)

Editor: Siti Nur Qasanah

Tag:  #runtuhnya #dinasti #qing #akhir #kekaisaran #awal #republik #tiongkok

KOMENTAR