Wajah Gelap Pengawasan Digital di Korea Utara: Ketika Smartphone Menjadi Senjata Rezim
Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un (KCNA/ Reuters)
16:20
5 Juni 2025

Wajah Gelap Pengawasan Digital di Korea Utara: Ketika Smartphone Menjadi Senjata Rezim

Sebuah smartphone yang berhasil diselundupkan keluar dari Korea Utara mengungkap fakta mencengangkan tentang bagaimana teknologi digunakan oleh rezim Kim Jong-un untuk memperkuat cengkeraman kekuasaan dan menindas kebebasan rakyatnya.

Temuan ini menambah daftar panjang praktik pengawasan ekstrem di salah satu negara paling tertutup di dunia.

Dilansir dari UNILAD, hasil investigasi itu yang dilakukan oleh BBC News.

Menunjukkan bahwa perangkat seluler yang tampak biasa itu sebenarnya telah dimodifikasi secara khusus oleh pemerintah Korea Utara. Dari luar, bentuknya memang menyerupai ponsel pada umumnya.

Namun di dalamnya, tersembunyi sistem pengawasan yang sangat canggih dan mengerikan.

Ponsel tersebut diketahui mengambil tangkapan layar secara otomatis setiap lima menit. Gambar-gambar ini kemudian disimpan dalam folder tersembunyi yang tidak dapat diakses oleh pengguna, melainkan hanya dapat dibuka oleh pihak berwenang.

Ini berarti setiap aktivitas pengguna, termasuk percakapan pribadi, penelusuran informasi, hingga aplikasi yang digunakan, dapat dimonitor secara diam-diam.

Lebih jauh, sistem sensor juga ditanamkan dalam fitur teksnya. Ketika seorang jurnalis BBC, Jean Mackenzie, mencoba mengetik kata “oppa”, yang dalam budaya Korea Selatan sering digunakan sebagai panggilan sayang kepada kekasih pria – ponsel itu secara otomatis mengoreksinya menjadi “comrade” (rekan).

Kata itu, menurut ponsel, hanya boleh digunakan untuk menyebut saudara kandung. Penggantian kata ini mencerminkan ideologi negara yang berupaya mensterilkan pengaruh budaya asing dan menjaga narasi tunggal tentang hubungan sosial.

Tak hanya itu. Ketika pengguna mencoba mengetikkan “Korea Selatan”, ponsel akan secara otomatis menggantinya dengan istilah “negara boneka”, sebutan propaganda yang selama ini digunakan pemerintah Korea Utara untuk merujuk pada tetangganya di selatan.

Hal ini mencerminkan betapa ketat dan sistematisnya kontrol ideologi yang dibangun negara lewat perangkat sehari-hari.

Pengawasan digital bukan sekadar teori atau ancaman samar. Berdasarkan laporan media pada tahun lalu, sebanyak 30 remaja dilaporkan dieksekusi secara publik karena kedapatan menonton drama Korea Selatan, sebuah tindakan yang dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap ideologi negara.

Martyn Williams, seorang pakar teknologi informasi Korea Utara, menjelaskan kepada BBC bahwa ponsel cerdas kini telah menjadi alat utama dalam doktrinasi.

“Alasan utama kontrol ketat ini adalah karena banyak mitos seputar keluarga Kim sebenarnya adalah kebohongan.

Mereka sangat takut jika rakyat mengetahui kebenaran dari luar,” ujarnya.

ilustrasi smartphone (freepik.com/freepik)ilustrasi smartphone (freepik.com/freepik)

Sementara itu, Kang Gyuri, seorang pembelot asal Korea Utara yang berhasil melarikan diri pada 2023 dan kini tinggal di Korea Selatan, menceritakan pengalaman kelamnya hidup dalam pengawasan total.

“Saya merasa tercekik. Saya dulu berpikir pembatasan seperti ini normal. Saya mengira negara lain juga hidup seperti itu. Tapi setelah keluar, saya sadar hanya Korea Utara yang seperti ini,” ungkapnya.

Upaya penyelundupan media dari Korea Selatan, seperti drama dan musik K-pop, terus dilakukan oleh para aktivis dengan cara-cara unik, seperti mengapungkan USB dalam botol ke perbatasan sungai.

Namun, risikonya sangat besar, dan pemerintah Korea Utara menanggapinya dengan tindakan yang brutal.

Di tengah gelombang globalisasi dan keterbukaan informasi, Korea Utara justru semakin membentengi diri dengan teknologi yang mengintai warganya sendiri.

Di tangan rezim otoriter, teknologi bukanlah alat pembebasan, melainkan senjata represi.

Smartphone yang seharusnya menjadi simbol konektivitas dan kemerdekaan justru berubah menjadi mata-mata negara yang selalu mengintai, mencatat, dan mengontrol setiap detik kehidupan rakyatnya.

Temuan ini menjadi pengingat bahwa dalam konteks otoritarianisme, teknologi dapat menjadi pisau bermata dua: membawa harapan, tapi juga ketakutan. Dan di Korea Utara, sisi gelap itu sangat nyata.

Editor: Budi Arista Romadhoni

Tag:  #wajah #gelap #pengawasan #digital #korea #utara #ketika #smartphone #menjadi #senjata #rezim

KOMENTAR