Pelemahan Rupiah, US Treasury, dan Capital Outflow Bikin BI Bertahan
- Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap USD, capital outflow, dan kenaikan imbal hasil US Treasury nampaknya menjadi perhatian Bank Indonesia (BI). Meski memiliki ruang untuk melakukan pemangkasan suku bunga acuan, arah kebijakan bank sentral cenderung memilih bertahan.
Chief Economist and Head of Research Mirae Aset Rully Arya Wisnubroto menyatakan, tekanan terhadap pasar keuangan terus berlanjut. Sejak kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden Amerika Serikat (AS) pada 5 November lalu, indeks harga saham gabungan (IHSG) sudah merosot 4,8 persen. Dengan total arus keluar dana investor asing bersih mencapai Rp 9,6 triliun atau USD 611 juta.
"Prospek pasar dalam jangka pendek hingga menengah masih belum pasti, dengan dua indikator pasar global utama, indeks USD (DXY) dan imbal hasil US Treasury memainkan peran penting dalam mempengaruhi dinamika pasar," jelas Rully, Selasa (19/11).
Menurut dia, prospek penurunan Fed funds rate (FFR) di 2025 kemungkinan tidak seagresif yang diperkirakan. Seiring dengan kondisi pasar saat ini tidak stabil dan tidak dapat diprediksi. Pelaku pasar mengantisipasi penurunan FFR sebesar 25 basis point (bps) pada pertemuan Federal Open Market Committee Desember mendatang.
"Ke depan, pergerakan data ekonomi AS yang masuk akan memainkan peran penting. Karena The Fed tetap bergantung pada data indikator utama seperti laporan ketenagakerjaan bulanan akan sangat memengaruhi sentimen pasar," imbuhnya.
Rully memperkirakan, BI kemungkinan akan mempertahankan suku bunga acuannya (BI rate) tetap 6 persen pada pengumuman hasil rapat dewan gubernur hari ini. Namun tetap membuka kemungkinan penurunan suku bunga di masa mendatang. Tergantung pada lintasan inflasi jangka panjang dan volatilitas nilai tukar rupiah dalam jangka pendek.
Sentimen negatif belakangan ini bersumber dari kenaikan imbal hasil US Treasury dan penguatan indeks DXY. Selama kedua indikator tersebut terus menunjukkan tren menguat, maka IHSG kemungkinan akan terus mengalami tekanan. "Pada gilirannya, akan memberikan tekanan terhadap nilai tukar rupiah dan menyebabkan berlanjutnya arus keluar modal. Baik dari pasar saham maupun obligasi pemerintah Indonesia," ujarnya.
Vice President Infovesta Wawan Hendrayana juga memproyeksi BI bakal menahan suku bunga acuannya. Meski, pasar berharap terjadi penurunan BI rate. Sejalan dengan ekonomi dalam negeri yang lesu dan daya beli masyarakat menurun.
Hanya saja, sentimen dari luar masih sangat kuat pasca Trump kembali terpilih menjadi Presiden AS. Didukung data tenaga kerja AS yang menguat. Hal itu membuat The Fed tidak akan terlalu agresif memangkas suku bunga acuannya.
"Artinya penurunan suku bunga The fed itu sepertinya hanya tersisa 1 kali saja. Dan penurunan lebih lanjut agak menunggu data (ekonomi AS) dulu. Sehingga akan lebih prudent, kalau BI mempertahankan suku bunga di level sekarang," ungkapnya kepada Jawa Pos.
Apalagi, belakangan nilai tukar rupiah melemah terhadap USD. Merujuk data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR), rupiah berada di level Rp 15.873 per USD pada 14 November. Yang terbaru, masih berada di posisi Rp 15.816 per USD.
"Kalau misalnya BI kembali menurunkan suku bunga bisa jadi, pelemahan itu akan berlanjut. Bahkan mungkin di level Rp 16 ribu lagi. Tapi di sisi lain, akan mendapat sentimen positif dari pasar bagi pertumbuhan kredit dan ekonomi di dalam negeri," ungkap Wawan. (han)
Tag: #pelemahan #rupiah #treasury #capital #outflow #bikin #bertahan