Fenomena Discouraged Workers: Mengapa Jutaan Warga RI Menyerah Cari Kerja?
- Data BRIN 2024 menunjukkan 2,7 juta orang menjadi discouraged workers karena kegagalan mencari pekerjaan formal.
- Struktur ekonomi nasional mengalami permasalahan yang menyebabkan serapan tenaga kerja formal belum optimal dan merata.
- Pemerintah fokus pada peningkatan kualitas SDM melalui vokasi dan reskilling untuk mengatasi kesenjangan pasar kerja.
Di balik angka statistik pengangguran yang terlihat menurun, muncul fenomena gunung es yang mengkhawatirkan di mana saat ini jutaan orang di Indonesia masuk ke dalam kategori "putus asa mencari kerja".
Mereka bukan lagi pengangguran aktif, melainkan kelompok yang menyerah karena merasa tidak ada lowongan yang cocok atau selalu menemui kegagalan. Kelompok bahkan punya julukan sendiri: discouraged workers.
Apa yang Terjadi?
Berdasarkan laporan terbaru dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) serta data sekunder yang berkembang di akhir 2025, fenomena ini disebut sebagai discouraged workers.
Dari data BRIN menunjukkan bahwa jumlah orang yang putus asa mencari kerja meningkat drastis pada 2024 yang mencapai 2,7 juta orang. Jumlah tersebut naik dibandingkan 2019 sebanyak 883.000 orang.
Kepala Pusat Riset Ekonomi Makro dan Keuangan (PR EMK) BRIN, Zamroni Salim menjelaskan, sebagian besar orang yang putus asa merupakan lulusan SD dengan persentase 37,97 persen. Kemudian lulusan SMA berada di posisi kedua dengan persentase 24,86 persen dan lulusan SMP 20,72 persen.
"Ada sejumlah angkatan kerja yang putus asa. Jadi, putus asa mencari pekerjaan," kata Zamroni dalam Seminar Economic Outlook 2026 di Kantor BRIN, Jakarta, Jumat (19/12/2025).
Jika dahulu kelompok yang pupus mencari kerja adalah lulusan SD, SMP, SMA, kini kondisi itu meluas hingga kelompok dengan lulusan yang lebih tinggi yakni diploma hingga sarjana.
Fenomena ini paling tajam terjadi pada generasi muda. Banyak lulusan baru (S1 dan Diploma) yang akhirnya terjebak dalam status Not in Education, Employment, or Training (NEET).
PerbesarFenomena discouraged workers sedang terjadi di Indonesia dan jumlahnya terus meningkat. Apa yang salah? [Suara.com/Syahda]Mengapa Ini Bisa Terjadi?
Menurut Zamroni, kondisi ini karana adanya permasalahan struktural dalam perekonomian nasional sehingga tidak bisa menyerap angkatan kerja. Ia juga menyoroti para pencari kerja yang justru terserap ke sektor informal yang rentan karena tidak dilindungi jaminan sosial.
Disisi lain data dari Badan Pusat Statistik (BPS) justru menggambarkan situasi yang berbeda dimana jumlah pengangguran di Indonesia pada Agustus 2025 mencapai 7,46 juta orang dengan tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada Agustus sebesar 4,85 persen. Angka ini mengalami penurunan 0,06 persen poin dibandingkan dengan Agustus 2024.
TPT sendiri merupakan indikator yang digunakan untuk mengukur tenaga kerja yang tidak terserap oleh pasar kerja. Angka ini juga menggambarkan kurang termanfaatkannya pasokan tenaga kerja.
“Angka ini lebih rendah jika dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya,” kata Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS Moh. Edy Mahmud pada awal November 2025.
Meskipun jumlah pengangguran turun dibanding tahun lalu, BPS mencatat kenaikan proporsi pekerja di sektor informal (seperti ojek online atau pedagang eceran) yang kini mendominasi hampir 60 persen dari total penduduk bekerja.
Laporan dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), angka pekerja Tidak Penuh yang dikategorikan sebagai pekerja informal, termasuk pekerja Paruh Waktu dan setengah pengangguran, mengalami peningkatan dari 46,19 juta menjadi 47,89 juta orang secara tahunan.
“Banyak pekerja informal maupun pekerja platform bekerja dalam kondisi yang tidak stabil, di mana jam kerja panjang dan upah rendah, serta minimnya dukungan jaringan sosial,” papar INDEF dalam Laporan Proyeksi Ekonomi Indonesia 2026: Menata Ulang Arah Ekonomi Berkeadilan, November 2025.
Pada saat yang sama, jumlah penduduk yang Tidak Bekerja dan Tidak Mencari Kerja karena putus asa meningkat dari 1,68 juta (2024) menjadi 1,87 juta orang (2025), naik 11% dalam setahun. Kondisi ini jadi paradoks, menargetkan pertumbuhan ambisius tapi kapasitas tenaga kerja untuk mendukung pertumbuhan itu malah menyusut.
Secara proporsi, jumlah penduduk ini didominasi oleh penduduk lulusan SD atau tidak tamat SD sebesar 50,07 persen, lulusan SMP 20,21 persen, SMA 17,29 persen, SMK 8,09 persen, S1 2,42 persen, Diploma 1,57 persen, dan S2 0,35 persen.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menilai konsistensi kebijakan antarsektoral pemerintah sangat penting dalam upaya penciptaan lapangan kerja di Indonesia.
"Ini harus betul-betul konsisten antara satu, kebijakan antarsektoralnya, satu sama lain harus sinkron, termasuk juga dengan kebijakan fiskal dan kebijakan moneter,” kata Faisal saat dihubungi Suara.com.
Dalam laporan World Economic Outlook edisi April 2025, yang dirilis Dana Moneter Internasional (IMF), menempatkan Indonesia sebagai negara dengan jumlah pengangguran nomor wahid di Asia Tenggara. Sementara jiran Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, hingga Filipina cenderung memiliki tingkat pengangguran yang lebih rendah.
Persentase pengangguran (unemployment rate) Indonesia dalam laporan IMF sebesar 5 persen. IMF memprediksi angka tersebut akan meningkat menjadi 5,1 persen tahun depan.
Penyebab pengangguran menurut analisis IMF adalah ketidakpastian global yang membuat melonjaknya angka pengangguran di berbagai negara. Ketidakpastian tersebut dipicu perubahan kebijakan perdagangan secara global, kebijakan proteksi perdagangan, hingga permasalahan geopolitik.
“Meningkatnya ketegangan perdagangan dan tingkat ketidakpastian kebijakan yang sangat tinggi diperkirakan akan berdampak signifikan pada aktivitas ekonomi global,” sebut laporan World Economic Outlook April 2025.
Ketidakpastian ini memicu perlambatan ekonomi secara masif. Imbasnya, permintaan pasar mengalami penurunan. Walhasil pengusaha memutuskan menunda ekspansi, mengurangi investasi, dan memangkas belanja produksi. Dampaknya juga terasa dengan menurunnya keterserapan angkatan kerja dan meningkatnya PHK.
Shinta W. Kamdani, Ketua Umum Apindo, menyoroti bahwa setiap Rp1 triliun investasi kini hanya mampu menyerap sekitar 1.200 tenaga kerja, jauh menurun dibanding tujuh tahun lalu yang mencapai 4.000 orang.
Shinta menyatakan kekhawatirannya terhadap kualitas lapangan kerja.
"Hampir 67 persen pengangguran nasional didominasi oleh anak muda (Gen Z). Kami khawatir angka pengangguran yang turun hanya semu, karena mereka sebenarnya 'terpaksa' masuk ke sektor informal yang tidak memiliki jaminan kesejahteraan." katanya.
Solusi yang Ditawarkan
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli menekankan bahwa solusi utama adalah menjaga keseimbangan supply dan demand, terutama memperbaiki kualitas Sumber Daya Manusia (SDM).
"Pemerintah fokus pada penguatan pendidikan vokasi dan reskilling agar tenaga kerja kita relevan dengan kebutuhan pasar. Kami juga mendorong skema kewirausahaan bagi mereka yang terkena PHK agar tidak jatuh ke dalam keputusasaan." kata Yassierli.
Yassierli tak menampik kini terjadi keterbatasan lapangan pekerjaan. Namun, perusahaan maupun industri saat ini memerlukan SDM yang memiliki kemampuan lengkap, mulai soft skill hingga hard skill.
"Keterbatasan lapangan kerja, itu juga kita akui," ucap dia.
Maka dari itu, ia mengungkapkan, saat ini diperlukan kolaborasi atau link and match yang dilakukan satuan pendidikan dan industri. Hal tersebut bertujuan agar satuan pendidikan mampu mencetak SDM yang dibutuhkan industri guna terciptanya lapangan pekerjaan.
"Itu yang kemudian menjadi PR (pekerjaan rumah), sehingga harus kita review kembali targetnya dengan melibatkan lebih banyak stakeholders, termasuk kampus nanti. Tentulah, itu kan semua menjadi strategi kita untuk penciptaan lapangan kerja nanti," terangnya.
Yassierli mengungkapkan bahwa dalam berbagai macam program prioritas pemerintahan Presiden Prabowo Subianto memiliki tujuan untuk penciptaan lapangan pekerjaan. Namun, ia mengakui, kondisi global saat ini sedang tidak baik dan tak pasti.
"Pak Presiden mengatakan, semua program pemerintah tujuan nomor satu itu adalah penciptaan lapangan kerja. Yang kedua itu adalah meningkatan produktivitas bangsa," beber Yassierli.
Pengangguran di Indonesia sulit ditekan karena adanya ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan tenaga kerja, ketidaksesuaian keterampilan, dan pertumbuhan lapangan kerja yang belum optimal.
“Lonjakan belasan persen dalam satu tahun menunjukkan bahwa ada segmen penduduk yang bergeser dari posisi ‘mencari kerja’ menjadi ‘menyerah’, yang berarti kehilangan kepercayaan terhadap peluang pasar kerja yang tersedia,” kata laporan Labor Market Brief yang dirilis oleh Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI).
Kenaikan angka 11 persen bukan cuma angka statistik, tapi punya dampak besar terhadap target pertumbuhan ekonomi yang ingin dicapai. Setidaknya ada tiga hal yang bisa disebabkan oleh angka 11 persen ini.
Pertama, dengan adanya 11 persen jumlah penduduk yang Tidak Bekerja dan Tidak Mencari Kerja ini artinya Indonesia kehilangan tenaga kerja potensial, bahkan sebelum mereka diberi kesempatan.
Kedua, adanya kegagalan sistemik yang membuat transisi 'pendidikan-ke-pekerjaan' menjadi jauh panggang dari api. Ketiga, adanya mismatch atau ketidakcocokan keterampilan dan lambatnya penciptaan lapangan kerja formal, yang membuat sebagian penduduk mundur dari arena kompetisi.
Sementara, International Labour Organization (ILO) menyebut kondisi struktural ini juga terjadi lantaran adanya ketidaksesuaian tingkat pendidikan formal yang dimiliki pekerja tidak sesuai dengan tingkat pendidikan yang secara umum dibutuhkan untuk pekerjaannya, alias overeducated.
Tag: #fenomena #discouraged #workers #mengapa #jutaan #warga #menyerah #cari #kerja