Sawit, Swasembada Energi, dan Pertaruhan Masa Depan Papua
Hutan primer Papua kini mulai beralih fungsi menjadi kebun kelapa sawit.(GREENPEACE via BBC INDONESIA)
11:40
17 Desember 2025

Sawit, Swasembada Energi, dan Pertaruhan Masa Depan Papua

AMBISI swasembada energi kembali dikibarkan sebagai proyek ideologis besar pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

Dalam pernyataannya yang viral, Prabowo mendorong penanaman sawit di Papua untuk menghasilkan bahan bakar minyak.

Di hadapan publik, gagasan ini dibungkus dengan narasi patriotisme ekonomi: mengakhiri impor, menyelamatkan ratusan triliun rupiah devisa, dan membangun kemandirian nasional.

Sekilas, argumen tersebut terdengar rasional dan menggugah, seolah menawarkan jalan cepat keluar dari ketergantungan energi yang selama ini membebani negara.

Namun, di balik retorika heroik itu, tersimpan logika lama yang berbahaya. Swasembada energi direduksi menjadi persoalan teknis substitusi impor, sementara dimensi ekologis dan sosial dipinggirkan.

Cara pandang semacam ini mengulang keyakinan usang bahwa krisis nasional dapat diselesaikan dengan membuka lahan baru, tanpa belajar dari kegagalan ekologis di masa lalu.

Energi, dalam kerangka ini, tidak lagi dipahami sebagai kebijakan publik yang kompleks, melainkan sebagai alat pembuktian ideologi kekuasaan.

Bagi Papua, pernyataan tersebut bukan sekadar wacana pembangunan, melainkan sinyal ancaman yang nyata.

Sejarah panjang eksploitasi sumber daya di Indonesia menunjukkan pola yang konsisten: ketika pusat membutuhkan energi, pangan, atau devisa, maka wilayah pinggiran dianggap sah untuk dikorbankan.

Sumatera dan Kalimantan telah membayar harga mahal melalui deforestasi dan krisis lingkungan berkepanjangan. Kini, ketika luka ekologis itu belum sembuh, Papua kembali ditunjuk sebagai medan baru ambisi negara.

Dalam kerangka ideologis Prabowo, swasembada energi ditempatkan sebagai proyek kedaulatan negara yang nyaris tak boleh digugat. Kritik terhadapnya kerap diposisikan sebagai sikap anti-nasional atau anti-pembangunan.

Inilah problem dasarnya: energi tidak lagi diperlakukan sebagai persoalan kebijakan publik yang rasional dan terbuka untuk diuji, melainkan sebagai doktrin politik yang harus diterima.

Logika yang dibangun sangat reduksionis. Impor BBM dianggap sebagai sumber utama kelemahan ekonomi nasional, sehingga solusi yang ditawarkan adalah menggantinya dengan biodiesel sawit dalam skala masif.

Padahal, krisis energi Indonesia tidak hanya soal impor, melainkan soal ketergantungan pada sumber energi kotor, tata kelola yang timpang, serta dominasi segelintir korporasi dalam rantai pasok energi.

Menjawab problem struktural ini dengan menanam sawit di Papua adalah jalan pintas yang ideologis, bukan solusi strategis.

Lebih problematik lagi, pendekatan ini menempatkan alam sebagai instrumen kekuasaan. Hutan diperlakukan sebagai cadangan logistik negara, bukan sebagai sistem kehidupan yang memiliki batas ekologis.

Ketika swasembada energi dijalankan dengan cara ini, yang lahir bukan kedaulatan, melainkan bentuk baru kolonialisme internal: pusat menguasai, daerah menanggung dampak.

Papua dalam logika pengorbanan nasional

Papua terus-menerus hadir dalam imajinasi pembangunan nasional sebagai ruang kosong—tanah luas yang belum dimanfaatkan, hutan lebat yang dianggap menganggur.

Cara pandang inilah yang membuat gagasan sawit di Papua terasa sah bagi elite di Jakarta. Padahal, Papua adalah benteng ekologis terakhir Indonesia, sekaligus ruang hidup masyarakat adat dengan sistem pengetahuan dan pangan yang telah teruji selama ratusan tahun.

Menanam sawit di Papua berarti memaksakan model ekonomi monokultur ke dalam ekosistem yang rapuh.

Banyak wilayah sasaran berada di lahan basah dan gambut yang secara ilmiah tidak cocok untuk perkebunan skala besar.

Pengeringan gambut demi sawit bukan hanya kesalahan teknis, tetapi tindakan anti-sains yang berpotensi menciptakan krisis ekologis permanen: kebakaran, banjir, dan pelepasan emisi karbon dalam skala masif.

Dari sisi sosial, ekspansi sawit hampir selalu identik dengan konflik agraria. Hak ulayat masyarakat adat sering direduksi menjadi formalitas administratif.

Ketika negara menetapkan proyek strategis nasional dan mengerahkan aparat keamanan, ruang deliberasi publik menghilang.

Dalam situasi seperti ini, Papua tidak dibangun, melainkan dikorbankan—demi memenuhi ambisi energi yang dirumuskan jauh dari tanah dan hutan mereka.

Yang paling mengkhawatirkan dari gagasan sawit di Papua adalah kenyataan bahwa ia bukan satu-satunya pilihan. Negara memiliki banyak alternatif untuk membangun kedaulatan energi tanpa membuka hutan baru.

Produktivitas sawit rakyat di Sumatera dan Kalimantan masih rendah dan bisa ditingkatkan secara signifikan melalui peremajaan dan perbaikan tata kelola. Langkah ini jauh lebih rasional dibanding membuka frontier baru di Papua.

Selain itu, Papua memiliki potensi energi terbarukan non-lahan yang besar: tenaga surya, hidro, dan sistem energi lokal berbasis komunitas.

Energi jenis ini bukan hanya lebih ramah lingkungan, tetapi juga lebih adil bagi masyarakat setempat. Namun opsi-opsi ini nyaris tak mendapat perhatian serius karena tidak sejalan dengan logika proyek besar dan kepentingan korporasi.

Pada akhirnya, swasembada energi versi Prabowo—yang menempatkan sawit sebagai jawaban dan Papua sebagai lokasi—lebih mencerminkan hasrat menunjukkan kekuasaan daripada visi pembangunan berkelanjutan.

Ia mengulang kesalahan lama dengan aktor dan lokasi baru. Jika pemerintah benar-benar ingin membangun kedaulatan energi, maka yang harus dibangun terlebih dahulu adalah keberanian untuk mengakui batas alam, menghormati rakyat di pinggiran, dan melepaskan diri dari ideologi pembangunan yang menjadikan hutan sebagai tumbal nasional.

Tag:  #sawit #swasembada #energi #pertaruhan #masa #depan #papua

KOMENTAR