Stabilitas Menguat, Pertumbuhan Ekonomi Jalan di Tempat
GUBERNUR Bank Indonesia Perry Warjiyo menegaskan bahwa arah kebijakan moneter tahun 2026 tetap “pro-stability and pro-growth.”
Di tengah tekanan global, BI memilih memastikan inflasi terkendali, nilai tukar stabil, dan pasar keuangan aman, sembari tetap memberi ruang bagi pertumbuhan melalui kebijakan makroprudensial longgar dan dukungan terhadap kredit produktif.
Namun, masyarakat perlu bertanya: apakah kombinasi stabilitas dan pertumbuhan yang dijanjikan itu cukup untuk membawa Indonesia keluar dari jebakan pertumbuhan 5 persen?
Fondasi stabil, tapi belum menggerakkan ekonomi
Stabilitas memang terjaga. Data BPS menunjukkan inflasi 2025 berada di kisaran 2,7 persen, masih dalam target BI 1,5–3,5 persen.
Volatilitas rupiah pun terkendali; BI mencatat rupiah bergerak relatif stabil di rentang Rp 15.400–15.700 per dollar AS, jauh lebih tenang dibanding gejolak pada banyak negara berkembang lain.
Stabilitas ini penting karena teori macroeconomic equilibrium menyebutkan bahwa ekspektasi yang tenang akan mendorong konsumsi dan investasi yang lebih sehat (Mankiw, 2019).
BI juga aktif menjaga pasar valas melalui DNDF, intervensi spot, dan pembelian SBN ketika tekanan eksternal meningkat. Stabilitas ini membuat Indonesia tidak masuk dalam kategori fragile emerging markets.
Namun, stabilitas hanya memberi keamanan, bukan akselerasi. Data BPS menunjukkan pertumbuhan ekonomi triwulan III 2025 hanya sekitar 5,05 persen, stagnan selama delapan kuartal terakhir.
Stabilitas membuat ekonomi tidak jatuh, tetapi tidak otomatis membuatnya melesat (Mankiw, 2019; BPS & BI 2025).
BI sudah memberi sinyal ruang pelonggaran suku bunga acuan. BI-Rate stabil di 4,75 persen, tetapi kredit perbankan hanya tumbuh 8,5 persen, padahal idealnya harus tumbuh 10–12 persen untuk mendukung pertumbuhan ekonomi di atas 5,5 persen.
Inilah persoalan transmisi yang lemah. Fenomena special rate membuat bank menahan penurunan suku bunga kredit, karena persaingan memperebutkan dana mahal.
Teori financial accelerator menegaskan bahwa kredit adalah katalis yang menentukan kecepatan roda ekonomi (Bernanke, Gertler & Gilchrist, 1996).
Ketika kredit tersendat, investasi tertahan, konsumsi besar tertahan, dan sektor riil kehilangan bensin untuk bergerak.
Dampaknya terlihat jelas: pembentukan modal tetap bruto (PMTB) — indikator investasi — hanya tumbuh sekitar 3,8 persen, jauh di bawah kebutuhan untuk mencapai pertumbuhan 6 persen.
Artinya, walaupun kebijakan BI pro-growth di atas kertas, realitasnya pertumbuhan masih dikunci oleh transmisi bank yang lamban (Bernanke et al., 1996; BPS 2025).
Bisakah stabilitas dan pertumbuhan BI mengantar Indonesia ke target 6 persen?
Ini pertanyaan paling krusial dan jawabannya tidak sederhana. Secara teori, kombinasi stabilitas harga dan dorongan kredit memang membantu menjaga momentum pemulihan. Namun, data menunjukkan kontribusinya belum cukup kuat.
Konsumsi rumah tangga yang menjadi penyumbang 54 persen PDB hanya tumbuh 5,1 persen, melandai akibat daya beli yang stagnan. Pertumbuhan upah riil hanya 1,2 persen, sehingga stabilitas harga tidak langsung mengangkat konsumsi.
Ekspor juga melambat; nilai ekspor non-migas turun 3,4 persen, dipengaruhi melemahnya harga komoditas.
Sementara itu, belanja pemerintah belum cukup agresif, karena realisasi belanja pusat baru 72 persen menjelang akhir tahun — pola penyerapan lambat yang berulang dari tahun ke tahun.
Teori endogenous growth (Romer, 1990) menyebutkan bahwa pertumbuhan tinggi tidak lahir dari stabilitas moneter saja, tetapi dari produktivitas, inovasi, dan investasi manusia.
Dalam kondisi sekarang, stabilitas BI adalah fondasi yang baik, tetapi belum memadai untuk menggapai pertumbuhan di atas 5,5 persen (Romer, 1990; BPS 2025).
"Mismatch" antara stabilitas dan realitas lapangan
Kebijakan “pro-stability and pro-growth” memang kredibel di level makro, tetapi tidak otomatis menyentuh lapisan ekonomi mikro.
UMKM masih mengeluh bunga kredit tinggi; suku bunga KUR beberapa daerah mencapai 9–11 persen setelah subsidi berubah.
Sektor manufaktur tumbuh hanya 4 persen, padahal ia adalah motor industrialisasi dan penyerapan tenaga kerja.
Sementara itu, tingkat pengangguran terbuka masih sekitar 4,8 persen, menunjukkan pertumbuhan belum inklusif.
Di sinilah terlihat mismatch yang sering diabaikan: stabilitas yang kuat tidak otomatis mengalir ke produktivitas sektor riil.
Tanpa pemangkasan biaya logistik, deregulasi cepat, dan percepatan hilirisasi non-komoditas, maka stabilitas hanya akan menjadi “perisai”, bukan “lompatan”( BPS 2025).
Kebijakan moneter BI telah berada di jalur yang benar, tetapi tidak bisa berdiri sendiri. Pertumbuhan tinggi memerlukan koordinasi erat dengan kebijakan fiskal dan kebijakan struktural.
Pemerintah harus mempercepat program yang memiliki multiplier besar — infrastruktur kecil, padat karya, digitalisasi UMKM — yang terbukti efektif mendorong ekonomi lokal (Ramey, 2019).
Selain itu, penghiliran harus diperluas ke sektor pangan, farmasi, dan manufaktur digital agar nilai tambah tidak stagnan pada komoditas mentah.
Selama perbankan defensif dengan spread bunga tinggi, dan pemerintah lamban menggenjot belanja strategis, maka pertumbuhan akan terus berada di angka lima persen — stabil, tetapi mengambang (Ramey, 2019).
Stabilitas yang dijaga BI memang penting, dan dorongan pertumbuhan melalui pelonggaran makroprudensial adalah langkah yang benar.
Namun, semua itu tidak akan cukup bila pemerintah dan sektor keuangan tetap bermain aman. Indonesia membutuhkan keberanian yang konkret — bukan sekadar retorika.
Pemerintah harus berani mempercepat belanja strategis, meski risiko politik tinggi, berani mengikis regulasi yang menghambat investasi, dan berani menindak bank yang mempertahankan special rate hanya demi margin, bukan produktivitas.
Perbankan harus berani menurunkan bunga kredit, memperbesar porsi pembiayaan sektor riil, dan memotong biaya birokrasi internal yang membuat kredit lambat cair.
Tanpa keberanian kolektif ini, stabilitas hanya akan menjadi “selimut nyaman” yang meninabobokan, sementara pertumbuhan tetap berjalan di tempat.
Namun, jika keberanian itu muncul, stabilitas bisa berubah menjadi landasan lompatan yang mendorong Indonesia keluar dari jebakan pertumbuhan 5 persen masuk ke orbit 6 persen ke atas — cepat, terarah, dan inklusif.
Tag: #stabilitas #menguat #pertumbuhan #ekonomi #jalan #tempat