Keluhan Pengusaha Baja: Marak Impor hingga Kesulitan Meminjam Bank
Industri baja dalam negeri tengah menghadapi tekanan keras akibat membanjirnya produk impor. Hal ini sudah berlangsung bertahun-tahun.
Merespon maraknya baja impor, pemerintah kemudian memilih untuk membuka keran investasi asing yang berminat membangun pabrik di dalam negeri. Keluhan pun disampaikan pengusaha baja dalam negeri.
CEO PT Inerco Global International, Hendrik Kawilarang Luntungan, menyatakan bahwa langkah pemerintah seharusnya tidak hanya berfokus pada menarik investor asing, tetapi lebih kepada menciptakan pengusaha-pengusaha baru yang fokus pada industri manufaktur.
"Harusnya pemerintah menciptakan pengusaha-pengusaha baru dengan bimbingan pemerintah, seperti yang tercipta di China, Jepang, dan Korea," kata Hendrik dikutip pada Selasa (25/11/2025).
"Mereka maju industri manufakturnya karena pemerintah terjun langsung membimbing agar menyesuaikan dengan target pemerintah menjadikan Indonesia negara industri dalam 10 tahun ke depan," ujar dia lagi.
Menurutnya, akar masalahnya juga terletak pada sistem penyaluran kredit perbankan. Di mana kemudahan kredit lebih banyak diberikan untuk pengusaha-pengusaha besar.
"Permasalahan kita saat ini dikarenakan penyaluran kredit dari bank-bank besar hanya diberikan kepada pengusaha besar. Akibatnya tidak ada pemerataan, tidak lahir para pengusaha baru," bebernya.
Hendrik menekankan bahwa untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi yang stagnan di angka 5 persen, Indonesia membutuhkan konglomerasi-konglomerasi baru di luar yang sudah ada.
"Capek saja kita lihat ada mall baru atau hotel baru atau real estate baru, kalau kita tanya punya siapa, selalu jawabannya dia lagi, dia lagi. Ini fakta," sindirnya.
Lebih lanjut, Hendrik mendesak perbankan, khususnya Bank BUMN, untuk merevolusi kebijakan kreditnya.
"Sekarang pinjam uang ke bank yang dilihat nomor satu bukan proyeknya, melainkan kolateralnya. Yang punya aset kolateral ya pasti orang usahanya sudah mapan," ujar Hendrik.
"Sementara orang menengah mau naik kelas mustahil dengan kebijakan seperti ini. Bank harus mengubah kebijakannya. Sebelum krisis 1998, bank acting like a real bank. Sekarang bank acting seperti pegadaian," paparnya.
Meski memahami trauma krisis finansial Asia, Hendrik menegaskan bahwa bank BUMN seharusnya kembali kepada visi awal sebagai agen pembangunan, tidak melulu berorientasi pada profit.
Menyoroti investasi asing, Hendrik mengusulkan regulasi yang lebih ketat. Karena regulasi yang sudah ada sekarang masih memberi celah untuk bisa diakalin.
"Cara mereka ngakalinnya semua pakai nominee orang lokal, terus dibuat perjanjian di bawah tangan sehingga mereka tetap menguasai 100 persen. Ini fakta. Sama kayak orang-orang asing beli aset di Bali, kan banyak notaris atur-atur pakai nominee," beber Hendrik.
Sementara itu, Ketua Umum Indonesian Society of Steel Construction (ISSC) atau Masyarakat Baja Konstruksi Indonesia Budi Harta Winata menyoroti derasnya arus impor baja konstruksi dari Vietnam dan China ke Indonesia.
Menurutnya, kondisi ini telah menyebabkan gangguan terhadap keberlangsungan industri baja nasional yang selama ini berupaya menjaga kualitas dan mematuhi regulasi pemerintah.
"Sekarang ini kita kebanjiran produk impor dari Vietnam dan China. Hal ini sangat mengganggu keberlangsungan industri konstruksi baja dalam negeri," ujar Budi.
Budi menjelaskan, banyak pelaku industri baja nasional kini kesulitan mendapatkan proyek karena kalah bersaing dari segi harga dengan baja impor.
Padahal, lanjutnya, harga bukan satu-satunya tolok ukur, sebab produk baja dalam negeri dirancang mengikuti ketentuan Standar Nasional Indonesia (SNI) tahun 2020, yang mengatur bentuk, spesifikasi, hingga standar ketahanan terhadap gempa.
Menurut Budi, masih ada persepsi yang keliru bahwa produk baja lokal dianggap mahal. Kata dia, mahal tidak selalu identik dengan pemborosan, melainkan disesuaikan dengan ketentuan pemerintah, kebutuhan mutu dan keselamatan bangunan.
"Ada salah persepsi kalau konstruksi baja dalam negeri itu dibilang mahal. Bukan mahal, tapi memang secara bentuk dan spesifikasinya berbeda karena harus mengacu pada peraturan SNI tahun 2020 terkait desain hingga standar tahan gempa," ucap Budi.
Sebelumnya, Wakil Menteri Perindustrian (Wamenperin) Faisol Riza bahwa dirinya mengaku telah kedatangan sejumlah investor dari Eropa, China, dan Vietnam yang berminat merelokasi pabrik bajanya ke Indonesia.
"Kami minta supaya mereka berinvestasi di Indonesia, bangun pabrik di Indonesia, sehingga mereka juga punya akses ke pasar domestik," kata Faisol usai Rapat Dengar Pendapat (RDP) di DPR RI, Jakarta, Senin (10/11/2025).
Ia menuturkan, 55 persen konsumsi baja nasional saat ini masih bergantung pada impor, dengan sebagian besar pasokan berasal dari China. Sementara tingkat utilitas industri baja nasional baru mencapai 52 persen.
Maka dari itu, dia menekankan perlunya investasi untuk mendukung industri baja dalam negeri sehingga menekan impor.
"Investasi tentu solusi bagi industri baja, agar kebutuhan dalam negeri yang selama ini sebagian impor, kira-kira 11 juta ton impor, bisa dipenuhi lebih baik kalau mereka berinvestasi di dalam negeri," ucapnya.
(Tim penulis: Sakina Rakhma Diah Setiawan, Yohana Artha Uly, Teuku Muhammad Valdy Arief)
Tag: #keluhan #pengusaha #baja #marak #impor #hingga #kesulitan #meminjam #bank