Redenominasi Rupiah: Apa, Mengapa, dan Bagaimana Langkahnya?
Ilustrasi rupiah, uang rupiah.(PEXELS/POLINA TANKILEVITCH)
07:04
11 November 2025

Redenominasi Rupiah: Apa, Mengapa, dan Bagaimana Langkahnya?

Wacana redenominasi rupiah kembali mengemuka di Indonesia.

Sementara ‎rupiah masih menjadi alat pembayaran sehari-hari di Indonesia, banyak pihak menilai nominal rupiah yang penuh dengan angka nol bukan hanya soal estetika, tetapi juga memiliki implikasi praktis dan simbolik.

Artikel ini akan membedah apa yang dimaksud redenominasi, mengapa wacana redenominasi rupiah digaungkan lagi, kondisi terkini, manfaat dan risiko, serta tahapan yang mungkin dilalui Indonesia.

Ilustrasi rupiah. Pemerintah menyiapkan redenominasi rupiah melalui RUU Perubahan Harga Rupiah. Redenominasi rupiah adalah penyederhanaan nilai mata uang.Shutterstock/Travis182 Ilustrasi rupiah. Pemerintah menyiapkan redenominasi rupiah melalui RUU Perubahan Harga Rupiah. Redenominasi rupiah adalah penyederhanaan nilai mata uang.

Apa itu redenominasi rupiah?

Redenominasi secara umum berarti penyederhanaan nilai nominal uang dengan cara memangkas angka nol pada nominal kurs atau pecahan mata uang suatu negara.

Dengan redenominasi, misalnya angka Rp 1.000 bisa “dikonversi” menjadi Rp 1 atau diubah skala sesuai keputusan.

Di Indonesia, hal ini sudah menjadi wacana lama sejak ‎Bank Indonesia (BI) di era ‎Darmin Nasution mengusulkannya pada tahun 2010.

Sederhananya, redenominasi bukan soal mengubah nilai riil (daya beli) mata uang atau melakukan devaluasi secara langsung, tetapi mengubah skala nominal agar lebih “ramah” dari sisi kalkulasi, administrasi, psikologis, dan persepsi publik.

Mengapa wacana redenominasi kembali muncul sekarang?

Kementerian Keuangan memasukkan rencana redenominasi rupiah ke dalam Rencana Strategis (Renstra) 2025–2029.

Ilustrasi rupiah. Shutterstock/Pramata Ilustrasi rupiah.

Langkah ini menandai kembalinya wacana redenominasi rupiah alias pemangkasan angka nol pada mata uang nasional setelah lebih dari satu dekade mengendap.

Rencana tersebut tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 7 Tahun 2025 tentang Renstra Kementerian Keuangan 2025–2029.

Regulasi ini diterbitkan pada 10 Oktober 2025 dan mulai berlaku sejak diundangkan.

Dalam beleid itu disebutkan, redenominasi rupiah dibutuhkan untuk meningkatkan efisiensi perekonomian dan memperkuat daya saing nasional.

“Urgensi pembentukan, efisiensi perekonomian dapat dicapai melalui peningkatan daya saing nasional,” tertulis dalam dokumen tersebut.

Beberapa faktor memunculkan kembali diskusi tentang redenominasi rupiah, yakni sebagai berikut.

1. Banyak angka nol dan administrasi rumit

Salah satu tujuan redenominasi rupiah adalah untuk membuatnya lebih sederhana. Namun demikian, Chief Economist Permata Bank Josua Pardede mengatakan, redenominasi rupiah hanya memangkas digit angka pada uang, tidak memangkas nilai.

Josua mengatakan, redenominasi berbeda dengan pemotongan nilai dan tidak membuat harga barang-barang naik jika prasyaratnya terpenuhi.

Sebagai contoh, redenominasi rupiah memangkas jumlah digit nol pada uang Rp 25.000 menjadi hanya Rp 25 tanpa mengubah nilai uang tersebut.

2. Persepsi internasional dan kelas mata uang

Rupiah dinilai belum memiliki daya tawar tinggi di luar negeri karena nominalnya yang “kecil” dalam skala global, yaitu banyak angka nol.

Ilustrasi rupiah. SHUTTERSTOCK/TALULLA Ilustrasi rupiah.

Dengan redenominasi, ada harapan bahwa rupiah “naik kelas” dari sisi persepsi.

Werdha Candratrilaksita, kandidat doktor administrasi publik Universitas Diponegoro dalam artikel kolom di Kompas.com, Senin (10/11/2025) menyatakan, dalam perspektif positif, redenominasi akan membuat negara lebih berwibawa.

Gap nilai nominal antara mata uang asing dengan rupiah tidak terlalu jauh, yang mengesankan seolah ekonomi negara kita kuat.

Selain mengesankan ekonomi negara yang kuat, juga mengesankan nilai tukar rupiah seolah kuat terhadap valuta asing.

Negara menjadi lebih berwibawa, apalagi Indonesia adalah anggota dari 20 negara-negara dengan ekonomi terkuat, atau 20 negara-negara dengan produk domestik bruto (PDB) terbesar (G20).

Meskipun, hitungan PDB tidaklah terlalu membanggakan dalam konteks kewibawaan negara. PDB dihitung dengan memasukkan output seluruh pelaku ekonomi di dalam negeri, baik yang berasal dari investasi dalam negeri, maupun investasi modal asing melalui direct foreign investment.

"Justru hitungan pendapatan nasional lebih membanggakan karena merefleksikan output pelaku usaha warga negara Indonesia yang berkiprah, baik di dalam negeri maupun luar negeri," tulis Werdha.

3. Kondisi nilai tukar dan ekonomi makro

Meski bukan penyebab langsung redenominasi, kondisi rupiah memang menjadi perhatian. Adanya tekanan terhadap nilai tukar dan angka nol yang banyak bisa jadi memicu wacana bahwa sudah saatnya skala nominal diperbaiki.

4. Persipan RUU Redenominasi Rupiah mulai dilakukan

Ilustrasi uang, bansos. Cara mengecek BLT Kesra 2025. BLT Kesra 2025. BLT Kesra November 2025. Cara cek penerima BLT Kesra 2025.SHUTTERSTOCK/MACIEJ MATLAK Ilustrasi uang, bansos. Cara mengecek BLT Kesra 2025. BLT Kesra 2025. BLT Kesra November 2025. Cara cek penerima BLT Kesra 2025.

Pemerintah menyatakan tengah menyiapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Harga Rupiah (Redenominasi) dengan target penyelesaian 2027.

Hal ini tercatat dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025 mengenai Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2025-2029 yang ditetapkan pada 10 Oktober 2025.

Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Kementerian Keuangan bertindak sebagai penanggung jawab RUU Redenominasi.

Dalam peraturan tersebut, Kemenkeu merancang empat RUU, yaitu RUU tentang Perlelangan, RUU tentang Pengelolaan Kekayaan Negara, RUU tentang Perubahan Harga Rupiah (Redenominasi), dan RUU tentang Penilai.

"RUU tentang Perubahan Harga Rupiah (Redenominasi) merupakan RUU luncuran yang rencananya akan diselesaikan pada tahun 2027," tulis beleid tersebut.

Apa manfaat redenominasi rupiah dan potensi risikonya?

Berikut beberapa manfaat redenominasi rupiah.

1. Penyederhanaan transaksi dan administrasi

Dengan nominal yang lebih kecil, misalnya Rp 1 untuk yang sebelumnya Rp 1.000, angka tampak lebih sederhana, memudahkan pembacaan, penerapan sistem IT, pembukuan, dan menghitung transaksi harian baik ritel maupun grosir.

2. Persepsi yang lebih baik terhadap mata uang nasional

Secara simbolik, redenominasi bisa meningkatkan citra rupiah, dan bagi investor atau pelaku bisnis internasional, mata uang dengan skala “lebih tinggi”, yakni angka nominal yang lebih besar atau jumlah nol yang lebih sedikit bisa tampak “lebih matang”.

3. Mempermudah komunikasi publik dan literasi keuangan

Ilustrasi uang. Angsuran KUR BRI 2025. Tabel angsuran KUR BRI 2025. KUR BRI 2025.Shutterstock Ilustrasi uang. Angsuran KUR BRI 2025. Tabel angsuran KUR BRI 2025. KUR BRI 2025.

Ketika angka nol banyak, publik bisa kebingungan atau merasa nominalnya “terlalu besar”; redenominasi dapat membuat angka uang lebih “manusiawi”.

Meski ada beberapa manfaat redenominasi rupiah, ada pula sejumlah risiko dan tantangan yang menghantui

1. Potensi inflasi akibat pembulatan harga

Ekonom ‎Wijayanto Samirin dari Universitas Paramadina memperingatkan bahwa secara teknis redenominasi tidak berarti inflasi secara otomatis, namun dari perspektif behavioral economics ada kecenderungan redenominasi dapat membuat konsumen mengalami bias di mana barang-barang seolah lebih murah.

Pada akhirnya, mereka lebih banyak berbelanja dan akan berdampak pada inflasi, walaupun minor.

Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, mengatakan redenominasi rupiah harus dilakukan dengan sangat hati-hati.

Hal itu disebabkan berbagai negara telah banyak mencoba redenominasi namun berujung pada hiperinflasi.

Bhima mengungkapkan, beberapa pertimbangan terkait redenominasi adalah pembulatan nilai barang yang dijual ke nominal tertinggi atau nominal yang paling atas.

Sebagai contoh, dari Rp 9.000 tidak akan menjadi Rp 9, penjual akan cenderung menaikkan harganya menjadi Rp 10.

Selain itu, inflasi yang terlalu tinggi akibat redenominasi bisa melemahkan daya beli masyarakat. Padahal, konsumsi rumah tangga merupakan motor utama pertumbuhan.

Ilustrasi rupiah. Rencana redenominasi rupiah kembali dibahas pemerintah setelah sempat ditolak Mahkamah Konstitusi. Bank Indonesia pastikan redenominasi rupiah hanya penyederhanaan digit, daya beli masyarakat tetap aman.canva.com Ilustrasi rupiah. Rencana redenominasi rupiah kembali dibahas pemerintah setelah sempat ditolak Mahkamah Konstitusi. Bank Indonesia pastikan redenominasi rupiah hanya penyederhanaan digit, daya beli masyarakat tetap aman.

"Apakah mencapai 8 persen pertumbuhan bisa pakai redenominasi? Sepertinya belum bisa," jelas Bhima.

2. Kebutuhan persiapan, literasi, dan sosialisasi yang sangat besar

Bhima menyatakan, persiapan redenominasi rupiah tidak bisa dilakukan dalam dua atau tiga tahun, tetapi sekitar delapan hingga 10 tahun.

Ini berarti, tahun 2035 adalah waktu minimum penerapan redenominasi rupiah.

Apabila sosialisasi tidak memadai maka dapat muncul kebingungan administratif, kesalahan penghitungan harga, kerugian di kalangan UMKM dan konsumen.

Menurut Bhima, sosialisasi menjadi kunci keberhasilan redenominasi rupiah.

Bhima mengatakan, 90 persen lebih transaksi di Indonesia masih menggunakan uang tunai, meski pemanfaatan QRIS dan transaksi digital meningkat.

3. Kondisi fundamental ekonomi harus cukup sehat

Melakukan redenominasi ketika ekonomi atau nilai tukar sedang rapuh bisa menimbulkan persepsi negatif, kontraksi kepercayaan, atau bahkan tekanan inflasi tambahan.

Guru Besar Departemen Ekonomi Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, saat ini ekonomi Indonesia berada di tengah tekanan global, pelemahan nilai tukar, dan meningkatnya risiko fiskal.

Pemerintah, kata Syafruddin, seharusnya fokus memperkuat kebijakan ekonomi makro ketimbang menghabiskan energi politik dan fiskal untuk mengganti tampilan angka pada mata uang.

Ilustrasi rupiah. Shutterstock/Melimey Ilustrasi rupiah.

“Redenominasi bukanlah solusi bagi permasalahan riil ekonomi Indonesia. Ia tidak memperbaiki defisit transaksi berjalan, tidak memperbesar pangsa ekspor, dan tidak menambah daya saing industri nasional,” ujarnya kepada Kompas.com.

4. Biaya operasional dan teknis pelaksanaan

Sistem pembayaran, sistem pembukuan keuangan (baik pemerintah, swasta, UMKM), software, faktur, kontrak, mesin kasir, semuanya harus diperbaharui untuk mencerminkan skala baru.

Risiko gangguan operasional bisa muncul jika transisi tidak mulus.

Tahapan yang mungkin dilalui dan apa yang perlu dipersiapkan

Berdasarkan kerangka wacana dan pengalaman negara lain, berikut tahap-tahap yang mungkin dilalui Indonesia dalam proses redenominasi rupiah.

1. Penetapan regulasi (UU/RUU)

Mahkamah Konstitusi (MK) telah menegaskan bahwa redenominasi rupiah hanya dapat dilakukan melalui undang-undang.

Pemerintah melalui ‎Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bersama BI sedang menyiapkan RUU yang menargetkan penyelesaian pada tahun 2027.

2. Kajian teknis dan regulasi pendukung

RUU harus mencakup antara lain konversi pecahan mata uang, waktu pelaksanaan, sistem pembukuan dan akuntansi, penyusunan uang fisik baru (jika ada), sistem pembayaran digital dan tunai, dampak terhadap kontrak dan faktur, dan lain-lain.

3. Sosialisasi publik dan literasi keuangan

Sosialisasi menjadi kunci utama dalam redenominasi rupiah.  Menurut Bhima, literasi dan persiapan pelaku usaha sangat penting.

Ilustrasi rupiah. PIXABAY/MOHAMAD TRILAKSONO Ilustrasi rupiah.

“Gap sosialisasi bisa menyebabkan kebingungan administrasi terutama di pelaku usaha ritel karena ribuan jenis barang perlu disesuaikan pembukuannya," tutur dia.

Pemerintah dan BI harus memastikan masyarakat memahami bahwa skala nominal berubah tetapi daya beli masyarakat tetap sama.

4. Persiapan infrastruktur teknis

Sistem pembayaran elektronik, mesin kasir, program akuntansi, faktur/tagihan, kontrak jangka panjang, tabungan bank, persen-persen bunga, semuanya perlu disesuaikan.

Begitu juga uang fisik atau uang logam jika ada pencetakan ulang.

5. Pelaksanaan transisi dan monitoring

Pelaksanaan bisa dalam masa transisi di mana pecahan lama dan baru beredar bersamaan, atau langsung penggantian. Monitoring terhadap inflasi, sistem pembayaran, respons pasar, persepsi konsumen, gangguan teknis diperlukan.

6. Evaluasi dan penyesuaian

Setelah pelaksanaan redenominasi rupiah, perlu evaluasi untuk memastikan tidak terjadi inflasi tersembunyi, manipulasi harga, kesalahan sistem, dan dampak sosial yang tidak diinginkan.

Hal yang perlu diketahui masyarakat dan pelaku usaha

Bagi masyarakat umum dan pelaku usaha di Indonesia, sejumlah hal penting perlu diperhatikan terkait redenominasi rupiah

1. Daya beli tidak otomatis berubah

Walaupun nominal mata uang dikonversi misalnya dari Rp 1.000 jadi Rp 1, secara riil daya beli tetap sama. Redenominasi bukan devaluasi.

Wijayanto mengingatkan, secara teori moneter, redenominasi tidak memberikan dampak terhadap inflasi maupun nilai tukar terhadap rupiah. Hanya dari sisi persepsi dan teknis angka.

2. Waktu transisi akan penting

Memahami bagaimana pemerintah menetapkan waktunya agar semua sistem siap, termasuk misalnya kasir, faktur, dan sistem pembayaran. Pelaku usaha harus mempersiapkan pembukuan dan sistem harga.

3. Perubahan sistem pembayaran dan pembukuan

UMKM dan pelaku usaha harus memperhatikan bahwa faktur, sistem kasir, program komputer mungkin perlu diubah agar sesuai dengan skala baru. Misalnya, angka nol berkurang sehingga software harus di-update.

4. Risiko pembulatan harga dan inflasi kecil

Ilustrasi uang. Kredit Usaha Rakyat (KUR). KUR BRI 2025. Tabel KUR BRI 2025. Syarat KUR BRI 2025. Tabel angsuran KUR BRI 2025. Tabel pinjaman KUR BRI 2025.PIXABAY/ROBERT LENS Ilustrasi uang. Kredit Usaha Rakyat (KUR). KUR BRI 2025. Tabel KUR BRI 2025. Syarat KUR BRI 2025. Tabel angsuran KUR BRI 2025. Tabel pinjaman KUR BRI 2025.

Sebagaimana telah disebutkan, ada potensi bahwa penjual akan membulatkan ke atas ketika konversi terjadi, misalnya Rp 9.000 menjadi Rp 10, bukan Rp 9. Konsumen harus tetap waspada terhadap perubahan harga yang tidak proporsional.

5. Literasi keuangan penting

Masyarakat perlu memahami apa arti redenominasi agar tidak salah paham bahwa “uang saya dikurangi nilainya”. Pemerintah dan BI harus melakukan edukasi agar tidak muncul kepanikan atau disinformasi.

6. Waktu pelaksanaan mungkin lama

Bhima mengingatkan proses redenominasi rupiah bisa 8 sampai 10 tahun sampai implementasi penuh.  Jadi masyarakat tidak perlu mendadak panik, tetapi bisa mempersiapkan diri dengan tenang.

Kesimpulan

Redenominasi rupiah adalah langkah strategis yang menyangkut banyak aspek, yakni teknis, regulasi, psikologis, administrasi, dan ekonomi makro.

Meskipun manfaatnya cukup jelas, yaitu penyederhanaan nominal, pembaruan citra mata uang, efisiensi transaksi, namun tantangan dan risiko juga tidak kecil, termasuk potensi inflasi “tersembunyi”, kebutuhan sosialisasi intensif, kondisi ekonomi makro yang harus cukup mendukung, serta biaya dan kompleksitas pelaksanaan.

Dengan kondisi Indonesia saat ini, yaitu kurs rupiah yang masih berada dalam tekanan dan ekonomi yang menghadapi tantangan pertumbuhan, maka redenominasi sebaiknya dijalankan bukan sebagai langkah panik, tetapi sebagai program terencana jangka menengah hingga panjang.

Pemerintah telah menunjukkan sinyal bahwa RUU Redenominasi tengah disiapkan (target selesai 2027) dan regulasi baru diperlukan agar proses sah dan terstruktur.

Bagi masyarakat dan pelaku usaha, penting untuk mengikuti informasi resmi dari Kemenkeu dan BI, mempersiapkan diri dari sisi sistem pembayaran dan pembukuan, serta memanfaatkan literasi keuangan agar perubahan ini tidak menimbulkan kerugian atau kebingungan.

Tag:  #redenominasi #rupiah #mengapa #bagaimana #langkahnya

KOMENTAR